KOMISI untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau lebih familiar disebut Kontras adalah nama lembaga yang begitu terkenal di awal-awal reformasi. Lembaga yang dipimpin Munir (alm) itu gigih memperjuangkan orang-orang yang hilang atau dihilangkan dan diculik oleh institusi negara agar bisa diketahui keberadaannya. Sebagian korban penculikan itu bisa kembali ke pangkuan keluarga. Namun sedikitnya 13 aktivis pro demokrasi, hingga kini tak tentu rimbanya.
Mungkin di zaman Orba, penghilangan orang secara paksa itu seolah hal wajar. Mereka yang dihilangkan secara paksa adalah yang berseberangan secara ideologi dengan negara atau dianggap mengganggu keamanan. Di era 80-an, berita penembakan preman dan orang-orang bertato menjadi topik berita. Pembunuhan misterius (Petrus) cara rezim waktu itu, walau tak diakui secara resmi, untuk menyingkirkan gangguan keamanan di tengah masyarakat.
Tapi zaman itu sudah berlalu. Saat ini kita hidup di zaman serba terbuka dan segala hal bisa didiskusikan. Zaman yang seharusnya tak perlu lagi ada penghilangan paksa atau penculikan atas motif apapun. Namun negara tak bisa menjamin keamanan warga negaranya sendiri. Kasus penculikan justru marak di negeri ini.
Masih hangat dalam memori kasus penculikan Rasya, bocah Jakarta, yang menghebohkan. Setahun lalu, di Bandung, Achriani Yulvie, mahasiswi Poltek Pajajaran ICB, juga hilang. Lalu menyusul rekannya, Fitriani, seorang guru TK, juga dibawa kelompok Alquran Suci. Di Cirebon, Tifatul Maulidia, mahasiswi Akademi Analis Kesehatan, juga raib. Mereka diduga dibawa oleh kelompok yang disebut-sebut Alquran Suci. Sebuah kelompok yang tidak diketahui wujudnya, namun aktivitasnya ada. Salah satu doktrin kelompok ini adalah mengkafirkan keluarga, sehingga tak perlu lagi berkumpul dengan keluarga.
Yang terbaru adalah hilangnya Ketua Himpunan Mahasiswa Planologi ITB, Mizan Bustanul Fuadi atau akrab disapa Inoel, pekan lalu. Berbagai asumsi motif hilangnya Inoel bermunculan mulai isu Babakan Siliwangi, kaderisasi di jurusan, homoseksual, masalah keluarga, bahkan NII. Asumsi Inoel jadi korban kriminalitas pun muncul. Namun hingga kini belum ada titik terang dimana dan karena apa Inoel menghilang.
Apakah nasib Inoel akan seperti orang-orang hilang lainnya yang tak penah ditemukan lagi? Di sinilah perlunya keseriusan seluruh pihak, baik keluarga, kampus, kepolisian, media, dan masyarakat, untuk mencari titik terang kasus ini. Ini menjadi penting agar masyarakat memiliki rasa aman dan nyaman tinggal di Kota Bandung. Tidak was-was akan menjadi korban penculikan, perampokan, dan kriminalitas lainnya.
Tidak ada salahnya keluarga Inoel melaporkan kasus ini kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Penghilangan orang bagaimanapun telah melanggar hak-hak dasar seseorang untuk hidup. Pelaporan ini juga sebagai jalan agar semua pihak terbuka dengan kasus ini. Jangan sampai ada pihak-pihak tertentu yang menutup-nutupi dan seolah tak mau tersangkut dengan kasus orang hilang ini. Atau jangan sampai pula ini hanya sekadar kasus sensasi, sehingga merepotkan semua pihak.
Yang pasti, mereka yang hilang ini akan terus dinantikan keluarga mereka. Baik Ibunda Inoel, Butet Nasution; Tuti Koto, ibunda Yani Afri, aktivis pro demokrasi yang hilang jelang reformasi 1998, ataupun ibunda Fitriani tetap yakin, anak-anak mereka masih hidup. Harapan merekalah yang membuat kita yakin kasus ini takkan tenggelam begitu saja. Kita doakan. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 29 November 2008
No comments:
Post a Comment