INI bukan basa-basi, seperti iklan rokok itu. Golongan putih alias golput-lah yang ternyata menjadi gubernur di Jatim. Kok bisa? Ya bisa saja, kalau kebanyakan orang Jatim, terutama yang punya hak pilih, ternyata memutuskan tidak memilih satu dari lima pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jatim dalam pemungutan suara, tadi pagi.
Berdasarkan penghitungan cepat sejumlah lembaga survei ataupun pusat kajian, seperti Lingkaran Survei Indonesia dan Puskaptis, Golput mendapat suara antara 30-40 persen. Pasangan yang paling tinggi mendapat suara, masih berdasar quick count, adalah Soekarwo dan Syaifullah Yusuf (Karsa). Perolehan suaranya di kisaran 25-27 persen. Sementara posisi kedua adalah Khofifah Indarparawansa-Mujiono (Kaji) yang mendapat suara di kisaran 24-25 persen. Padahal untuk jadi pemenang Pilgub dalam satu putaran, pasangan kandidat butuh sedikitnya 30 persen. Tiga pasangan lainnya, Sucipto-Ridwan Hisham, Soenaryo-Ali Maschan Moesa, dan Pasangan Aksan, jelas di bawah Karsa dan Kaji.
Seperti halnya di Jabar, Pilgub di Jatim pun jadi kuburan partai-partai besar. PKB sebagai pemenang pemilu di Jatim, kolaps. Pasangan yang diusungnya jeblok total, di urutan paling buncit. Begitu pula dengan PDIP dan Partai Golkar, calon-calon mereka bertumbangan. Karsa adalah pasangan yang diusung PAN dan Demokrat, sementara Kaji diusung PPP dan koalisi partai kecil lainnya. Tinggal memilih siapa di antara Kaji dan Karsa yang akan berjaya di Pilgub putaran kedua.
Lha karena paling banyak memperoleh suara, jadilah Golput didaulat menjadi Gubernur Jatim. Saking banyaknya yang tidak memilih, di salah satu TPS di Banyuwangi, tak satu pun pemilih yang datang. Walah, kebangetan memang.
Kenapa yah Golput kok kian banyak? Waktu Pilgub Jabar tempo hari, golput juga lumayan tinggi antara 26-35 persen. Apakah ini tanda-tanda orang sudah malas mengikuti pemilihan secara langsung yang begitu-begitu saja? Pasti memang sejuta alasan pemilih untuk tidak memilih. Mungkin alasan ideologi, calon yang tidak klop, terbentur dengan waktu kerja dan mencari nafkah, dan sebagainya.
Kalau alasannya karena orang sudah malas, bahkan muak, dengan pilkada yang seluruh calonnya selalu jual kecap nomor satu, ini yang berbahaya. Kalau tidak ada lagi yang mau memilih, buat apa digelar pilkada langsung. Tidak perlu membuang-buang uang dengan pemilihan segala macam. Tunjuk saja, seperti dulu, pejabat gubernur, bupati, dan walikota. Cilaka 12 kalau begitu. Runtuhlah demokrasi di Indonesia kalau begitu. Tak ada demokrasi tanpa pemilihan secara langsung. Mungkin.
Jangan-jangan hal yang sama akan terjadi pula di Kota Bandung. 10 Agustus, warga Bandung akan memilih wali kota dan wakil wali kota. Apakah rakyat Bandung juga menderita apatis tingkat tinggi sehingga tak mau memilih? Mudah-mudahan tidak.(*)
No comments:
Post a Comment