GEMURUH suara puluhan ribu penonton yang memadati Stadion Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, membuat merinding siapapun yang mendengarnya. Suara itu, bak dengung ribuan tawon, seolah memberikan suntikan darah dan semangat kepada 11 pemain PSSI yang tengah berlaga melawan Arab Saudi, Sabtu (14/7) malam.
Ya, itulah suasana yang tampak saat Timnas Indonesia menjalani pertandingan kedua Piala Asia 2007. Warna merah dengan nuansa putih mendominasi pemandangan di stadion terbesar se Asia Tenggara itu. Teriakan "Indonesia, Indonesia" membahana memenuhi udara, menghambur ke angkasa, membuat jantung setiap orang Indonesia yang menonton di televisi tersedot. Seakan merasakan atmosfer pertandingan yang begitu gegap gempita.
Apalagi pertandingan kali ini istimewa. Karena Presiden SBY hadir di tengah penonton. Boleh jadi, dia pun ikut teriak ketika Elie Eiboy, mencetak gol ke gawang Arab Saudi.
Tak ada sekat antara penonton. Semua lebur dalam satu nama: Indonesia. Tidak ada Bobotoh Persib yang juga melurug ke Jakarta. Tidak ada The Jak. Tidak ada Slemania, Bonek, dan lainnya. Tidak ada fans klub yang selama ini selalu membuat rusuh. Hanya satu kaus tim yang mereka pakai: Indonesia.
Inilah nasionalisme yang terbangkitkan. Hanya dengan sepakbola, rasa persatuan itu begitu kentara, begitu terasa, meresap ke dalam dada. Ada rasa bangga menjadi orang Indonesia. Selama ini, kita kehilangan harga diri sebagai sebuah bangsa. Semenjak reformasi, sudah semakin jarang orang yang ingat dengan Hari Kebangkitan Nasional. Orang pun sudah jarang menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Tapi lewat olahraga, nasionalisme itu muncul. Dengar bagaimana koor megah puluhan ribu orang menyanyikan Indonesia Raya. Tidak pernah ada kejadian semacam itu, kecuali saat Timnas bermain. Mungkin kita masih ingat, tahun 1998 di Barcelona, saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma mempersembahkan emas untuk Indonesia. Air mata itu mengalir tulus di pipi Susi ketika Bendera Merah Putih naik diiringi lagu kebangsaan. Perasaan haru pun saya yakin dirasakan pula orang berjuta rakyat Indonesia yang menyaksikan momen itu.
Seorang wartawan senior, kahot, yang telah meliput pertandingan sepakbola selama puluhan tahun (Piala dunia, Eropa, Amrik Latin dsb), saya lupa namanya, yang pasti dia orang Amerika keturunan Yahudi, bilang bahwa tidak pernah ada dalam sejarah manusia yang bisa mempersatukan perbedaan ras, agama, dll, kecuali sepakbola. Sepakbola telah menjadi "agama" baru. Nasionalisme pun bangkit ketika tim negaranya bertanding. Persis seperti saat Indonesia melawan Arab Saudi.
Ketegangan begitu terasa, ketika pertandingan menyisakan beberapa menit injury time. Kedudukan masih imbang 1-1. Dan sesaklah napas seluruh rakyat Indonesia malam ini, ketika pemain Arab Saudi, Saad, melesakkan gol ke gawang Jendri Pitoy dan membawa kemenangan negeri Petro Dolar itu.
Walau menyesakkan, kebanggaan tetap ada. Menyaksikan perjuangan 11 pemain Timnas yang dengan gagah berani meladeni pemain Arab, rasanya memunculkan harapan. Kita bisa sejajar dengan mereka. Heroik. Itulah kesan yang muncul.
Dan sesungguhnya, kemampuan orang Indonesia memang tidak bisa diremehkan. Di ajang Olimpiade Matematika, Fisika, dan Astronomi, anak-anak muda Indonesia sudah lama mengharumkan ibu pertiwi ini. Nama-nama mereka melambung, melesat, ketika berhasil merengkuh penghargaan tertinggi, mengalahkan negara lain yang dianggap lebih "pintar" dari orang Indonesia. Walau sambutan yang didapat tidaklah seheroik penonton sepakbola, tapi mereka tak putus semangat. Mereka tetap bangga membawa bendera Merah Putih.
Nasionalisme itu masih ada, Bung!. (*)
No comments:
Post a Comment