Saturday, January 19, 2008

Ketika Anak Bisa Protes

APA yang harus dilakukan orangtua ketika anak-anak mereka beranjak besar dan sudah bisa memprotes? Protes segala hal, baik soal kasih sayang yang diberikan kepada setiap anak, tentang perhatian, dan sebagainya.

Itu pula yang dialami saya dan Bu Eri. Kaka Bila yang usianya sekarang 5 tahun 4 bulan, sudah bisa protes. Tentu dengan caranya yang unik. "Kenapa sih ibu gak libur-libur, kerja terus?," tanya Kaka. Atau protes jealous seperti ini. "Adik terus yang diurusin.  Kok aku gak pernah diurusin lagi?". "Sejak ada pembantu, kok ibu  tidak pernah nyuapin aku makan lagi sih?. Atau,"Ayah libur yah? Aku mau main dong sama Ayah". Glek. Semua pertanyaan itu 
dilancarkan dengan nada-nada "mendesak" dan menuntut.

Setiap berangkat kerja, saya dan Bu Eri membiasakan untuk pamit pergi secara langsung kepada anak. Biar anak tahu ayah ibunya bekerja. Tidak dibohongi atau main kucing-kucingan. Tadi ada di rumah, tapi anak mencari, sudah tidak ada. Supaya menjadi kebiasaan. Kalau malamnya kebagian piket di kantor, saya dan Bu Eri pun selalu bilang. "Nanti malam ayah dan ibu piket yah, tidur jangan terlalu malam". Tapi apa komentar Kaka. "Ehhm, piket lagi piket lagi, pulangnya malam terus," gerundel dia.

Awalnya kami juga kelimpungan untuk menjawab pertanyaan ini. Wah, anak lima tahun kok protesnya kayak orang dewasa. Tapi setelah lama dipikirkan, kami sadar, bagaimanapun ini kesalahan kami sebagai orangtua. Kami berdua bekerja, sehingga tidak bisa fokus memerhatikan anak-anak. Sangat mungkin, kasih sayang itu berlimpah, tapi jadi beda bentuknya. Tidak dalam bentuk "keberadaan diri" dekat anak-anak. Tapi membayarnya dengan bentuk lain, seperti jalan-jalan, membelikan oleh-oleh atau barang. Sebenarnya itu kebiasaan jelek dan saya sudah sering kali  mengingatkan pada Bu Eri, agar tidak membiasakan membeli barang sebagai kompensasi kurangnya perhatian kita.

Yang paling mungkin dilakukan adalah memberikan penjelasan secara perlahan-lahan. Mengapa kita berdua bekerja keras. Lalu kita berdua pun sebenarnya care pada Kaka Bila atau Adik Mira. Hanya tidak bisa setiap saat selalu disamping mereka. Ada waktu-waktu tertentu, kita tidak bisa bersama. Tapi ada pula waktunya kita berkumpul bersama.

Upaya lainnya adalah memanfaatkan secara maksimal waktu luang untuk berkumpul. Misalnya, saat saya atau Bu Eri libur reguler. Ya,  itulah waktu yang harus dimanfaatkan betul untuk bermain dengan anak. Walau, terus terang, kondisi badan pun sebenarnya tidak  menunjang. Cape dan penat luar biasa. Saya saja, kalau libur reguler, lebih banyak menghabiskan waktu untuk istirahat.  Membalas dendam jam tidur yang tidak cukup di hari-hari sebelumnya. Kendalanya, saya dan Bu Eri memiliki hari libur yang berbeda, sehingga tidak pernah bertemu seharian penuh, kecuali cuti.

Susah juga yah mau betul-betul care sama anak. Belum lagi si kecil, Mira. Walau belum satu tahun, tapi dia sudah tahu cara protes. Terutama pada Bu Eri. Kalau melihat Bu Eri ada di rumah. Dia maunya dipangku terus sama Bu Eri. Kalau enggak, ngamuk.  Kepalanya dipelantingkan ke belakang, sehingga leher melengkung.  Wah, bisa patah itu tulang. Kalau sudah begini, Bu Eri menyerah.

Tapi begitulah, namanya proses berkeluarga. Semua pengalaman menjadi bahan masukan agar kita bisa benar-benar memberi yang terbaik untuk keluarga. (*)

No comments: