PAGI BUTA 9 September ini dibuka dengan keriuhan dua bidadari kecil di rumah kontrakan. Alhamdulillah, beberapa hari ini Kaka kuat shaum. Dan setiap sahur, pasti tak susah dibangunkan. Dan ternyata Adik pun sigap bangun saat aku, Bu Eri, Mbah, Teteh, dan Kaka, makan. Padahal biasanya baru bangun saat azan Subuh. Seolah ingin merayakan ulang tahun pernikahan ayah dan ibunya. He he geer.
Setelah melek begitu rupa, tak ada cerita Adik tidur lagi. Dia akan berputar, berguling, di kasur. Mengotak-atik DVD player di meja, menjahili Kaka yang sudah tidur duluan dengan cara mencolok-colok mata atau hidungnya. Mengganggu ayah dan ibunya yang lagi salat. Meminta Alquran kecil dan menirukan orang yang mengaji.
Nah saat membaca Alquran itulah, saya tertidur sambil masih memegang mushaf, punggung bersandar pada dinding beralas bantal. Maklum, ngantuk berat setelah piket. Saya baru pulang ke rumah pukul 02.00 dini hari. Saya sempatkan untuk tidur sakerejep, biar badan istirahat sejenak.
Saya tak tahu lagi apa yang Adik kerjakan. Hanya sayup-sayup saya dengar, dia memanggil-manggil,"Bu, Mbu...Yah, Ayah". Rupanya Adik main sendirian, karena Bu Eri pun tertidur di bedcover yang dijadikan kasur.
Sampai akhirnya, jam menunjukkan 07.30, Teteh membangunkan Kaka yang nyungsep di punggung ibunya. "Ka, bangun Ka, sekolah". Aku pun ngorejat, terbangun dan segera membangunkan Kaka. "Hayo, hayo, telat bangun ini. Bangun Ka, Bu," kata saya membangunkan semua, termasuk Adik yang tidur nyempil dekat Kaka.
Mulailah kesibukan terjadi. Kaka segera mandi, tepatnya dimandikan Bu Eri. Melihat Kakanya mandi, Adik pun ingin mandi. Akhirnya mereka giliran dimandikan Bu Eri. Sementara saya cukup cuci muka saja, bersiap untuk mengantarkan Kaka ke sekolah.
Namun karena perut melilit, saya ke WC dulu. Seperti biasa, WC adalah tempat bertapa paling baik. Rupanya Kaka sudah selesai berseragam, Adik pun sudah paku baju. Sementara jarum panjang jam dinding sudah menyentuh angka 10.
"Ayah, ayo cepat, udah siang nanti terlambat," teriak Kaka. Adik pun tidak mau kalah, ikut teriak dengan bahasa planet. "Yah, A cep," katanya. Saya tertawa mendengarnya. Maksudnya tentu Ayah cepat. Karena artikulasi yang belum fasih saja, omongan Adik terdengar aneh.
Saya pun bergegas menyiapkan motor, dan langsung tancap gas menuju TK Attaqwa, setengah kilometer jaraknya dari rumah. Pulang mengantar, saya tak langsung ke rumah kontrakan, tapi ke rumah yang tengah dibangun. Tak lama Adik dan Teteh datang sambil membawa nasi buat sarapan pagi Adik.
Saya pun tak lama di rumah belum jadi itu. Langsung kembali ke rumah kontrakan. Hanya ada Bu Eri yang tengah beberes. Memang sepi di rumah wetan, begitu kami menyebut rumah kontrakan ini. Kami pun terlibat perbincangan tentang rumah, bagaimana memanfaatkan uang tersisa untuk barang prioritas. Karena hanya itu yang bisa kami lakukan, memindahkan prioritas saja. Misalnya, semula dengan uang yang ada bisa beli kaca dan engsel pintu, namun karena prioritasnya digeser, uang dibelikan untuk keramik kamar mandi.
Setelah sepakat dengan perubahan prioritas pembangunan rumah, baru saya mandi, bersiap untuk pergi ke kantor. Beraktivitas rutin seperti hari-hari sebelumnya, dan pulang kembali ke rumah saat anak-anak sudah terlelap semua. (*)
No comments:
Post a Comment