Saturday, July 19, 2008

Niskala, Dendam Tanggung Putra Sunda

INI novel kedua Kang Her, panggilan saya dan teman-teman di kantor kepada Hermawan Aksan. Judulnya Niskala, Gajah Mada Musuhku. Dengan judul lebih kecil lagi: Perjuangan Kerajaan Sunda Melawan Ambisi Penaklukan Majapahit. Novel sebelumnya adalah Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit.

Saya dapat novel ini langsung dari Kang Her, gratis, Selasa lalu. "Ieu aya buku, tapi tong geruh," begitu Kang Her saat mengirim pesan via YM dari komputer di mejanya yang terhalang beberapa meja dari tempat duduk saya di ruang redaksi. Waktu saya mau merogoh uang dari dompet, Kang Her bilang,"Udah gak usah". Dua hari sebelumnya saya memang menanyakan novel Niskala itu dan harganya.

Walaupun mungkin (?) tidak dimaksudkan sebagai sekuel, tapi Niskala adalah cerita lanjutan dari novel Dyah Pitaloka. Tragedi Bubat yang menewaskan Prabu Maharaja Linggabhuana, Dyah Pitaloka, dan puluhan kesatria Sunda pinilih, itulah yang menjadi titik tolak cerita.

Anggalarang, neneh atau nama kecil Niskala Wastukancana sebelum menjadi raja, adalah adik kesayangan Dyah Pitaloka. Saat pembantaian itu terjadi, Anggalarang baru berusia 9 tahun. Karena masih kecil, untuk sementara tampuk singgasana Kerajaan Sunda dipegang pamannya, Hyang Bunisora Suradipati.

Tumpurnya raja, putri, dan kesatria Sunda, membuat langit hati Anggalarang kelam. Bahkan kemudian, hatinya berurat dendam kesumat. Ia tak pernah mendapat penjelasan dari ibunya atau pamannya tentang kejadian yang sebenarnya. Yang pasti, hanya satu nama yang tertanam dalam hati yang menjadi biang keladi kejadian itu: Gajah Mada. Tumpahlah dendam kesumat Anggalarang pada Mahapatih Gajah Mada yang Sumpah Amukti Palapanya terganjal oleh Kerajaan Sunda. Seluruh energinya dikerahkan hanya untuk menuntaskan dendam pada Gajah Mada.

Tapi mengapa kemudian, saya menyebutnya sebagai dendam yang tanggung. Terasa seperti orgasme yang batal meledak. Saat seru-serunya mengikuti alur "amuk dendam" ini, di akhir kisah Anggalarang tak jadi membunuh manusia renta bernama Gajah Mada. Padahal kesempatan itu ada di depan mata. Apakah mungkin karena Anggalarang, yang calon raja, mengikuti nasehat Mpu Prapanca,"Ketika kau sudah bertemu dengan orang yang kau cari, bertindaklah dengan bijaksana". Sehingga tetap ingin memunculkan kesan, orang Sunda yang santun, lebih memiliki hati nurani, menjunjung keadilan dan kemanusiaan.
Kenapa tidak sekalian saja menyudahi cerita ini dengan satu kontroversi yang lebih gila lagi: Gajah Mada mati dibunuh Kesatria Sunda. Toh selama ini juga, kematian Gajah Mada tidak pernah terungkapkan dalam berbagai catatan sejarah masa itu. Hanya disebutkan moksa di Madakaripura.

Secara umum, saya larut dan enak membaca novel ini. Mungkin emosi sebagai orang Sunda bermain di situ. Terlebih, saya pun penyuka sejarah Sunda. Dan Kang Her menguasai sejarah Sunda. Saat ngobrol dengan saya tentang Kerajaan Sunda atau Pajajaran, ia fasih bercerita tentang genealogi raja-raja Sunda. Bercerita tentang putra mahkota bergigi ompong, Sempak Waja, hingga gagal jadi Prabu gara-gara gigi ompong itu. Atau perkawinan terlarang antara raja Sunda dengan putri Jawa yang masih bertunangan.

Sama seperti saya, Kang Her yakin Sunda dan Jawa bersaudara. Dan raja-raja Sunda lah --diawali dari Salakanagara-- yang menjadi bibit buit raja-raja Kutai, Sriwijaya, Mataram Kuno, dan Majapahit. Sanjaya adalah orang Sunda dan Raden Wijaya pun begitu.
Ketika suatu hari di tahun lalu, Kang Her bertanya kepada saya tentang letak Hujung Galuh dan jalur pengembaraan Bujangga Manik, rupanya itulah yang menjadi bahan cerita dalam perjalanan Anggalarang menuju daerah timur Pulah Jawa.

Sebenarnya saya hanya butuh beberapa jam untuk menyelesaikan membaca novel setebal 289 halaman plus beberapa lembar halaman isi buku dan biodata Kang Her ini. Namun karena saya juga tengah membaca suplemen 100 Tahun M Natsir di Majalah Tempo, beberapa jam itu baru bisa diselesaikan dalam dua hari.

Benar kata Hawe Setiawan yang memberi komentar singkat tentang novel ini. Novel ini adalah roman sejarah yang dibumbui adegan mirip cerita silat. Tak heran, saat membaca novel ini, saya jadi ingat buku pertama Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 karya Bastian Tito yang berjudul "Empat Brewok dari Gua Sanggreng". Yang juga bercerita saat Wiro turun gunung untuk pertama kalinya setelah khatam berguru pada Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede. Selain bertemu dengan orang-orang sakti ataupun berandal-berandal di zaman Pajajaran, Wiro pun kepincut beberapa perempuan cantik yang bertemu selama pengembaraan di dunia kang ouw. Ada Bidadari Angin Timur, dan sebagainya.

Bedanya, dalam setiap pertempuran Wiro memiliki sejumlah jurus yang menjadi ciri khasnya, seperti jurus Kunyuk Melempar Buah, jurus Bukit Tindih Menindih, pukulan Benteng Topan Melanda Samudera atau pukulan Sinar Matahari, dan tentu saja senjata saktinya Kapak Maut Naga Geni yang bersuara ibarat ribuan tawon mendengung itu. Sementara Anggalarang minim sebutan jurus. Padahal saya yakin, ilmu-ilmu olah kanuragan olah kawedukan yang diturunkan Ki Ajar Suka Wening pasti bernama.

Dan ilmu kesaktian para kesatria Sunda senyatanya sudah lama moncer, dikenal ke seantero Nusantara. Jurus-jurus silat Jampang, Cimandean, Cikalong, merupakan turunan dari ilmu kesaktian Pajajaran. Untuk ilmu lari cepat ada yang disebut ilmu Kidang Kancana. Lalu untuk menghilang dari pandang orang lain, ada ilmu Halimunan. Juga ada Pancabraja, ilmu andalan Kian Santang. Ada pula ilmu hiliwir sumping, ilmu untuk mendengar dari jarak jauh. Lalu ilmu sentakdulang, ilmu untuk mengirim suara dari jarak jauh.

Dari sekian banyak perkelahian dengan pendekar lain, atau bahkan pertempuran 7 hari 7 malam dengan Ki Ajar sendiri, tak satupun keluar nama jurus-jurus atau ilmu-ilmu sakti itu. Yang disebut hanyalah Lembu Sekilan, ilmu pamungkas Gajah Mada. Bukankah, dalam sebuah prasasti disebutkan, Raja Purnawarman pun dikenal memiliki "baju zirah" yang tak tembus senjata. Tapak kakinya merupakan duri bagi musuh. Dan saya yakin, itu bukanlah baju zirah, tapi ilmu kekebalan tubuh. Rasanya, ilmu semacam itu pasti diturunkan kepada raja-raja berikutnya. Mustahil jika raja Sunda tak memiliki secuil pun ilmu kebal itu.

Dari sisi editing, tidak ada persoalan. Rasanya tidak ada kesalahan ketik, saat saya membaca sampai tuntas. Hanya pada kalimat yang diucapkan Kanakamuni alias Mpu Prapanca, penulisan "kau cari" disatukan. Sedikit mengganggu adalah soal konsistensi. Di halaman 24, disebutkan bahwa Anggalarang jadi santri pada Ki Ajar Suka Wening selama satu tahun. Tapi di halaman 194, disebutkan, Anggalarang bertahun-tahun mendapat tempaaan Ki Ajar. Tentu antara satu tahun dan bertahun-tahun adalah hal yang berbeda.

Terus penggunaan nama Naga Kuning, pendekar dari daratan Cina bernama asli Huang Liong. Naga Kuning adalah terjemahan dari Huang Liong. She nya atau nama keluarga adalah Huang, dan namanya adalah Liong. Sama halnya seperti Huang Hwa, Bunga Kuning. Rasanya jarang orang Tiongkok namanya Liong. Mungkin bisa dicari nama yang lain.

Bagi saya kaver novel ini menarik. Cuma, entah kenapa, warna-warna dan tampilan sosok orang di atas batu, malah mengingatkan saya pada Simba di film Lion King I. Serupa tapi tak sama dengan adegan si Raja Baboon yang menjadi dukun kelompok hewan itu saat mengangkat bayi singa --yang diramalkan bakal menjadi Raja Singa-- di sebuah puncak batu.

Dan kalau lebih diperhatikan lagi, sosok orang yang memegang tombak itu lebih mirip orang Indian, ketimbang kesatria Sunda. Mengapa tidak mengacungkan Kujang luk sembilan? Apalagi di sepanjang cerita, tidak pernah disebut-sebut Anggalarang membawa tombak.

Lalu penambahan judul kecil "Perjuangan Kerajaan Sunda...." di kaver buku juga rasanya mengganggu. Maaf, kesannya jadi judul skripsi begitu. Mungkin itu untuk menegaskan saja, bahwa Sunda satu-satunya kerajaan yang tidak pernah dijajah Majapahit. Tapi kalaupun dihilangkan, rasanya tidak mengganggu substansi cerita.

Di milis orang Sunda, saya lupa di milis yang mana, Kang Aan Merdeka Permana pernah menyinggung soal Anggalarang ini. Penulis cerita bersambung Senja Jatuh di Pajajaran itu mengomentari soal film dan sinetron. "Kenapa tidak ada yang membuat perjalanan Anggalarang sebelum menjadi Prabu Niskala Wastukancana. Pasti banyak hal menarik yang bisa disajikan di sana," begitu kira-kira dalam postingan itu. Saya rasa, keinginan Kang Aan itu sedikitnya sudah terpenuhi dengan kehadiran novel Kang Her ini.

Akan adakah novel ketiga atau keempat, yang menceritakan puncak kejayaan Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran di masa Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal sebagai Prabu Silihwangi dari tangan kreatif Kang Her? Yap, kita tunggu aja deh, siapa tahu akan ada kelanjutannya. Atau mungkin saya yang seharusnya terdorong untuk menuliskan sejarah Sunda yang terpendam? Doakeuna we Kang. Cag.(*)

1 comment:

Aceng Muhaemin said...

HOYONG PISAN TIASA MESER BUKUNA KANG HER IEU, TOS MEDAL TEU ACAN NYA ? TERAS TIASA MESER DIMANA ?
HATUR NUHUN
CAG
ACENG MUHAEMIN