Friday, June 12, 2009

Alutsista Kita

KECELAKAAN beruntun alat tempur milik tentara kita dalam tempo dua bulan memunculkan keprihatinan. Selain kehilangan putra-putri terbaik bangsa, hilang pula aset berupa alat tempur. Sebut saja pesawat Fokker 27, Hercules, dan yang terakhir Helikopter Bolkow BO- 105.

Mungkin bagi negara sebesar dan sekuat Cina, hilang satu dua kendaraan perang tidaklah berarti. Tapi bagi Indonesia, di tengah kesulitan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI, kehilangan satu pesawat sangat-sangat berarti.

Apalagi di tengah "olok-olok" Malaysia di Blok Ambalat, ketangguhan alutsista negara kita semakin dipertanyakan. Sejauh mana persenjataan yang kita miliki mampu mempertahankan tanah air yang memiliki bentangan pantai terpanjang di dunia ini?


Alutsista TNI AD, seperti diakui KSAD Jenderal TNI Agustadi Sasongko, hanya 60 persen yang masih laik. Nasib yang sama kurang lebih dialami pula oleh TNI AU dan TNI AL. Bahkan bisa jadi lebih minimal. Bayangkan saja, dari kebutuhan anggaran pertahanan sebesar Rp 127 triliun, hanya terealisasi 30 persen atau sekitar Rp 36 triliun saja. Masih jauh dari kebutuhan minimun sebesar Rp 100 triliun. Dan anggaran yang minim itu pun lebih banyak tersedot untuk anggaran rutin gaji prajurit, hanya sepersekian persen yang digunakan untuk membeli alutsista baru atau merawat alutsista yang lama.

Memang minimnya anggaran pertahanan tidaklah paralel dengan sering terjadinya kecelakaan yang menimpa alutsista TNI. Semua pun tahu, dalam kecelakaan apapun tidak ada faktor tunggal yang menjadi penyebab. Pasti ada faktor lain, disamping faktor utama. Sebutlah itu faktor cuaca buruk, human error, dan sarana yang tak laik. Tapi sedikit banyak, anggaran yang minim itu turut menyumbang.

Tentu akan ada pula yang berapologi, bahwa yang penting itu bukanlah senjatanya, tapi manusianya, orang-orang yang memegang senjata atau "the man behind the gun". Tak heran, jika pengembangan kekuatan tentara kita pun lebih dititikberatkan pada kemampuan personel, ketimbang pengadaan atau pembaharuan persenjataan. Hasilnya memang patut diacungi jempol. Kemampuan personel Kopassus atau Kopaska, setara dengan kemampuan personel pasukan elite lainnya di dunia.

Namun dalam situasi dan kondisi saat ini, ketika negara-negara luar mulai mengganggu dan mempermainkan kita, tak ada salahnya, jika sumber daya personel prajurit yang unggul itu diimbangi dengan ketersediaan alutsista yang juga mumpuni.

Setidaknya ketersediaan alutsista yang paling minimal. Jika untuk menjaga laut dan pantai kita dibutuhkan 1.000 kapal sekelas KRI, setidaknya 750 KRI harus kita miliki. Jika untuk mempertahankan kedaulatan udara TNI AU membutuhkan 100 skuadron pesawat tempur Sukhoi, setidaknya 75 skuadron sudah siap mengangkasa.

Bagaimanapun kita tidak ingin terus menerus menjadi bahan olok-olok negeri jiran saat melihat kemampuan alutsista kita. Sudah saatnya, anggaran pertahanan itu dinaikkan hingga mencapai anggaran kebutuhan minimum. Ini agar masyarakat Indonesia pun bisa merasa lebih aman melihat kekuatan alutsista TNI yang tak kalah dari negara lain.(*)

Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 10 Juni 2009.
NB: Saat mengundah tulisan ini, baru saja terjadi kecelakaan Heli Puma TNI AU jatuh di Lanud Atang Sanjaya, sekitar pukul 14.55.

No comments: