Friday, October 02, 2009

Gampo


NEGERI ini ibarat tumbuh di atas agar-agar. Sebentar oleng ke kiri, sebentar ke kanan. Mudah diguncangkan. Bumi yang kita pijak ini memang terus bergerak. Lempengan demi lempengan bumi mendesak tak henti melontarkan energi yang tak terkira dahsyatnya.

Belum hilang dalam ingatan kita, kurang dari sebulan lalu, gempa mengentak bumi Pasundan. Masih terngiang di telinga kita, jerit tangis anak yang kehilangan ibu-bapaknya, ibu yang kehilangan bayinya, suami yang kehilangan istrinya dan, sebaliknya, istri yang kehilangan suami berikut anak-anak tercintanya.

Masih terekam jelas pula dalam benak kita, gempa menyebabkan bukit longsor, meluluhlantakkan permukiman warga di Cikangkareng, Cianjur, dan mengubur mereka yang tidak sempat lari.

Dan kini, bencana lebih dahsyat mendera Pariaman dan Padang di Sumatera Barat. Gampo, begitu orang Minang menyebutnya, nyaris meratakan dengan tanah kota asal para saudagar itu. Guncangan bumi itu menerbitkan rasa takut luar biasa, seperti kiamat hendak menjelang.

Orang yang berdagang meninggalkan jualannya, ibu-ibu lupa dengan anaknya yang biasa menggelendot, pekerja kantoran tak peduli lagi dengan segunung pekerjaannya. Mereka berlari kebingungan, tak tentu arah, hanya untuk menyelamatkan diri.

Persis seperti digambarkan Allah Swt dalam Alquran bahwa ketika sangkakala ditiup semua manusia berada dalam kebingungan. Dan ketika bumi diguncangkan, gunung-gunung terbang seperti anai-anai, manusia sudah tidak ingat lagi dengan urusannya.

Sesungguhnya penghuni negeri ini harus bersyukur menjadi orang Indonesia. Karena menjadi orang Indonesia berarti menjadi orang yang sabar, tawakal, dan beruntung. Berkali-kali dihantam musibah dan bencana, kita tetap tegar.

Gempa mereda, gunung meletus. Menyusul banjir bandang, lalu longsor. Tak hanya itu, pesawat jatuh dan kapal tenggelam pun susul-menyusul menjejali daftar musibah di negeri ini.

Semuanya itu menguji kesabaran dan keimanan kita. Kita yang lolos dari berbagai bencana sebenarnya sedang diuji, apakah kita peduli kepada saudara kita yang menjadi korban.

Bahwa musibah yang terjadi hanyalah sebuah tamparan kecil dari Tuhan agar kita kembali ke jalan yang benar. Tak heran, sering kali musibah menjadi sarana efektif untuk kian mendekatkan diri pada Allah Swt.

Karena kesabaran kita pula, maka kita termasuk orang yang beruntung. Mereka yang bersabar saat ditimpa musibah dan bencana itulah yang akan mendapat berkah yang sempurna, rahmat dan petunjuk dari Tuhan.

Dan kita pun beruntung karena bencana yang datang silih berganti itu sebenarnya mengingatkan kepada kita bahwa kematian begitu dekat, tak mengenal tempat dan waktu, tak kenal kaya dan miskin, penguasa jelata. Karena maut tak kenal ampun, kitalah yang harus bersiap menyongsongnya, agar hidup berakhir dengan indah, khusnul khotimah. Dari rentetan musibah ini, semoga kita mendapat hikmah dan rahmat Allah Swt. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 2 Oktober 2009.

No comments: