MINGGU (27/1), pukul 13.00, kami sekeluarga berkumpul bersama di ruang tengah. Mbah Kakung dan Mbah Uti. Lalu keluarga Mas Rohman komplet, 3 orang. Ditambah keluarga Mas Rikhan, minus Mas Rikhan. Plus Teh Imas, pembantu kami di rumah. Kami ngariung (berkumpul) untuk berdoa bersama.
Hari Minggu itu adalah hari ulang tahun pertama Adik Namira Zenechka Hayatunnufus,
putri kedua saya dan Bu Eri. Kami menggelar acara perayaan secara sederhana. Tak ada kirim undangan segala macam ke tetangga. Cukup berdoa saja untuk Adik. Memang ada juga acara tiup lilin dan sedikit nyanyi Selamat Ulang Tahun. Biar terasa ulang tahunnya gitu.
Kami tak lupa untuk membuat makanan berupa nasi kuning plus lauknya untuk dibagikan kepada tetangga. Ada 30 dus nasi kuning untuk tetangga sekitar rumah. Dua itu ditempeli foto Adik dan ucapan syukuran ultah. Biar tetangga tidak bertanya-tanya, ini dus hajat apa.
Bertepatan dengan waktu kami berdoa itulah, berita meninggalnya Soeharto, Presiden RI ke 2, tersiar dari televisi. Kami semua bergeming, sejenak memerhatikan berita itu. Setelah doa selesai, kami matikan sementara televisi, lalu fokus untuk menyantap nasi kuningan buatan Mbah Uti.
Baru sore hari, selepas Ashar, kami nonton televisi lagi. Semuanya tentang kepergian Soeharto. Sambil menonton, kami mengobrol soal Soeharto ini. Apapun itu, dia memang pernah menjadi pemimpin bangsa ini. Pernah membuat bangsa ini ditakuti bangsa asing. Dan tentu tak luput dari kesalahan seorang pemimpin.
Ingat Soeharto, saya malah jadi ingat beasiswa Supersemar yang saya terima saat kuliah dulu. Berkat Beasiswa Supersemar, saya bisa lulus dari Jurusan Sejarah Unpad. Ya, karena biaya pendidikan per tahun sudah ditanggung Supersemar. Padahal saya sempat kocar-kacir untuk membayar SPP kuliah.
Saya pikir, saya pun akan terus teringat dengan hari kematian Soeharto ini. Karena bertepatan dengan ulang tahun anak saya. Tanggal 27 Januari. (*)
No comments:
Post a Comment