Tuesday, April 07, 2009

Carita Bogor

Awal bulan Maret lalu, saya berkesempatan keliling Kota Bogor. Sebenarnya round-round di Bogor itu untuk keperluan pemantauan Adipura. Lagi-lagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jabar meminta saya untuk melengkapi jumlah juri untuk kategori Kota besar.

Dulu Bogor begitu kerap saya sambangi. Dulu, saat masih menimba ilmu di Pajajaran. Saya sering menginap di rumah sohib saya, Gunawan, di Cibinong. Dari Cibinong, main ke Bogor kota. Atau main ke rumah sohib yang lain, Wahyu, di Kedunghalang. Pokoknya kalau main ke kota Hujan ini, saya tidak akan kesulitan tempat menginap. Terakhir saya ke Bogor saat meliput kasus penggalian situs Batu Tulis sekitar tahun 2002. Oh iya, tahun 2003 juga saya pernah ke Bogor lagi ketika meliput tersangka pengebom Gedung Kedutaan Filipina. Salah satu rumahnya ternyata berada di daerah Cileungsi. Dan saya menginap di Bogor kota.

Saya memanfaatkan kunjungan ke Bogor kali ini untuk menyerap kembali aura kejayaan masa silam. Menjejak Bogor, ibarat kembali ke pangkuan Sunda. Bogor adalah Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran. Datang ke Bogor seperti napak tilas, menyusuri kembali jejak yang ditinggalkan para karuhun Sunda. Istilah saya: Neang dia, nu nyusuk di Pakuan. Kata-kata ini merupakan potongan kalimat dari isi Prasasti Batutulis:
...wang na pun ini sakakala, prebu ratu purané pun, diwastu diya wingaran prebu guru
déwataprana diwastu diya dingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu déwata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang niskala sa(ng) sida-mokta di gunatiga...


Sudah beberapa waktu lamanya, saya mengumpulkan dan membaca kembali jejak-jejak Sunda. Sejumlah referensi atau bacaan tentang Sunda saya baca kembali. Tentu kebanyakan adalah buku-buku sejarah dari para ahli sejarah ataupun arkeologi Sunda. Mereka para guru saya dalam hal urusan sejarah. Ada buku karangan Prof Edi S Ekadjati (alm), buku Kang Ayatrohaedi (alm), juga buku Kang Saleh Danasasmita. Lalu buku Amir Sutarga dan sebagainya. Juga saya baca kembali buku Hermeneutika Sunda punya Jakob Sumardjo, orang Jawa yang mencintai Sunda.

Beberapa koleksi makalah hasil sawala kesundaan pun saya buka. Tujuan saya hanya satu, ingin ngaguar kembali sejarah kejayaan Sunda. Sebuah kisah kejayaan yang oleh sekelompok orang tertentu diyakini akan kembali mewujud di masa-masa yang akan datang.

Salah satunya hal yang hingga kini belum terang benar soal sejarah Pakuan adalah keberadaan Pakuan itu sendiri. Bagi saya, Pajajaran adalah sebuah kerajaan besar. Negeri yang sesungguhnya melingkupi seluruh Nusantara ini. Jauh lebih besar dari Majapahit. Tapi tak tersisa sedikitpun wajah kejayaannya. Istananya Prabu Jayadewata atau Siliwangi yang dikenal dengan sebutan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, hilang tak berjejak.

Tapaknya lenyap sama sekali dari Bogor sekarang. Orang Sunda akan kebingungan jika ditanya, mana peninggalan Pajajaran. Mau menunjuk istana, jelas kesulitan. Yang paling mungkin, hanyalah menunjuk Prasasti Batutulis. Sebuah prasasti yang dibangun anak Siliwangi. Hanya itu tak lebih.

Berbeda misalnya dengan Orang Banten yang bisa dengan bangga menunjuk Kraton Surosowan, atau Orang Cirebon yang bisa menunjuk Kratos Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Pakungwati sebagai kraton sisa peninggalan keturunan Sunan Gunung Djati. Atau orang Yogya dan Solo bisa dengan mudah menunjukkan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta serta Mangkunegaran dan Pakualaman sebagai simbol mereka pernah eksis dan berjaya. Majapahit sekalipun masih bisa menunjukkan sisa-sisa kota kuno Trowulon sebagai peninggalan kerajaan Majapahit.

Apakah memang orang Sunda tidak pernah meninggalkan jejak-jejak sejarah secara fisik. Lebih banyak berupa cerita-cerita, pantun-pantun, dan pemikiran-pemikiran kesundaan. Itulah yang harus digali orang Sunda kiwari.

Saya tidak akan menulis soal asal usul Bogor. Hal itu sudah sering dibahas dalam berbagai blog. Ketika melanglang ke Bogor itu, saya berupaya untuk menyusuri jiwa zaman ketika Pakuan masih berdiri. Ketika saya masuk ke daerah bernama Lawang Gintung, saya mencoba membayangkan di zaman Pakuan dulu disitulah terdapat parit lebar dan pintu gerbang kota. Jika orang luar hendak masuk ke Pakuan, dia harus melalui Lawang Gintung ini.

Begitupula ketika saya melintasi Sungai Cipakancilan, Cisadane, dan Ciliwung, saya berupaya menghadirkan jiwa zaman ketika Prabu Siliwangi memerintah rakyat secara adil. Sungguh luar biasa membayangkannya. Sebuah kerajaan besar dengan rakyat yang sejahtera, makmur, merasakan betul usapan kasih sayang seorang raja berwibawa.

Ah, ini hanya romantisme saya memandang Sunda. Jelas zaman itu tak akan kembali lagi. Tapi sungguh, saya merasakan auranya! Aura Pakuan yang begitu berwibawa ketika memasuki kawasan Kebon Raya. Konon Kebon Raya ini dulu merupakan bagian dari Leuweung Samida atau hutan larangan. Sangetnya masih terasa hingga saya pulang meninggalkan Bogor, menuju kota lain yang ceritanya tak mungkin dilupakan.(*)

No comments: