BERAKHIR sudah penantian para orang tua yang mendaftarkan anak-anaknya ke SMP atau SMA. Hari ini dan kemarin, diumumkan siapa saja siswa yang masuk sekolah negeri tingkat pertama ataupun tingkat atas.
Orang Sunda bilang, "Asa bucat bisul". Seperti pecah bisul, begitu. Penuh harap cemas menunggu pengumuman, menanti apakah nilai ujian nasional anaknya melebihi passing grade sekolah yang dituju atau justru di bawah passing grade.
Para orang tua rela menunggu sampai pendaftaran terakhir di sekolah yang dituju demi pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Sangat mungkin, saat-saat kemarin dan hari-hari ke depan, mereka tidak peduli dengan persoalan pemilihan wali kota Bandung atau partai politik mana saja yang berhak berlaga pada Pemilu 2009 mendatang. Yang jadi fokus pikiran adalah tempat anaknya bersekolah dan bagaimana membiayainya.
Bagi anak-anak yang lolos dari lubang jarum passing grade, tentu akan menggembirakan orang tuanya. Sebaliknya, mereka yang terpental dari sekolah unggulan dan sekolah negeri lainnya, akan membuat orang tua berduka.
Tengok saja di Kota Tasikmalaya. Sejumlah orang tua menangis begitu tahu anaknya tidak masuk dalam daftar siswa yang lolos tes. Calon siswa yang mendaftar ke sekolah unggulan di Kota Santri ini harus mengikuti tes seleksi, karena jumlah pendaftar membeludak. Bayangkan, orang tua ini menangis untuk anaknya. Padahal dengan tidak masuk sekolah negeri, bukan berarti habis dan semuanya berakhir.
Permasalahannya, para orang tua ini sudah membayangkan kualitas yang rendah bila menyekolahkan anak ke sekolah nonunggulan. Juga sudah terbayang biaya selangit, jika masuk sekolah nonnegeri atau swasta.
Inilah sesungguhnya problema pendidikan di negeri ini. Kualitas yang belum setara dengan luar dan tidak merata. Juga biaya yang tidak pernah menjadi murah. Malah setiap ganti tahun ajaran, biaya semakin mahal.
Tak heran, penerimaan siswa baru atau PSB selalu menjadi momok yang menghantui para orang tua di pertengahan tahun. Setiap liburan sekolah tiba, saat itu pula orang tua yang hendak menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi akan berpikir keras, bekerja lebih giat, pontang-panting mencari uang, agar bisa mendudukkan anaknya di bangku sekolah terbaik di negeri ini.
Boleh jadi, iming-iming sekolah atau pendidikan gratis yang digadang-gadang pemerintah, baik di tingkat kota/kabupaten maupun provinsi, melenakan sejenak para orang tua. Tapi itu belumlah menjadi solusi terbaik. Karena pembebasan biaya, bukan berarti peningkatan kualitas dan perbaikan fasilitas.
Ingatlah, walau sekolah merupakan jaminan pendidikan formal yang terbaik saat ini, sejatinya pendidikan di keluarga merupakan pendidikan yang paling baik. Bekal pendidikan dasar sejak dini oleh orang tua kepada anak-anaknya di rumah itulah yang akan menentukan seseorang ini menjadi apa dan siapa kelak.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 9 Juli 2008.
No comments:
Post a Comment