Friday, September 11, 2009

Mengebiri Kreativitas

SEBUAH karangan bunga ditaruh di depan pelataran ruang sidang paripurna DPR RI, Senayan Jakarta. Karangan bunga itu sebagai tanda dukacita untuk perfilman Indonesia. Yang memasang karangan bunga itu bukan orang sembarangan. Mereka, para moviemaker, pembuat dan penggiat film jempolan di negeri ini. Sebut saja nama Riri Reza, Mira Lesmana, Nia di Nata, Slamet Rahardjo, dan lain-lain.

Kumpulan sineas ini menolak pengesahan Undang-Undang Perfilman. Bagi mereka, pasal-pasal di dalam UU ini mematikan perfilman Indonesia. Mereka seperti ditelikung dan dikontrol oleh pemerintah.

Contoh pasal yang membelenggu itu adalah Pasal 18. Pasal itu mengatur soal pembuatan film yang harus mengajukan pendaftaran kepada menteri disertai judul, isi cerita, dan rencana pembuatan film. Berikutnya, pasal yang paling ditolak sejumlah penggiat film adalah Pasal 49. Pasal ini berisi ketentuan insan perfilman berkewajiban memenuhi standar kompetensi dan memiliki sertifikat profesi dalam bidang perfilman. Lebih jauh, Pasal 68 mengatur lagi, standar kompetensi dilakukan melalui sertifikasi kompetensi.

Coba kita bayangkan jika seorang Riri Reza hendak memfilmkan novel keempat Andrea Hirata, Maryamah Karpov, misalnya. Sebelum memulai kegiatan filmnya, Riri harus memiliki sertifikasi kompetensi. Ia, paling tidak, akan diuji oleh tim yang terdiri atas pakar untuk menentukan kompeten tidaknya seorang Riri menjadi sutradara film.

Lolos dari uji kompetensi yang mungkin meniru sertifikasi guru itu, Riri harus menyiapkan proposal pembuatan film sekaligus meminta izin kepada menteri.
Sungguh panjang jalan yang harus ditempuh untuk membuat sebuah film. Mungkin bagi seorang Riri Reza, sebutlah birokrasi itu bisa ditempuh dengan mudah, tapi bagaimana dengan yang lain?

Lalu, jika kita tafsirkan lebih jauh bahwa film yang dimaksud dalam Undang-Undang Perfilman ini juga termasuk yang dinamakan film independen atau indie, film dokumenter, film pendek, film kartun, dan film-film lain di luar arus utama film layar lebar dan layar televisi, jelas undang- undang ini mengebiri kreativitas insan perfilman.

Bagaimana mungkin anak-anak SMA yang tengah bersemangat menjadi moviemaker harus berurusan panjang dengan birokrasi hanya untuk membuat film pendek tentang si Badu yang suka bolos sekolah? Atau apakah mahasiswa tingkat akhir jurusan sinematografi harus dibuat ribet dan kalang-kabut dengan surat izin dan birokrasi tetek-bengek lainnya kepada menteri hanya untuk membuat film tentang kehidupan kaum pemulung di TPA Bantargebang?

Benar belaka bahwa perfilman kita memerlukan aturan jelas. Soal pornografi, SARA, kekerasan, adalah hal yang sudah menjadi aturan tak tertulis bagi siapa pun. Bukankah ketika sinetron di televisi lebih banyak adegan tampar-menampar, caci-maki, dan tindak kekerasan lainnya, kita langsung bereaksi?

Kalaupun ada aturan, maka yang hadir adalah aturan yang tidak membelenggu dan mengebiri kreativitas, bahkan mendukung penuh kreativitas sineas-sineas film Indonesia untuk menghasilkan film yang bermutu. Film yang bermutu itu bukan film yang dikebut dalam semalam. Tentu pula bukan film dengan lakon setan pocong, wewe gombel, kuntilanak, yang menghuni jembatan, pohon, kereta api, dan rumah sakit.

Kita ingin negeri ini kaya dengan film yang memberikan pencerahan kepada rakyatnya, film yang melambungkan asa tentang negeri ini, film yang menginspirasi untuk bisa berbuat lebih baik. Film yang bisa meyakinkan bahwa negeri ini masih memiliki harkat martabat di mata dunia. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 10 September 2009.

No comments: