BULAN sabit di langit kian mengecil. Itu pertanda, bulan Ramadan akan segera berakhir, dan muncul bulan baru, Syawal. Tak terasa perjalanan ruhani selama satu bulan ini hampir usai. Dan suasana Idul Fitri pun sudah menjelang. Idul Fitri, inilah yang menjadi puncak pendakian selama sebulan ini menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu. Titik kulminasi ibadah sebulan penuh.
Tak heran, untuk kembali fitri itu, orang-orang kota rela berdesak-desakkan di bus-bus dan kereta api. Menuju ke tanah kelahiran, untuk menyambung kembali tali silaturahmi yang terputus. Dengan silaturahmi itulah segala kesalahan, alpa dan dosa, lebur. Diri ini pun kembali putih. Fitrah, bersih jiwa, ibarat bayi yang baru dilahirkan.
Tahun ini berkah dan rahmat Idul Fitri tentu lebih besar. Mengapa demikian? Karena jika perbedaan saja adalah sebuah rahmat, tentu sebuah persamaan nilainya lebih besar lagi. Apa hal yang mendasarinya? Karena umat Islam Indonesia, tak peduli orang NU, Muhammadiyah, dan Persis, kemungkinan besar akan melakukan salat Ied secara bersamaan pada hari Rabu 1 Oktober 2008.
Tentu itu sesuatu yang harus disyukuri. Karena ini hal yang termasuk jarang alias langka. Selama bertahun-tahun, setiap menjelang Ramadan dan Lebaran, selalu terjadi perbedaan penetapan awal Ramadan dan 1 Syawal. Walaupun pemerintah sudah menetapkan hari H, tapi tidak menjamin umat Islam Indonesia bisa bersama-sama menggemakan takbir.
Karena itu, upaya para ahli falak dan astronomi di ITB beberapa waktu lalu untuk menggagas penyatuan penanggalan tentu harus dijunjung tinggi sebagai sebuah upaya memersatukan kaum muslimin di Indonesia.
Dalam kalender nasional peninggalan Orde Baru, tanggal 1 Oktober merupakan tanggal keramat, selalu diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Terlepas dari kontroversinya, 1 Oktober mengingatkan masyarakat, bahwa Indonesia masih memiliki Pancasila yang hari- hari ini semakin dilupakan. Pancasila yang menyatukan berbagai keberagaman milik bangsa ini.
Diakui atau tidak, slogan Bhinneka Tunggal Ika yang didengung-dengungkan Orde Baru ternyata efektif untuk mengikat perasaan satu bangsa, walaupun kenyataannya bangsa ini terdiri dari ribuan pulau, ribuan suku, dan budaya.
Jika Ramadan mengajarkan semangat toleran kepada sesama, itu pula yang harus diusung setelah Ramadan usai. Di bulan-bulan di luar bulan suci ini, toleransi di antara anak bangsa ini yang harus menjadi pijakan, dan bukan arogansi yang mengoyak kerukunan beragama yang menjadi tujuan.
Kita semua berharap pintu-pintu langit terbuka dan ampunan Allah SWT tercurah bagi mereka yang benar-benar berpuasa dan meraih takwa di akhir Ramadan ini. Berharap, saum ini akan menyembuhkan luka-luka dan membangkitkan bangsa ini dari segala macam terpaan krisis. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Senin 29 September 2008
No comments:
Post a Comment