Sunday, March 23, 2008

Tak sedahsyat Novelnya: AAC

AKHIRNYA setelah beberapa kali tertunda dan menunggu sebulan lebih, saya dan Bu Eri pun berkesempatan menonton film fenomenal saat ini, Ayat Ayat Cinta (AAC). Bioskop yang kami pilih untuk menonton adalah Empire 21 BIP. Karena tempat ini yang paling dekat dari Cimahi. Sebelumnya, berencana menonton di BSM atau di Megablitz. Tapi BSM terlalu jauh, sementara Megablitz tidak menayangkan film AAC.

Ceritanya, setelah gagal menonton pada Minggu lalu, kami berencana menonton hari Kamis (20/3). Dan datanglah kami ke BIP jam 11.00. Tentu saja, tiket untuk pertunjukan awal pada 11.45 sudah ludes. Juga untuk pukul 12.15, 14.15, habis sudah. Untuk menonton pada jam tayang lebih sore, jelas tidak mungkin. Saya harus bekerja. Walau libur Maulid Nabi, Tribun tetap terbit. Hanya Bu Eri yang punya jatah libur, karena hari Jumat, koran PR tidak terbit.

Karena tak jadi nonton, akhirnya Bu Eri beli beberapa keperluan. Setelah itu makan siang di pujasera BIP. Lalu saya ingat, punya janji bertemu teman bisnis di Pujasera Merdeka. Akhirnya bertemu Agus, teman bisnis saya. Agus adalah adik angkatan saya di SMA 2. Dia anak yang tekun, pintar, dan rajin ibadah. Sambil berjualan pun, tasbihnya terus bergerak. Saya banyak belajar tentang tauhid pada Agus.

Nah, rencananya Jumat siang, kami mau mencoba nonton film AAC. Sejak awal, saya ingatkan, walau sudah sebulan lebih tayang, penonton AAC masih mengular, sehingga beli tiket pun harus lebih awal.
Tapi begitulah, selalu saja ada halangan untuk mewujudkan rencana. Dua sohib saya, Nana Sate dan Otoy, bertandang ke rumah sebelum Jumatan. Mereka ngajak saya main basket. Ya sudah, kita pun main basket sesudah salat Jumat. Sementara Bu Eri sudah berangkat ke Bandung untuk beli tiket AAC. Sayangnya, tiket untuk jam 14.15 sudah habis. Tiket hanya tersedia untuk jadwal jam 5 sore dan seterusnya. Dan Bu Eri memutuskan untuk beli tiket jam 5 itu.

Saya memang keasyikan ngobrol dengan sohib-sohib saya itu. Terlebih, tambah satu sohib lagi yang datang, yaitu Irwan. Makin larutlah saya dalam obrolan. Jam 3 saya pamit, karena harus ke Bandung. Perkiraan saya, karena tayang jam 5, maka dari Cimahi bisa berangkat jam 4. Memang benar, jam 4 lebih sedikit saya berangkat dari rumah. Namun di tengah jalan, saya mesti isi bensin, lalu memompa ban karena gembos.

Tiba di tempat parkir BIP, tepat jam 5 sore. Bu Eri sudah beberapa kali menelepon. Dan rupanya, saya telat datang. AAC bukan diputar jam 5 teng, tapi jam 5 kurang seperempat. Wah, lumayan lama telatnya. Bu Eri yang nunggu sejak siang, sudah pasang tampang cemberut saja. Lagi-lagi nonton AAC gagal. Akhirnya kami ke Bakso Malang Karapitan (BMK), cari makan.

Saat makan di BMK itu, dengan hati masih kesal, kami pun tertawa. "Susah pisan nya nonton ayat ayat Cinta. Kemarin kehabisan tiket. Sekarang tiket sudah di tangan, eh telat datang. Aya we hahalangna teh," kata saya.

Tapi bukan saya kalau tidak nekat. Kagok asong lah, sudah kepalang basah. Saya usul ke Bu Eri untuk nonton pada malam hari, jam tayang terakhir pukul 21.30. Bu Eri pun setuju, dengan syarat, pekerjaan sudah selesai. Saya pun ikut antrean untuk memesan tiket, dan akhirnya menggenggam dua tiket film AAC. Sambil menunggu Bu Eri selesai, saya ada di Gramedia. Lalu nongkrong di warnet Gazeboo.

Setengah jam sebelum pertunjukan, saya sudah bersiap di BIP. Menit demi menit berlalu, dan jam pertunjukan kian dekat. Bu Eri belum muncul juga. Akhirnya, lima menit sebelum pintu studio 1 dibuka, Bu Eri muncul. Kesampaian juga akhirnya.
Walau malam dan jam tayang terakhir, ternyata studio tetap penuh. Mereka yang menonton, saya perhatikan sangat beragam. Ada sepasang kakek nenek, ibu-ibu, bapak-bapak berjas rapi, suami istri, anak muda gaul, dan sebagainya.

Dan sampai selesai menonton film AAC, saya berkesimpulan, film ini tidak sedahsyat novelnya. Kalau novelnya mampu membuat saya menitikkan airmata, filmnya tidak begitu. Bagi Bu Eri dan mereka yang tidak sempat membaca novelnya lebih dulu, film ini pasti akan mengharu biru. Air mata pasti akan mengalir, deras. Tapi saya tidak. Karena banyak hal yang berbeda jauh, antara imajinasi hasil saya membaca novel dengan kenyataan di film. Entah, setting film itu sangat mengganggu. Tidak ada sama sekali bau Mesir, yang sesungguhnya menjadi jiwa dari novel itu. Itu pendapat saya, entah pendapat orang lain.

Tapi sebagai sebuah tontonan, film ini memang menyegarkan. Menawarkan sesuatu --dan bisa jadi sebagai pelepas dahaga-- yang lain dari film lain. Sangat mungkin, masyarakat jenuh disodori tema film yang seragam, kalau tidak horor, hantu, pocong, kuntilanak, ya seputar seks. AAC sarat dengan pesan kemanusiaan dan persaudaraan.

No comments: