HARI-hari terakhir ini, sajian rata-rata media massa, itu-itu juga. Semua terfokus pada berita perkembangan kesehatan Soeharto, mantan presiden RI. Beritanya, kalau tidak gawat, ya kondisi Soeharto membaik. Itu terus berulang-ulang. Pagi sehat, sore kritis, malam gawat, subuh tenang, pagi kritis, siang bisa tidur, sore gawat lagi, malam membaik, pagi tenang.
Semua media massa, tak terkecuali mengikuti arus ini. Tidak ada satupun media yang tidak memantau perkembangan Sang Jenderal Besar ini. Sampai-sampai, reporter koran dan televisi bertahan di RSPP siang malam, hanya untuk mengetahui kondisi Soeharto. Hal sekecil apapun diberitakan. Orang menaruh karangan bunga pun jadi berita. Walah, apa Indonesia itu cuma Soeharto?
Saya sendiri tak terlalu peduli dengan berita Soeharto, saking eneknya. Cuma sesekali ikut ngobrol-ngobrol di rumah atau di kantor, pembicaraan tentang Soeharto. Semuanya membicarakan soal kekuatan Soeharto yang naik turun. Konon, kata orang-orang, Soeharto punya ilmu sehingga tidak mati-mati. Bahkan Bapak saya pun tadi pagi bilang, ini yang hidup sudah bukan Soeharto lagi, tapi ilmunya itu. "Kalau mau cepat mati, ya mesti dicabut dulu ilmunya itu, Pake daun kelor saja dibacakan Bismillah, biasa gak lama mati itu. Kasihan itu lama-lama kayak gitu," kata bapak dengan logat Jawa yang kental.
Di kantor lain lagi ceritanya, walau masih satu suara. Teman saya bilang, Soeharto itu punya jimat yang ditanam di punduk (belakang leher). Jimat itu semacam wesi kuning, keris kecil dari besi kuning gemerlap. Informasi ini, kata teman saya itu, didapat dari ustad yang pernah beberapa pengajian di rumah Soeharto di Cendana. "Katanya begitu, wesi kuning itu harus dicabut dulu, baru Soeharto bisa meninggal," kata teman saya itu.
Weleh-weleh, apa kata dunia? Saya hanya meyakini, setiap makhluk pasti akan merasakan mati. Apapun itu, siapapun dia, pasti akan menemui ajalnya. Kapanpun dimanapun.
Nah, kaitan Soeharto dengan Paman Gober, itu memang tidak langsung. Ini cerita saat penyerahan award Federasi Teater Indonesia, di Teater Studio, TIM Jakarta, Rabu (9/1). Selain sastrawan Putu Wijaya yang tampil luar biasa dengan monolognya, tampil juga Sang Presiden BBM, Si Butet Yogya, yang tampil membacakan cerita pendek (cerpen), juga luar biasa dan membuat gelak tawa.
"Kematian Paman Gober ditunggu-tunggu semua bebek. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang mereka ingin ketahui hanya satu hal: apakah hari ini Paman Gober sudah mati. Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari. Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya penuh. Setiap hari Paman Gober mandi uang di sana, segera setelah menghitung jumlah terakhir kekayaannya, yang tak pernah berhenti bertambah," begitu Butet Kertaradjasa alias Si Butet Yogya tadi, membuka cerita.
Ratusan pengunjung tak sabar menunggu lanjutan cerita tersebut. Namun, umumnya, pengunjung sudah bisa menduga-duga siapa Paman Gober dan jalan cerita pendek yang ditulis Seno Gumira Ajidarma tahun 1994 itu.
Butet, yang dikenal sebagai seniman paling "rasional", membawakannya dengan cukup menghibur dan kocak. Apalagi ketika Paman Gober bicara, intonasi dan warna suara tokoh yang mirip dengan cerita imajinasi itu ia tirukan dengan sempurna. Penonton tergelak.
"Mestinya, bebek seumur saya ya sudah tahu diri, siap masuk ke liang kubur. Ma(ng)kanya, ketika saya diminta menjadi Ketua Perkumpulan Unggas Kaya, saya merasa-kan kegetiran dalam hati saya, sampai berapa lama saya bisa bertahan? Apa tidak ada bebek lain yang mampu menjadi ketua?"
Lalu Butet melanjutkan pembacaan, nada suara yang lain. "Kalimat semacam itu masuk ke dalam buku otobiografinya, Pergulatan Batin Gober Bebek, yang menjadi bacaan waj-ib bebek-bebek yang ingin sukses. Hampir setiap bab dalam buku itu mengisahkan Paman Gober memburu kekayaan. Mulai dari harta karun bajak laut, pulau emas, sampai sayur-an yang membuat bebek-bebek giat bekerja, meski tidak diberi upah tambahan."
Lagi-lagi gelak tawa penonton membahana di ruangan yang berkapasitas sekitar 250 orang itu. Cerita Kematian Paman Gober karangan Seno Gumira Ajidarma tahun 1994 itu dinilai Butet sangat pas dengan kondisi minggu-minggu ini. Adakah yang dimaksud Paman Gober oleh Butet itu Soeharto, ya tinggal Anda menilai sendiri. (*)
No comments:
Post a Comment