Sunday, November 02, 2008

Sang Besan

AULIA Tantowi Pohan, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana aliran BI sebesar Rp 100 miliar. Walau terlambat, ini sebuah langkah besar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hambatan psikologis telah dilampaui. Maklum, Pohan adalah besan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

Bagaimanapun posisi sebagai besan ini menimbulkan ewuh pakewuh, bahkan syak wasangka. Keterlambatan penetapan tersangka pun dinilai sebagai bagian dari ewuh pakewuh itu.

Padahal fakta di persidangan sejak awal sudah menunjukkan Pohan terlibat aktif dan yang mengusulkan pencairan dana Rp 100 miliar itu. Di saat Burhanudin Abdullah, Gubernur BI, terpuruk divonis hukuman 5 tahun penjara, barulah status Pohan ditetapkan.

Yang dinantikan pascapenetapan status itu tentu sikap SBY. Dan ternyata SBY menunjukkan sikap sebagai seorang negarawan. Dia mengakui, sebagai keluarga besar, tentu ada perasaan sedih. Karena itu dia harus menenangkan keluarga besan, anak menantunya dan itu adalah hal yang manusiawi.

Sebagai seorang kepala negara yang berkomitmen menegakkan hukum, SBY patut diacungi jempol. SBY mendukung penuh penegakan hukum demi keadilan dan kebenaran. Tidak ada nepotisme untuk membuat negeri ini berjalan di jalur keadilan. Hukum tak pernah pandang bulu dan kedudukan. Siapapun mereka, jabatan apapun yang mereka sandang, selama bersalah di mata hukum, wajib menjalani hukuman, tak terkecuali besan presiden.

Langkah KPK ini juga harus semakin dipertegas. Agar tidak muncul lagi istilah tebang pilih. KPK hanya membidik orang-orang di luar lingkaran penguasa. Kasus Pohan ini menjadi entry point untuk menunjukkan bahwa KPK tak tebang pilih.
Sesungguhnya pemimpin yang adil adalah pemimpin menjunjung tinggi hukum. Dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Khattab dikenal sangat tegas, tidak memihak, dan tak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Suatu ketika anaknya sendiri yang bernama Abu Syahma, dilaporkan terbiasa meminum khamar. Umar memanggilnya menghadap dan ia sendiri yang mendera anak itu sampai meninggal. Cemeti yang dipakai menghukum Abu Syahma ditancapkan di atas kuburan anak itu.

Setidaknya benih sikap tegas Umar masih ada di negeri ini. Artinya, masih ada harapan negeri ini menjadi negeri yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, apabila pemimpinnya pun mengharamkan dan konsisten untuk tidak KKN.(*)
SOROT, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 31 Oktober 2008

No comments: