UKURANNYA tak besar. Kira-kira 80 cm kali 1,5 meter. Terbuat dari kayu atau multipleks dengan kaki yang menyangga hanya dua. Jumlah orang yang bisa ditampung pun tak banyak. Maksimal tujuh orang. Tapi inilah, meja yang sangat dirindukan pada hari-hari puasa di kantor kami.
Meja ini menjadi tempat favorit para awak malam Tribun untuk berbuka puasa dan makan lama. Biasanya kami makan malam setelah sesi pertama dikirim ke percetakan. Jadi sekitar pukul 19.30 atau 20.00, acara makan bersama pun dimulai.
Rasanya nikmat, bisa makan bareng-bareng. Serasa botram, karena setiap orang membawa bekal dari rumah masing-masing. Memang yang paling aktif dan paling banyak berkumpul di meja ini adalah anak-anak layout. Orang redaksi hanya beberapa saja, tak sebanyak mereka. Saya termasuk yang selalu makan malam di meja ini. Setiap hari saya bekal makanan berat dari rumah. Walau sudah masuk rantang sejak pagi, makanan itu tetap hangat, karena pakai termos khusus.
Yang membuat meja ini dirindukan adalah kebersamaan yang tercipta di setiap kali kami berkumpul makan bareng. Kami biasa berbagi makanan yang dibawa. Jadi semua orang bisa menikmati gorengan, kerupuk, soto, sambel, yang dibawa dari rumah. Orang yang tidak bawa nasi pun bisa makan bareng-bareng, karena kami selalu menyisihkan nasi di rantang untuk mereka yang tidak bawa nasi.
Dari meja itu pula keluar berbagai obrolan, mulai soal pekerjaan, agama, politik, dan sebagainya. Setengah jam sampai satu jam, kami bertahan di meja itu sebelum melanjutkan kembali pekerjaan yang tertunda. Akankah setelah Ramadan berakhir, meja itu akan kembali dipenuhi awak malam Tribun, mudah-mudahan begitu. (*)
No comments:
Post a Comment