Saturday, November 15, 2008

My Home Metamorphosis (8): Detik-detik Terakhir

WAKTU terus bergulir. Tak terasa hampir genap enam bulan para tukang bekerja keras membangun rumah kami. Tentu banyak perubahan di sana-sini. Kini rumah itu sudah berdiri tegak. Sejumlah properti, sarana di dalam rumah sudah terpasang. Kamar mandi di lantai atas dan bawah sudah siap pakai. Tinggal water heaternya saja yang belum terpasang. Menunggu dibuatkan boks beton untuk tempat tabung gas.

Semua keramik sudah terpasang, baik di lantai atas maupun bawah. Bahkan lantai
atas sudah dicat warna abu asap. Kamar Kaka Bila sudah diwarnai Pink dan Ungu. Kamar depan sudah berwarna oranye gradasi tua muda. Sebagian jendela juga sudah berkaca. Oh iya, pintu dan jendela memang sudah dipasang beberapa hari lalu. Plus kunci-kuncinya.

Saya tak menyangka kemajuannya bisa sejauh ini. Pembangunan ini tinggal menyisakan beberapa persen saja. Padahal dalam bayangan saya semula, rumah ini tidak akan berkeramik, juga tidak berplafon gipsum. Maklum keuangan kami sudah morat-morat. Semua kantong sudah dikeduk. Koredas, orang Sunda bilang. Semua perhiasan pun sudah dijual. Tak ada yang tersisa.


Namun itu semua belum cukup untuk menuntaskan pembangunan rumah kami. Sampai-sampai saya pun akan menjual sepeda motor yang sehari-hari saya pakai wara-wiri Cimahi-Bandung pp. Sebagai gantinya saya menggenjot sepeda 30 km setiap hari. Tapi Bu Eri melarang. Pertimbangannya, kalau pakai sepeda setiap hari dengan jarak yang cukup jauh risiko celaka dan sakitnya lebih besar. Sehingga sangat mungkin justru ongkos berobatnya lebih mahal ketimbang hasil penjualan sepeda motor yang pasti tak seberapa.

Setelah dipikir-pikir, ada benarnya juga. Akhirnya motor Honda Supra X keluaran 2003 itu tak jadi dijual. Biarlah untuk menyelesaikan rumah itu, kami mencicil sedikit demi sedikit pada bulan-bulan mendatang.

Dan hari ini adalah detik-detik terakhir pembangunan rumah itu harus berhenti. Jelas, berhenti karena tidak ada uang lagi. Lebih dari itu, masa kontrak rumah kontrakan pun memang habis akhir bulan ini. Sehingga mau tak mau kami harus pindah dan menempati rumah nyaris jadi itu.

Seharusnya minggu lalu para tukang bangunan asal Cililin itu semuanya pulang. Saya sudah sampaikan kepada Mas Rikhan, kakak ipar saya nomor satu yang mengomandoi para tukang. "Saya sudah tidak punya uang. Uang yang ada hanya untuk upah satu minggu terakhir ini," kata saya minggu lalu.

Tapi begitulah, Allah memberi jalan kemudahan untuk pintu masuk rezeki. Eh, ada saja rezeki yang datang. Kali ini lewat tangan Mas Rohman, kakak ipar nomor dua. Dia memberi uang kepada Mbah Uti untuk rumah. Hibah tak perlu dikembalikan. Saya sendiri punya utang 20 juta pada Mas Rohman.

Berbekal uang itu, pembangunan ini bisa bernapas lagi hingga Sabtu ini. Jelang detik-detik akhir, kembali ada rezeki halal yang datang. Akhirnya saya memutuskan untuk memperpanjang napas sampai empat hari ke depan. Memang kalau melihat pengerjaan sekarang, waktu empat hari itu tidak akan cukup, karena masih banyak yang harus dikerjakan dan dibereskan.

Tapi begitulah, hanya itu yang bisa saya sanggupi kepada Mas Rikhan untuk disampaikan kepada para tukang. Waktu empat hari itu juga sebenarnya subsidi silang. Ada beberapa item yang terpaksa tidak dikerjakan saat ini. Mungkin nanti setelah uang terkumpul kembali.

Segini pun saya sangat sangat bersyukur Alhamdulillah. Ternyata bisa juga membangun rumah. Serasa masih mimpi punya rumah permanen dua lantai. Ini memang awalnya cuma mimpi, tapi ternyata bisa terwujud.(*)

No comments: