18 Agustus 1999. Jam menunjukkan pukul 10.30. Suasana begitu sunyi. Hanya deru napas dan jantung saya yang mungkin terdengar berdegup kencang. Di depan saya duduk empat orang maha guru. Mata mereka menatap lekat-lekat. Mereka adalah dosen-dosen senior yang siap mencecar, mengejar, bahkan memaki-maki saya. Pembantaian, begitu istilah yang sering dipakai para mahasiswa semester akhir bila bertemu ruang dan suasana seperti ini.
Pak Suhandi, maha guru filsafat, yang suka dipanggil teman-teman sebagai Pak Oleheh. Itu karena dia sering memelesetkan kata oleh menjadi oleheh. Atau kata saudara-saudara menjadi susu dara-susu dara. Beliau mengajar PMKI dan Dasar-dasar Filsafat.
Lalu di sebelah kirinya duduk Pak Sobana Hardjasaputra. Beliau ahli tentang sejarah kota-kota, juga pemerintahan tradisional. Di sebelah kanan Pak Suhandi, duduk Pak Mumuh Muhsin. Beliau Ketua Jurusan Sejarah waktu itu. Spesialisasinya di bidang filfasat sejarah dan filsafat Islam. Kalau sudah bicara hermeunetika, bikin pusing. Mencari makna di balik makna dan kemudian menginterpretasikannya. Begitu kira-kira hermeneutika sejarah bergerak.
Kemudian ada Pak Kunto Sofianto. Terus terang, saat itu saya agak buta tentang keahlian Pak Kunto, karena belum pernah sekalipun diajar beliau. Kebetulan saya kuliah, Pak Kunto pun sedang kuliah S2. Tapi sangat mungkin Pak Kunto dihadirkan dalam sidang saya, karena dia juga memerhatikan perkembangan gerakan tasawuf, terutama yang berkaitan dengan Kejawen dan Kesunden.
Terakhir ada Pak Reiza D Dienaputra. Dosen pembimbing II saya yang turut memberi pertanyaan-pertanyaan menohok tentang Cianjur. Maklum, tesis Pak Reiza membahas persoalan sosial ekonomi Cianjur di pertengahan abad 19.
Harusnya ada satu orang lagi yang membantai saya. Pak Ahmad Mansur Suryanegara. Sayang, beliau datang terlambat. Beliau datang setelah saya selesai dibantai. Padahal, Pak Mansyurlah dosen pembimbing pertama saya yang saya harapkan bisa "sedikit" meringankan beban berat saya di sidang akhir itu.
Skripsi saya membahas tentang Tarekat Naqsyabandiyah dan Pengaruhnya Terhadap Elite Birokrasi Cianjur. Periode yang ditelaah adalah 1880-1888. Dengan skripsi itulah, sidang saya menghadirkan pakar-pakar di berbagai bidang khusus.
Dikepung pakar-pakar ini, mau tak mau membuat lutut bergetar juga. Sudah terbayang bagaimana dibombardir dengan pertanyaan-pertanyaan tajam para mahaguru ini. Seperti halnya Pak Suhandi. Beliau langsung mencecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan soal hubungan Filsafat dengan Tasawuf atau Tarekat. Beruntung, ini pertanyaan yang sudah saya perkirakan sebelumnya. Saya berulang kali membaca buku Dasar-dasar Filsafat jilid I dan II karya Pak Suhandi. Salah satu bab di buku itu membahas tentang persoalan ini.
Lolos dari Pak Suhandi, giliran Pak Sobana menanyakan sejarah pemerintahan Cianjur. Saya mesti menerangkan dari mulai Aria Wangsagoparana sampai bupati tahun 1880-an. Keringat dingin sudah mengucur di dahi saya. Bagaimanapun tak hanya kronologi yang diterangkan. Tapi filosofi yang terkandung dari hal yang saya terangkan itu.
Kadang-kadang pertanyaan pun tidak berasal dari bahan skripsi saya. Seperti Pak Kunto, yang secara tiba-tiba bertanya,"Kamu sudah merasa manunggaling kawula gusti belum?". Bagi saya ini pertanyaan jebakan, antara benar-benar sebuah pertanyaan dan sebuah gurauan.
Akhirnya saya menerangkan bagaimana proses manunggaling kawula gusti itu terjadi. Dalam tradisi tasawuf ada yang disebut wihdatul wujud, bersatunya Sang Pencipta dengan ciptaannya, dalam hal ini para salik, pengikut ajaran tasawuf. Darwisy, begitu dalam bahasa Persia.
Ibnu Araby sebagai pelopor aliran ini. Di Tanah Jawa, kita kenal nama Syeikh Lemah Abang atau Syeikh Siti Jenar. Dalam tradisi Jawa, manunggaling kawula gusti itu sama dengan Wihdatul Wujud.
Bagaimana dengan gerakan tasawuf di Sunda? Apakah buku Gandasari merupakan bagian dari itu? Itu pertanyaan lanjutan dari Pak Kunto. Lagi-lagi saya pun harus menjelaskan panjang lebar tentang isi buku Gandasar. Bagi saya buku ini mirip dengan Darmogandul atau Gatoloco di Jawa. Saya sering berdiskusi dengan Pak Kunto tentang Kejawen dan Kesunden. Pak Kunto senang sekali jika saya berbicara soal Darmogandul.
Tak heran, pertanyaan itu pun kembali menyeruak dalam sidang terakhir saya itu.
Pak Muhsin yang berpenampilan tenang, menyengat saya dengan pertanyaan-pertanyaan filosofisnya. Nada bicara Pak Mumuh cenderung pelan, tapi bermakna. Butek sudah otak ini dibuatnya untuk menjawab pertanyaan itu. Karena mau tidak mau, jawaban pun harus filsafati juga.
Pak Mumuh pun menanyakan juga soal asal muasal tasawuf. Untuk menjawab pertanyaan ini, saya harus menguras seluruh ingatan dari buku-buku tasawuf yang saya tekuni. Banyak versi tentang asal tasawuf, dan semuanya saya terangkan. "Bagi Anda, tradisi tasawuf itu dimulai dari zaman siapa?". Pertanyaan yang gampang-gampang susah.
Jika salah menjawab, habislah saya. Tasawuf tidaklah diajarkan Rasullullah SAW secara langsung. Semua orang tahu itu. Tidak ada satu pun yang menyatakan tasawuf sebagai jalan Rasul. Karena tasawuf merupakan jalan hati. Jika Fikih atau syariat merupakan jalan lahir, maka tasawuf dan tarekat adalah jalan batin. Saya pun menerangkan hal itu kepada para dosen ini. Memang ada kaum suffah, kaum berpakaian wol yang tinggal di pinggir mihrab mesjid Nabi. Mereka orang-orang yang hidup sederhana dan mencari ilmu langsung kepada sumbernya. Itu pula yang salah satunya disebut sebagai cikal bakal tasawuf.
Namun secara lembaga, atau sebutlah secara trend nya, tasawuf dimulai pada zaman Hasan Al Basri, beberapa abad setelah Rasulullah wafat. Ketika kehidupan zuhud menjadi jiwa zaman saat itu. Ketika pemerintahan Islam tak mampu mengayomi rakyatnya, maka Zuhudlah yang menjadi pilihan dan itu diikuti orang secara massal. Tentu saja, Rasulullah dan para sahabat pun adalah orang-orang yang zuhud. Tapi tak bisa disebut saat itulah tasawuf dimulai, karena tidak pernah Rasullullah memproklamasikan adanya tasawuf.
Nyaris tiga jam saya harus bermandikan keringat, mengempos seluruh kemampuan saya dalam hal ilmu kesejarahan, keislaman, dan kebudayaan. Walau ada pula pertanyaan yang tak mampu saya jelaskan secara rinci, saya bersyukur sidang itu lancar. Baru setelah sidang usai, Pak Mansur pun datang. Beliaulah yang memberi kata atau sambutan penutup, yang masih saya ingat hingga kini.
"Hari ini tanggal 18 Agustus adalah hari bersejarah bagi kalian, dan negeri ini. 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi, BPUPKI menetapkan Soekarno Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Lalu menetapkan UUD hasil rapat PPKI sebagai undang-undang dasar 1945. Kalianlah yang akan menjadi penerus kami. Kalian akan diwisuda dan selanjutnya mengamalkan ilmu yang diperoleh selama di jurusan..." begitu sebagian kata penutup Pak Mansur.
Selain saya, ada dua kakak angkatan yang juga mengikuti sidang hari itu. Kang Nandang dan Bubun, keduanya angkatan 1992. Saya satu-satunya dari angkatan 1994. Juga mahasiswa pertama dari angkatan 1994 yang ikut sidang dan diwisuda. Berarti saya menyelesaikan kuliah dalam tempo 5 tahun.
Sejak awal kuliah, saya sudah mencanangkan target selesai kuliah dalam waktu 5 tahun. Saya sudah mendengar, kuliah di Jurusan Sejarah bisa lama, rata-rata 7 tahun baru beres. Jadi mahasiswa abadi katanya. Itu pula yang sering didengung-dengungkan para senior sejak opsek. "Wah lila siah di Sejarah mah, maneh rek sabaraha tahun kuliah," tanya Kang Aep Sofyan, angkatan 88 yang juga tim kreatif P Project saat Opspek Jurusan, PS2,di perkebunan teh Pangalengan. Saya menjawab mantap,"5 tahun kang".
Ternyata cita-cita itu tercapai. Tepat lima tahun saya bisa lulus kuliah. Sidang tanggal 18 Agustus itu merupakan sidang gelombang terakhir. Kalau saja saya tidak ikut sidang saat itu, berarti saya harus menunda sidang dan wisuda ke bulan November. Wisuda gelombang terakhir saat itu adalah tanggal 25 Agustus. Dengan tekad dan usaha keras, bisa juga saya ikut sidang terakhir.
Sejak semester 6, awal 1998, saya sudah mengajukan bahan penelitian untuk skripsi alias proposal bab I. Bahkan bahan itu sudah diseminarkan dalam sebuah diskusi sejarah terbuka yang digelar di Aula Fakultas Sastra Unpad Jatinangor. Bu Nina H Lubis yang memeloporinya. Dia ingin mahasiswa Sejarah bisa lulus cepat. Karena itu proposal pun harus diajukan lebih awal dan didiskusikan lebih dulu dalam sebuah forum mahasiswa. Di forum itulah, saya mendapat masukan-masukan tentang topik yang dipilih untuk skripsi ini.
Sebenarnya untuk menuliskan skripsi ini tidak butuh waktu lama. Yang lama adalah mengumpulkan bahan-bahan referensi. Kebetulan saya menggunakan bahan arsip belanda. Di cari di Arsip Nasional, dokumen itu tidak ada. Adanya di Arsip Belanda sana. Butuh waktu satu tahun lebih satu bulan untuk mendatangkan arsip itu ke Indonesia. Setelah datang, tak bisa langsung digarap, karena harus diterjemaahkan dulu.
Saya pun pergi ke Yogyakarta menemui Pak Harto Juwono yang pakar menerjemaahkan arsip Belanda. Baru dua bulan kemudian atau April 1999, arsip itu beres diterjemahkan. Setelah itu, lancarlah saya menulis. Bab demi bab saya selesaikan hingga akhir, dalam tempo satu bulan.
Juni 1999, saya mulai bimbingan kepada dosen pembimbing II, Pak Reiza. Hanya butuh waktu dua minggu, untuk bimbingan skripsi setebal 150 halaman itu. Nah, untuk bimbingan ke Pak Mansur sebagai pembimbing I inilah yang jadi persoalan. Skripsi saya ditolak, tanpa sedikitpun dilihat isinya.
Perlu waktu 1,5 bulan untuk meyakinkan Pak Mansur bahwa skripsi ini layak. Selama itu pula, setiap hari saya mengikuti kemanapun Pak Mansur beraktivitas. Mulai berangkat dari rumahnya sampai kembali ke rumah lagi. Karena Pak Mansur tidak pernah memberi tahu agenda hariannya. Jadi Pak Mansur ceramah, saya ikuti ceramahnya. Pak Mansur memberi kuliah, saya ikut kuliah beliau di beberapa kampus swasta seperti STIEB (kini Univ Widyatama) dan Unisba.
Bahkan di Unisba, saya mengikuti pengajian khusus Reboan tentang Tasawuf yang diadakan pascasarjana Unisba. Pak Mansur menjadi salah seorang pematerinya. Dari pertemuan-pertemuan itu saya mendapat masukan untuk memperbaiki skripsi saya. Rupanya begitulah cara Pak Mansur membimbing saya. Secara tidak langsung dari pertemuan, diskusi, ceramah, seminar, dan pengajian-pengajian itulah Pak Mansur memberi masukan.
Sampai akhirnya pada suatu hari di Kampus Unisba, Pak Mansur memanggil saya. "Besok setelah salat Subuh ke rumah saya". Saya sendiri saat itu sudah tidak berpikir lagi soal mengejar target sidang dan wisuda. Bagi saya, skripsi ini dibaca Pak Mansur saja sudah bersyukur. Biarlah target tak tercapai, yang penting selesai," begitu pikir saya.
Mungkin jalan yang harus saya tempuh memang harus berliku dulu, baru setelah itu ada kemudahan. Di rumah Pak Mansur di Margahayu Raya, kami berbincang panjang lebar tentang segala hal. Tentang ke-masagian ilmu, tentang tasawuf, tarekat yang saya pelajari dan tentu tentang sejarah. Tanpa perlu membaca skripsi saya panjang lebar, Pak Mansur mengacc saya untuk maju sidang. "Bismillah, saya tanda tangani skripsi ini untuk sidang minggu depan".
Begitulah perjalanan saya hingga akhirnya bisa duduk di ruang sidang. Semenjak itulah, saya terus mengikuti kemanapun Pak Mansur beraktivitas. Bahkan saat saya sudah bekerjapun, beberapa kali Pak Mansur mengisi acara ceramah buka puasa di kantor saya. Mudah-mudahan Alloh memberikan derajat kemuliaan pada Pak Mansur, keikhlasan untuk ilmu-ilmu yang diajarkannya, dan Insya Alloh ketakwaan. (*)
1 comment:
Luar biasa perjuangan kamu mempertahankan apa yang kamu yakini benar. Ya ... Pak Mansur memang seperti itu cara membimbing, melihat dulu kesiapan kita untuk mempertahankan apa yang kita yakini benar. Mac, waktu itu saya tidak sedang di kampus, tapi masih di Cirebon kerja di asuransi. Masih panjang perjalananmu dan semakin berat tantanganmu. Jangan berhenti sampai disitu! Teruslah berkarya untuk mencari kebenaran. Salam sono ti Akang.
Post a Comment