Wednesday, July 18, 2007

Foto-foto Pakuhaji (Part-1)


KALAU melihat bagian depan atau pintu gerbangnya, saya tidak menyangka kalau tempat itu adalah tempat wisata Pakuhaji. Kiri kanan, depan belakang, dipenuhi kebun. Hanya baligo besar yang menunjukkan itulah Kawasan Wisata Kuda dan Warung Liwet Pakuhaji.
Bu Eri, Kaka Bila, Mas Fathan, Farid, Nurul, semua mencoba berjalan di ayunan. Kalau tidak hati-hati dan berpegangan erat, bisa jatuh juga, lho. Ternyata Kaka berani dan bisa melewati halang rintang ayunan ini.

Ingat halang rintang, jadi ingat waktu ikut pendidikan kepemimpinan di Sekolah Calon Tamtama (Secata) Pangalengan, dulu, 18 tahun lalu. Tepatnya bulan Desember 1989. Saya sebagai anggota Gerakan Pramuka Ambalan Sunan Rachmat SMA Negeri 2 Cimahi, bersama 3 rekan lainnya, menjadi peserta Gladian Pimpinan Satuan (Dianpinsat atau GPS) III Pangalengan.

Selama 2 minggu, kami digojlok habis oleh instruktur-instruktur militer. Ya, pelatih kami adalah orang militer yang biasa melatih Catam-catam. Yang saya ingat, pangkat instruktur tertinggi adalah Sersan Dua. Lainnya adalah Kopral-kopral.
Porsi latihan hampir sama dengan porsi latihan catam. Bedanya, Catam tidur di asrama, kami tidur di lapangan luas, memakai tenda. Catam makan teratur, kami tidak. Karena kami harus memasak sendiri. Pernah karena kekurangan makanan, saya "merembes" keluar dari tenda, cari makanan ke warung di kampung. Merembes itu istilah keluar dari markas secara diam-diam, dan tentu tanpa izin. Kalau ketahuan, weleh berabe. Hukumannya macam-macam. Lari keliling lapang sepakbola atau push up di atas lumpur tahi sapi. Hiiiy..
Tapi senang juga merembes kayak gitu. Memacu adrenalin, sport jantung, takut tepergok pelatih atau petugas piket. Senangnya kalau pulang lagi ke tenda secara sukses sambil menggondol makanan dari warga. Beli kok, bukan mencuri. Kadang ada juga warga yang memberi, tanpa mau dibayar. Begitulah kalau di desa, sikap tolong menolong dijunjung tinggi. Tak peduli saudara atau bukan, pasti akan ditolong.
Nah soal halang rintang. Ini adalah makanan sehari-hari kami setiap pagi. Para calon-calon pemimpin satuan ini harus melewati sekitar 15 rintangan yang mengelilingi lapangan. Ada jembatan goyang, kandang gajah, berayun di tali, berjalan di balok kayu datar dan miring, manjat pagar tinggi, merayap di bawah kawat berduri, dll.
Saya adalah peserta Gladian paling pendek. Tapi soal kemampuan melewati halang rintang, saya bisa diadu dengan mereka yang lebih besar. Karena cekatan dan fisik bagus, instruktur-instruktur militer menjuluki saya "Tentara Jepang". "Nah, ini ni si Tentara Jepang, ayo ayo lari," begitu mereka menyemangati saya.
Ada satu instruktur yang sampai kini saya ingat betul namanya. Kopral Dua Rubiyanto. Kenapa masih ingat? Soalnya dia ini yang memarahi saya waktu mau Rappeling dari tower. Waktu saya masang tali tubuh dan carabiner, dia mencak-mencak di depan saya. "Hei kamu, jangan sok jago yah. Kalo kamu bisa melompat satu kali lompatan, saya kasih kamu duit seribu," kata dia dan bla bla lainnya yang intinya mah meremehkan saya.
Dimarahi sekaligus ditantang seperti itu, semangat saya makin tinggi. Setelah semua peralatan oke, saya pun bersiap, mulai meloncat-loncat kecil, memijak ke papan tower untuk ancang-ancang. Dan... Bismillah. Saya pun melompat sambil mengulur tambang dadung (emang kuno banget, bukan tali karmantel) sejauh mungkin. Dan Hup, saya melayang cukup lama, lalu mendarat di tanah sambil mengendurkan kaki seperti orang jongkok. Hanya satu kali lompatan, dari ketinggian 25 meter. Saya pun menerima uang Seribu Perak sebagai hadiah dari Kopral Dua Rubiyanto yang perawakannya gemuk itu.

No comments: