MULAI SENIN (19/11), saya harus berpisah dulu dengan keluarga dan teman-teman di kantor selama 10 hari. Jumat kemarin, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jabar mengirimkan surat tugas ke kantor. Isinya penugasan untuk pemantauan kota terbersih di Jabar yang layak mendapat penghargaan Adipura 2008.
Tahukan Adipura? Itu lho penghargaan buat kota terbersih di Indonesia. Malahan kota terkotor pun diumumkan biar malu, dan rajin bersih-bersih. Sebetulnya penugasan ini tidak mengejutkan. Karena seharusnya saya berangkat sejak bulan Agustus lalu. Namun
karena ada masalah anggaran, baik di pusat dan daerah, pemantauan terus diundur, hingga akhirnya ada keputusan November ini berangkat.
Mengapa saya bisa terlibat dalam tim pemantau Adipura? Semua itu berawal dari undangan pelatihan menjadi tim pemantau Adipura, tahun 2005 lalu. Pelatihan itu dijadikan seleksi untuk memilih anggota tim. Mereka yang terpilih mendapat sertifikat sebagai Tim Pemantau Adipura dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Selain PNS dari BPLHD, unsur pemantau Adipura juga berasal dari PNS di luar BPLHD, seperti Dinkes, Dinas Pendidikan. Di luar itu, ada anggota independen, yaitu kalangan akademisi. LSM, dan pers. Di Jabar, hanya ada dua koran yang jadi pemantau, yaitu Tribun Jabar dan Pikiran Rakyat. Sementara LSM yang memantau adalah Walhi Jabar, lalu ada Yayasan Gerimis.
Sejumlah kota sudah saya jelajahi untuk saya pantau kebersihannya. Wilayah III Pantura (5 kota/kabupaten), lalu kota Depok, Bekasi. Untuk pemantauan kali ini saya mesti menjelajahi wilayah Priangan Timur, mulai Tasik, Ciamis, dan Banjar, lalu melingkar ke Pantura (Indramayu, Cirebon, Kuningan, dan Majalengka).
Satu tim yang berangkat biasanya terdiri dari 4 atau 5 anggota. Komposisinya beragam: satu orang PNS, satu orang LSM atau akademisi, dan satu orang pers, ditambah dari KLH Regional Jawa. Itu untuk memantau kota/kabupaten yang tergolong kota kecil. Atau bisa juga dua PNS dari BPLHD, satu pers dan LSM ditambah pemantau dari Regional Jawa dan KLH Pusat.
Nah di sini yang biasanya suka rame. Pusat dan daerah sering bentrok, berbeda pendapat, dalam memberikan penilaian. Tugas saya adalah menengahi dan memutuskan penilaian yang lebih objektif. Tugas saya yang lainnya adalah mengawasi jalur komunikasi antara anggota tim dengan pihak kota yang dituju. Ya, suka ada saja anggota, terutama PNS, yang nakal. Mereka memberitahukan lebih dulu rencana kedatangan tim ke kota bersangkutan agar bisa bersiap-siap. Dan tugas saya, mencegah
hal itu terjadi, agar penilaian tetap objektif, apa adanya.
Ya Alhamdulillah, kota-kota yang kebetulan kena giliran saya pantau belum ada yang memperoleh Adipura. He he... Entah karena saya terlalu ketat menilai, atau gimana yah.. Saya sih bersandar pada fakta saja. Kotor dibilang kotor, bersih ya dibilang bersih. Toh ada bukti kuat yaitu foto-foto seluruh penjuru kota. Itu yang menjadi andalan saya saat presentasi di hadapan bupati dan walikota.
"Ini lho Pak, rumah sakit negeri anu suka buang limbah seenaknya. Jarum suntik dibuang apa adanya, tak masuk mesin insinerator. Padahal itu berbahaya, mengandung banyak kuman dan kemungkinan infeksi..bla bla. Nih fotonya, mau membantah Pak?," begitu saya suka "belagu" di depan pejabat-pejabat daerah. Mumpung, punya kekuasaan, sedikit-sedikit boleh lah berlagak... (*)
2 comments:
Masig ada to rupanya si adipura itu?
Selamat menilai aje......emang bener tuh, mesti obyektif.
Salam kenal...
Great Blog..!!!! Keep Blogging.... :)
Post a Comment