AKHIR minggu ini, tepatnya Jumat (28/12), kami kedatangan keluarga Mas Nur dan Mbak Ning. Mas Nur ini kakaknya Bu Eri. Jadi kakak ipar saya. Mereka bekerja dan tinggal di Cikopo Tangerang.
Bude Ani (kanan), Bude Ning (kiri, memangku Kaka). Adik dipangku Mbak Yasmi dan Mas Fathan
Mas Nur dan Mbak Ning datang beserta anak semata wayang, Yasmin. Umurnya 1,5 tahun lebih tua dari Kaka Bila. Tentu saja, Kaka Bila senang luar biasa, Mbak Yasmin --begitu Kaka memanggil--, datang.
Sejak dua hari lalu, Kaka sudah menelepon ke Tangerang, nanyain kapan Mbak Yasmin datang ke Cimahi. Kalau mereka berdua bertemu, woih, lengket. Kemana-mana mesti bareng. Mandi bareng, tidur juga bareng.
Seperti kemarin malam dan hari ini. Kaka tidur sama Mbak Yasmin di ruang tengah. Tapi begitulah. Tengah malam, Kaka bangun dan pindah ke kamar Bu Eri. Terus tadi pagi, sejak bangun sudah langsung main bersama. Mereka mandi di rumah Bude Ani. Lucunya, baju pun mereka pakai yang sama warnanya. Pink. Pake rok lagi, yang juga sewarna. Ah, pokoknya mau serba sama.
Ceritanya, Mas Nur dan Mbak Ning mau liburan akhir tahun. Mumpung ada waktu libur. Soalnya, waktu Lebaran kemarin, mereka enggak pulang ke Cimahi. Tapi langsung mudik ke Jawa.
Kebetulan anak-anak juga sudah libur semua. Kaka udah terima raport hari Jumat. Fat-han hari Kamis. Farid hari Sabtu baru terima raport. Ada beberapa rencana untuk meng-isi liburan bersama-sama. Mungkin hari Minggu besok, kami akan berenang di Tani Mulya. Soalnya Fathan ingin berenang. Sudah itu ingin main di Dunia Mainan Bandung. Pengen juga ke Pakuhaji. Wah, banyak acara lah...
Sementara saya, ikut saja sepanjang tidak mengganggu pekerjaan. Karena, seperti biasa, tidak ada libur bagi saya. Mau akhir tahun, Tahun Baru-an, tahun baru kuda, tahun baru badak, tahun baru tikus, atau dinosaurus, koran tetap terbit. Yang enak, Bu Eri. Hari Minggu jatah libur reguler, hari Seninnya libur liputan, karena Selasa tidak terbit. Enak bener....(*)
Bingkai kecil ini bercerita tentang apa pun: Keseharian, tentang cerita sejarah, petualangan, rekreasi, ataupun pemikiran dan opini. Semoga Bermanfaaat!
Saturday, December 29, 2007
Friday, December 28, 2007
Sudah 11 Bulan
TAK terasa, usia Adik Namira sekarang sudah 11 bulan. Wah, tambah banyak saja kabisanya. Sekarang, Adik maunya berdiri terus. Padahal naik ke kursi saja masih sulit. Laganya dia, pegang kursi terus lepas tangan. Biasanya sambil membalik, dan jatuh ke pangkuan saya atau Bu Eri.
Kalau merangkak, duduk, berpegangan di teralis jendela, sudah jago. Badannya sih sekarang enggak gendut-gendut amat. Baru 11 kg. Soalnya makannya agak susah. Tapi ngemil paling jago. Setiap orang rumah pegang makanan, pasti ribut ingin makan juga.
Makan gorengan gehu, dia paling suka. Tapi yang diambil cuma tahu nya saja. Kalo enggak dikasih, wah nguadat.
Gigi Adik sekarang sudah tumbuh 6 biji. Dua di bawah tengah, persis kayak cepot, he he... Empat biji lagi di atas. Makanya kalau menggigit sudah terasa sakit. Adik paling suka nunjukkin telunjuk. Ngaciiirr... Kalau mau apa-apa, nunjuk-nunjuk. Melihat lampu juga dia suka. Pu...pu..., begitu dia bilang.
Oh iya, kalau soal kemampuan verbal, Adik sudah bisa ngomong beberapa kata. Yang paling gampang, ya ngomong A. Terus ngomong Ayah, Bapa, Bah (maksudnya Mbah kali yah). Lalu Apa, Mama, Mamam. Kalau manggil Ibu, masih belum bisa. Pernah sih beberapa kali bilang "Bu", sambil mulutnya nyembur...
Karena ayah ibunya jarang di rumah, ya jadinya Adik lebih dekat sama Bude, yang tiap hari suka gendong dia. Tapi kalau melihat Ibunya, woh pasti langsung pengen digendong terus. Ayah sih sekali-kali saja. Kalau mau berangkat kerja, biasanya Adik mau digendong dulu.
Hobinya setiap pagi, ya melihat ayam tetangga. Jadi cara ampuh kalau Adik ngadat, ajak saja melihat ayam, pasti berhenti nangisnya. Beberapa kali Adik sakit. Kemarin pun, Adik demam. Sudah diberi obat, demamnya reda kalau siang. Cuma kalau malam, suka demam lagi.
Kecil-kecil, Adik ini suka jahil. Kalau bangun pagi-pagi dan orang lain belum bangun, dia suka colok-colok mata. Ya siapa yang kuat dicolokin mata, orang tidur pun pasti bangun... (*)
Kalau merangkak, duduk, berpegangan di teralis jendela, sudah jago. Badannya sih sekarang enggak gendut-gendut amat. Baru 11 kg. Soalnya makannya agak susah. Tapi ngemil paling jago. Setiap orang rumah pegang makanan, pasti ribut ingin makan juga.
Makan gorengan gehu, dia paling suka. Tapi yang diambil cuma tahu nya saja. Kalo enggak dikasih, wah nguadat.
Gigi Adik sekarang sudah tumbuh 6 biji. Dua di bawah tengah, persis kayak cepot, he he... Empat biji lagi di atas. Makanya kalau menggigit sudah terasa sakit. Adik paling suka nunjukkin telunjuk. Ngaciiirr... Kalau mau apa-apa, nunjuk-nunjuk. Melihat lampu juga dia suka. Pu...pu..., begitu dia bilang.
Oh iya, kalau soal kemampuan verbal, Adik sudah bisa ngomong beberapa kata. Yang paling gampang, ya ngomong A. Terus ngomong Ayah, Bapa, Bah (maksudnya Mbah kali yah). Lalu Apa, Mama, Mamam. Kalau manggil Ibu, masih belum bisa. Pernah sih beberapa kali bilang "Bu", sambil mulutnya nyembur...
Karena ayah ibunya jarang di rumah, ya jadinya Adik lebih dekat sama Bude, yang tiap hari suka gendong dia. Tapi kalau melihat Ibunya, woh pasti langsung pengen digendong terus. Ayah sih sekali-kali saja. Kalau mau berangkat kerja, biasanya Adik mau digendong dulu.
Hobinya setiap pagi, ya melihat ayam tetangga. Jadi cara ampuh kalau Adik ngadat, ajak saja melihat ayam, pasti berhenti nangisnya. Beberapa kali Adik sakit. Kemarin pun, Adik demam. Sudah diberi obat, demamnya reda kalau siang. Cuma kalau malam, suka demam lagi.
Kecil-kecil, Adik ini suka jahil. Kalau bangun pagi-pagi dan orang lain belum bangun, dia suka colok-colok mata. Ya siapa yang kuat dicolokin mata, orang tidur pun pasti bangun... (*)
Bennazir Bhutto
SAYA langsung terhenyak. Saat menyalakan teve, Kamis (28/1) jam 10 malam, ada breaking news di Metro TV dan RCTI. Benazir Bhutto, mantan PM Pakistan, pemimpin Pakistan's People Party (PPP), tewas ditembak, lalu penembak meledakkan bom bunuh diri.
Mengapa saya terhenyak? Padahal Bhutto bukan siapa-siapa, nun di Pakistan sana. Memang Benazir Bhutto, pastilah, tidak punya hubungan dengan saya. Hanya, seminggu terakhir ini, entah kenapa, saya suka mengumpulkan foto-foto Benazir Bhutto. Mulai saat dia kembali dari pengasingan, Oktober lalu, yang juga disambut bom bunuh diri sampai terakhir dua hari lalu, saat kampanye di sebuah daerah. Apa ini firasat gitu buat Bhutto?
Sebenarnya saya mengumpulkan foto Benazir Bhutto itu karena memang untuk kepentingan berita. Saya mengumpulkan foto-foto tokoh dunia yang dijepret fotografer Associated Press (AP). Saya dokumentasikan, karena yakin suatu hari akan bermanfaat. Setidaknya, kalau saya kebagian menggarap halaman internasional, tidak kesulitan lagi mencari foto headshot presiden atau tokoh luar negeri lainnya.
Yang pasti, kematian Benazir Bhutto juga memukul perasaan ibu saya. Saya tahu, Mama penggemar Benazir. Bahkan dinasti Bhutto. Saya kenal nama Zulfikar Ali Bhutto, waktu kecil dulu, juga dari Mama. Mama yang cerita, bahwa Ali Bhutto mati digantung rezim
militer Zia Ul Haq. Ketika muncul Benazir sebagai penerus Ali Bhutto, Mama pun ngefans juga. Mudah-mudahan saja, akan muncul lagi penerus dinasti Bhutto lainnya. (*)
Mengapa saya terhenyak? Padahal Bhutto bukan siapa-siapa, nun di Pakistan sana. Memang Benazir Bhutto, pastilah, tidak punya hubungan dengan saya. Hanya, seminggu terakhir ini, entah kenapa, saya suka mengumpulkan foto-foto Benazir Bhutto. Mulai saat dia kembali dari pengasingan, Oktober lalu, yang juga disambut bom bunuh diri sampai terakhir dua hari lalu, saat kampanye di sebuah daerah. Apa ini firasat gitu buat Bhutto?
Sebenarnya saya mengumpulkan foto Benazir Bhutto itu karena memang untuk kepentingan berita. Saya mengumpulkan foto-foto tokoh dunia yang dijepret fotografer Associated Press (AP). Saya dokumentasikan, karena yakin suatu hari akan bermanfaat. Setidaknya, kalau saya kebagian menggarap halaman internasional, tidak kesulitan lagi mencari foto headshot presiden atau tokoh luar negeri lainnya.
Yang pasti, kematian Benazir Bhutto juga memukul perasaan ibu saya. Saya tahu, Mama penggemar Benazir. Bahkan dinasti Bhutto. Saya kenal nama Zulfikar Ali Bhutto, waktu kecil dulu, juga dari Mama. Mama yang cerita, bahwa Ali Bhutto mati digantung rezim
militer Zia Ul Haq. Ketika muncul Benazir sebagai penerus Ali Bhutto, Mama pun ngefans juga. Mudah-mudahan saja, akan muncul lagi penerus dinasti Bhutto lainnya. (*)
Saturday, December 22, 2007
Hari Ibu dan Ema Poeradiredja
22 Desember, Hari Ibu. Begitu setiap tahun, selalu diperingati. Tapi tadi pagi, saya tidak ingat kalau hari ini hari Ibu. Bukan berarti saya melupakan Ibu. Justru karena saya selalu ingat ibu setiap hari, sehingga rasanya tidak ada hari atau tanggal khu-sus untuk memperingatinya.
Sebenarnya, setiap kali Hari Ibu, yang terlintas dalam pikiran saya malah Ibu Raden Dewi Sartika, wanita Sunda pelopor kesetaraan jender. Pendiri Sakola Istri. Sayang-nya, tidak ada hari Dewi Sartika. Yang ada hanya Hari Kartini. Padahal, Dewi Sartika pun tak kalah dengan Kartini, dilihat dari jasa-jasa memajukan kaum
wanita.
Nah, bicara soal Hari Ibu, terutama lahirnya, sebenarnya ada satu nama wanita Sunda yang sangat berperan, yaitu Ema Poeradiredja. Kalau membaca nama ini, warga Kota Ban-dung, terutama ibu-ibu, pasti ingatnya dengan Rumah Sakit Bersalin Ema Poeradiredja di Jalan Halmahera.
Tapi berapa banyak yang ngeh, ingat, dan tahu, siapa Ema Poeradiredja itu. Padahal jasanya sangat besar mendorong kaum wanita, tak hanya Sunda, tapi juga Indonesia, untuk turut mengorganisasikan diri. Beliaupun mengikuti Kongres Perempuan Indonesia I di Yogya, 22 Desember 1928. Tanggal inilah yang dipakai acuan penetapan Hari Ibu.
Seperti disebutkan dalam Ensiklopedi Sunda, Ema Poeradiredja lahir di Cilimus, Kuningan, 13 Agustus 1902. Ia adalah anak dari R KS Poeradiredja, guru Bahasa Sunda yang pernah menjadi redaktur kepala di Balai Pus-taka Jakarta. Ema pula tokoh wanita Sunda pertama yang menjadi anggota Dewan Kotapra-ja (Gementeeraad). Dia juga pendiria Paguyuban Pasundan Istri PASI).
Saat masih jadi pelajar MULO, Ema masuk organisasi Jong Java (1918). Setelah tamat (1921), Ema langsung bekerja di Jawatan Kereta Api. Karena minatnya terhadap politik sangat tinggi, Ema pun masuk ke Jong Islamieten Bond cabang Bandung yang dianggapnya
lebih progresif (1925).
Ema pun aktif mengikuti Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres Pemuda II (1928) di Ja-karta. Pada tahun 1925-1940, menjadi pemimpin Pandu Puteri, mulai di Natipij, lalu di Pandu Indonesia.Tahun 1927, Ema mendirikan Perserikatan Perempuan, yang bertujuan memupuk kepemimpinan wanita. Anggotanya terdiri dari beragam suku bangsa. Inklusi-vitas ini sebagai ungkapan atau ekspresi wanita Bandung sesudah Kongres Pemuda I.
Karena organisasi Perserikatan Perempuan itulah, ia diundang untuk hadir pada Kong-res Perempuan I di Yogyakarta, 1928. Tahun 1930, Ema menjadi Ketua PASI. Lima tahun kemudian, ia pun mengikuti Kongres Perempuan II di Jakarta.
Saat Kongres Perempuan III, 1938, yang digelar di Bandung, Ema menjadi ketua Kongres. Dan wakilnya adalah juga wanita Sunda, Ema Somanagara. Salah satu hasil Kongres III adalah ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.
Tahun 1949, saat Agresi Militer II, ia ditahan Belanda di Yogyakarta, sampai Mei. Bu-lan Agustus, ia mengikuti Permusyawaratan Wanita Seluruh Tanah Air di Yogya. Tahun 1952, ia mewakili KOWANI, menghadiri Seminar of Woman in South Eas Asia di India.
Selama memimpin PASI, banyak usaha Ema untuk memajukan kaum wanita. Di antaranya men-dirikan Koperasi Wanita di Jabar, sekolah "Atikan Murangkalih Istri", Badan Penolong Pengangguran Kaum Ibu (BPPKI), Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC), Woman Interna-tional Club (WIC) di Bandung, Badan Kontak Organisasi Wanita (BKOW) Jabar.
Ema pun mendirikan rumah jompo dan panti asuhan yatim piatu. Pernah juga menjadi anggota KNIP, DPR, MPR, dan DPA. Juga anggota Dewan Penyantun ITB dan IKIP, serta salah seorang pendiri Unpad. Atas jasa-jasanya itu, Pemerintah memberi penghargaan piagam Bintang Maha Putra Utama Kelas VI. Ema Poeradiredja meninggal di Bandung, 14 April 1976.
Kini, jika menyebut nama Ema Poeradiredja, yang terbayang adalah Rumah Sakit Bersalin Ema Poeradiredja, di Jalan Halmahera. Sudah ribuan kaum ibu yang melahirkan di sana. Dan sebagai ucapan terima kasih, ingatlah Hari Ibu ini sebagai Hari Ema. (*)
Sebenarnya, setiap kali Hari Ibu, yang terlintas dalam pikiran saya malah Ibu Raden Dewi Sartika, wanita Sunda pelopor kesetaraan jender. Pendiri Sakola Istri. Sayang-nya, tidak ada hari Dewi Sartika. Yang ada hanya Hari Kartini. Padahal, Dewi Sartika pun tak kalah dengan Kartini, dilihat dari jasa-jasa memajukan kaum
wanita.
Nah, bicara soal Hari Ibu, terutama lahirnya, sebenarnya ada satu nama wanita Sunda yang sangat berperan, yaitu Ema Poeradiredja. Kalau membaca nama ini, warga Kota Ban-dung, terutama ibu-ibu, pasti ingatnya dengan Rumah Sakit Bersalin Ema Poeradiredja di Jalan Halmahera.
Tapi berapa banyak yang ngeh, ingat, dan tahu, siapa Ema Poeradiredja itu. Padahal jasanya sangat besar mendorong kaum wanita, tak hanya Sunda, tapi juga Indonesia, untuk turut mengorganisasikan diri. Beliaupun mengikuti Kongres Perempuan Indonesia I di Yogya, 22 Desember 1928. Tanggal inilah yang dipakai acuan penetapan Hari Ibu.
Seperti disebutkan dalam Ensiklopedi Sunda, Ema Poeradiredja lahir di Cilimus, Kuningan, 13 Agustus 1902. Ia adalah anak dari R KS Poeradiredja, guru Bahasa Sunda yang pernah menjadi redaktur kepala di Balai Pus-taka Jakarta. Ema pula tokoh wanita Sunda pertama yang menjadi anggota Dewan Kotapra-ja (Gementeeraad). Dia juga pendiria Paguyuban Pasundan Istri PASI).
Saat masih jadi pelajar MULO, Ema masuk organisasi Jong Java (1918). Setelah tamat (1921), Ema langsung bekerja di Jawatan Kereta Api. Karena minatnya terhadap politik sangat tinggi, Ema pun masuk ke Jong Islamieten Bond cabang Bandung yang dianggapnya
lebih progresif (1925).
Ema pun aktif mengikuti Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres Pemuda II (1928) di Ja-karta. Pada tahun 1925-1940, menjadi pemimpin Pandu Puteri, mulai di Natipij, lalu di Pandu Indonesia.Tahun 1927, Ema mendirikan Perserikatan Perempuan, yang bertujuan memupuk kepemimpinan wanita. Anggotanya terdiri dari beragam suku bangsa. Inklusi-vitas ini sebagai ungkapan atau ekspresi wanita Bandung sesudah Kongres Pemuda I.
Karena organisasi Perserikatan Perempuan itulah, ia diundang untuk hadir pada Kong-res Perempuan I di Yogyakarta, 1928. Tahun 1930, Ema menjadi Ketua PASI. Lima tahun kemudian, ia pun mengikuti Kongres Perempuan II di Jakarta.
Saat Kongres Perempuan III, 1938, yang digelar di Bandung, Ema menjadi ketua Kongres. Dan wakilnya adalah juga wanita Sunda, Ema Somanagara. Salah satu hasil Kongres III adalah ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.
Tahun 1949, saat Agresi Militer II, ia ditahan Belanda di Yogyakarta, sampai Mei. Bu-lan Agustus, ia mengikuti Permusyawaratan Wanita Seluruh Tanah Air di Yogya. Tahun 1952, ia mewakili KOWANI, menghadiri Seminar of Woman in South Eas Asia di India.
Selama memimpin PASI, banyak usaha Ema untuk memajukan kaum wanita. Di antaranya men-dirikan Koperasi Wanita di Jabar, sekolah "Atikan Murangkalih Istri", Badan Penolong Pengangguran Kaum Ibu (BPPKI), Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC), Woman Interna-tional Club (WIC) di Bandung, Badan Kontak Organisasi Wanita (BKOW) Jabar.
Ema pun mendirikan rumah jompo dan panti asuhan yatim piatu. Pernah juga menjadi anggota KNIP, DPR, MPR, dan DPA. Juga anggota Dewan Penyantun ITB dan IKIP, serta salah seorang pendiri Unpad. Atas jasa-jasanya itu, Pemerintah memberi penghargaan piagam Bintang Maha Putra Utama Kelas VI. Ema Poeradiredja meninggal di Bandung, 14 April 1976.
Kini, jika menyebut nama Ema Poeradiredja, yang terbayang adalah Rumah Sakit Bersalin Ema Poeradiredja, di Jalan Halmahera. Sudah ribuan kaum ibu yang melahirkan di sana. Dan sebagai ucapan terima kasih, ingatlah Hari Ibu ini sebagai Hari Ema. (*)
Thursday, December 20, 2007
Giliran Adik yang Kurban
ASPAL lapangan parkir Unjani masih basah oleh siraman hujan semalam. Tapi kami, warga Babakansari, tak ambil pusing. Gelar koran sebagai alas, lalu sajadah pun terhampar. Lapangan inilah satu-satunya tempat bagi warga Babakansari dan sekitar kampus Unjani untuk salat Id. Idul Fitri dan Idul Adha.
Bukannya kami tak punya mesjid. Mesjid Al Ikhlas kebanggaan warga Babakansari malah sudah dirombak. Diperbagus. Sayang, daya tampungnya minim. Tak mampu menampung warga Babakan, asli maupun pendatang, untuk salat Id. Hanya waktu salat Jumat saja yang bisa dipakai.
Ustad Uning (baju merah) tengah menyembelih kambing atas nama Namira Zenechka Hayatunnufus. Unjani pun punya mesjid. Tapi saat Idul Fitri, mahasiswa libur dan pulang kampung. Otomatis, mesjid kosong, tak ada aktivitas. Barulah saat salat Idul Adha, warga dan mahasiswa Unjani bisa bergabung, salat Id di lapangan parkir.
Sambil terkantuk-kantuk, karena habis piket semalam, saya menuju ke lapangan parkir Unjani. Tak lebih dari 100 meter, atau bahkan kurang, jaraknya dari rumah. Rupanya lapangan hampir penuh. Dan jemaah pun terus berdatangan.
Berhubung Unjani sebagai tuan rumah, mahasiswa aktivis mesjid Unjani yang menjadi panitia salat Idul Adha ini. Imam dan penceramah adalah Ustad Kardita Kintabuwana Lc MA. Kalau tidak salah, sekarang ini Ustad Kardita adalah Ketua Ma'had Al Imarat Bandung. Saya pernah mewawancarainya, sekitar tahun 2000, saat ada kegiatan di Mesjid Ar Rahman Cihanjuang Cimahi.
Usai salat, bergegas pulang ke rumah. Semua kumpul dan gembira. Karena Mbah Uti sudah pulang dan berlebaran bersama di rumah. Karena sakit dan susah makan, badan Mbah Uti jadi kurus.
Ketupat lebaran buatan Mbak Ani pun jadi sarapan pagi. Tandas sepiring metung ke dalam perut. Barulah setelah itu, semua bersiap mengambil kambing di rumah Pak Didin, tetangga RT. Ya, Alhamdulillah, tahun ini keluarga punya rezeki, jadi bisa kurban.
Sejak menikah, memang saya selalu mengupayakan agar bisa beli kambing setiap Idul Adha. Seharusnya tahun ini giliran Bu Eri. Tahun lalu saya, sebelumnya Kaka. Tapi Bu Eri bilang, sekarang giliran Adik saja.
Saya dan Mas Rohman, yang juga selalu kurban saat Idul Adha, menjadi langganan Pak Didin. Pak Didin ini punya peternakan kambing. Karena langganan, harganya pun selalu lebih murah. Hanya kemarin, harga kambing Mas Rohman sedikit lebih mahal. Itu karena memang kambingnya lebih besar.
Saya bawa kambing itu ke mesjid. Di situ semua kambing untuk kurban disiapkan. Baru datang, sudah langsung maju ke tempat jagal. Dan kambing putih hitam itu pun pasrah, menjadi kurban. Seperti halnya kepasrahan Ismail, saat hendak disembelih Bapaknya, Nabi Ibrahim. "Balasan kurban itu sesuai dengan niatnya. Kalau niatnya penuh keikhlasan dan ketakwaan, maka itu adalah untuk Tuhanmu. Tapi kalau niatnya hanya untuk diri sendiri, untuk riya, untuk sombong, jangan pernah berharap kurban itu sampai di hadapan Tuhanmu", begitu kata Ustad Kardita, saat ceramah Idul Adha, tadi. (*)
Bukannya kami tak punya mesjid. Mesjid Al Ikhlas kebanggaan warga Babakansari malah sudah dirombak. Diperbagus. Sayang, daya tampungnya minim. Tak mampu menampung warga Babakan, asli maupun pendatang, untuk salat Id. Hanya waktu salat Jumat saja yang bisa dipakai.
Ustad Uning (baju merah) tengah menyembelih kambing atas nama Namira Zenechka Hayatunnufus. Unjani pun punya mesjid. Tapi saat Idul Fitri, mahasiswa libur dan pulang kampung. Otomatis, mesjid kosong, tak ada aktivitas. Barulah saat salat Idul Adha, warga dan mahasiswa Unjani bisa bergabung, salat Id di lapangan parkir.
Sambil terkantuk-kantuk, karena habis piket semalam, saya menuju ke lapangan parkir Unjani. Tak lebih dari 100 meter, atau bahkan kurang, jaraknya dari rumah. Rupanya lapangan hampir penuh. Dan jemaah pun terus berdatangan.
Berhubung Unjani sebagai tuan rumah, mahasiswa aktivis mesjid Unjani yang menjadi panitia salat Idul Adha ini. Imam dan penceramah adalah Ustad Kardita Kintabuwana Lc MA. Kalau tidak salah, sekarang ini Ustad Kardita adalah Ketua Ma'had Al Imarat Bandung. Saya pernah mewawancarainya, sekitar tahun 2000, saat ada kegiatan di Mesjid Ar Rahman Cihanjuang Cimahi.
Usai salat, bergegas pulang ke rumah. Semua kumpul dan gembira. Karena Mbah Uti sudah pulang dan berlebaran bersama di rumah. Karena sakit dan susah makan, badan Mbah Uti jadi kurus.
Ketupat lebaran buatan Mbak Ani pun jadi sarapan pagi. Tandas sepiring metung ke dalam perut. Barulah setelah itu, semua bersiap mengambil kambing di rumah Pak Didin, tetangga RT. Ya, Alhamdulillah, tahun ini keluarga punya rezeki, jadi bisa kurban.
Sejak menikah, memang saya selalu mengupayakan agar bisa beli kambing setiap Idul Adha. Seharusnya tahun ini giliran Bu Eri. Tahun lalu saya, sebelumnya Kaka. Tapi Bu Eri bilang, sekarang giliran Adik saja.
Saya dan Mas Rohman, yang juga selalu kurban saat Idul Adha, menjadi langganan Pak Didin. Pak Didin ini punya peternakan kambing. Karena langganan, harganya pun selalu lebih murah. Hanya kemarin, harga kambing Mas Rohman sedikit lebih mahal. Itu karena memang kambingnya lebih besar.
Saya bawa kambing itu ke mesjid. Di situ semua kambing untuk kurban disiapkan. Baru datang, sudah langsung maju ke tempat jagal. Dan kambing putih hitam itu pun pasrah, menjadi kurban. Seperti halnya kepasrahan Ismail, saat hendak disembelih Bapaknya, Nabi Ibrahim. "Balasan kurban itu sesuai dengan niatnya. Kalau niatnya penuh keikhlasan dan ketakwaan, maka itu adalah untuk Tuhanmu. Tapi kalau niatnya hanya untuk diri sendiri, untuk riya, untuk sombong, jangan pernah berharap kurban itu sampai di hadapan Tuhanmu", begitu kata Ustad Kardita, saat ceramah Idul Adha, tadi. (*)
Wednesday, December 19, 2007
Takbiran di Kantor
BEGINILAH kalau bekerja di koran yang tak kenal tanggal merah, kecuali Idul Fitri. Libur pun tetap terbit, nonstop, tak terkecuali saat Idul Adha, seperti saat ini. Rabu (19/12) adalah malam takbiran. Besok pagi, salat Id. Lalu potong kurban. Tapi sampai jam 23.30 ini, saat mesjid di belakang kantor riuh dengan suara takbir, saya masih berkutat mengoreksi halaman terakhir, halaman 1.
Koran Tribun memang menerapkan sistem terbit nonstop sejak awal berdiri. Kalau di Bandung, boleh lah kita bangga sebagai pelopor koran nonstop. Karena kompetitor utama, Pikiran Rakyat, sampai sekarang tidak berniat nonstop.
Sebagai prajurit, saya siap saja, mau terbit kapan juga. Tapi kalau sampai Idul Fitri tetap terbit juga, nah itu baru KAMALINAAN...Teungteuingeun we, tetep terbit mah, saha nu rek maca koran wayah kitu..
Lepas tengah malam, baru koran kelar. Semua PDF sudah dikirim ke Percetakan Kompas di Rancaekek. Tinggal lelah saja yang tersisa. Bersiap pulang ke rumah. Melipat jas hujan yang masih lembab, bekas tadi sore kehujanan.
Tukang nasi goreng yang biasanya menarik minat, tak sekalipun dilirik. Karena hati sudah ingin segera tiba di rumah. Istirahat, selonjoran badan. Tapi jarak masih membentang, antara Bandung dengan Cimahi. Kurang lebih 15 km, hingga sampai rumah, di sudut Cimahi sana.
Suara takbir masih terus bergema. Sesekali saya pun turut mengumandangkan takbir, perlahan. Saya ingat, sejak jadi wartawan, tujuh tahun lalu, tak pernah sekalipun saya ikut takbiran di mesjid lagi. Seperti dulu, ketika masih berkumpul di Cibabat. Ketika masih semangat pulang ke Cimahi dari Jatinangor. Sesudah kerja, banyak yang berubah. Waktu, yang sebetulnya masih banyak luang, terasa serba tak cukup. Sampai takbiran pun hanya bisa di jalan, di rumah, di tempat salat.
Ah, Cimahi masih jauh...(*)
Koran Tribun memang menerapkan sistem terbit nonstop sejak awal berdiri. Kalau di Bandung, boleh lah kita bangga sebagai pelopor koran nonstop. Karena kompetitor utama, Pikiran Rakyat, sampai sekarang tidak berniat nonstop.
Sebagai prajurit, saya siap saja, mau terbit kapan juga. Tapi kalau sampai Idul Fitri tetap terbit juga, nah itu baru KAMALINAAN...Teungteuingeun we, tetep terbit mah, saha nu rek maca koran wayah kitu..
Lepas tengah malam, baru koran kelar. Semua PDF sudah dikirim ke Percetakan Kompas di Rancaekek. Tinggal lelah saja yang tersisa. Bersiap pulang ke rumah. Melipat jas hujan yang masih lembab, bekas tadi sore kehujanan.
Tukang nasi goreng yang biasanya menarik minat, tak sekalipun dilirik. Karena hati sudah ingin segera tiba di rumah. Istirahat, selonjoran badan. Tapi jarak masih membentang, antara Bandung dengan Cimahi. Kurang lebih 15 km, hingga sampai rumah, di sudut Cimahi sana.
Suara takbir masih terus bergema. Sesekali saya pun turut mengumandangkan takbir, perlahan. Saya ingat, sejak jadi wartawan, tujuh tahun lalu, tak pernah sekalipun saya ikut takbiran di mesjid lagi. Seperti dulu, ketika masih berkumpul di Cibabat. Ketika masih semangat pulang ke Cimahi dari Jatinangor. Sesudah kerja, banyak yang berubah. Waktu, yang sebetulnya masih banyak luang, terasa serba tak cukup. Sampai takbiran pun hanya bisa di jalan, di rumah, di tempat salat.
Ah, Cimahi masih jauh...(*)
Mbah Uti Pulang ke Rumah
RABU (19/12) sekitar pukul 13.00, Mbah Uti pulang ke rumah, setelah dirawat di RSUD Cibabat selama 6 hari. Tadi pagi Bu Eri ke RS untuk menjemput. Sebelum pulang dan memastikan tidak ada yang sakit, Mbah Uti belajar jalan dulu di lorong RS. Entah karena memang sudah ingin pulang, Mbah Uti bilang tidak ada yang sakit. Mbah Uti pun pulang, dijemput Mas Rikhan dan Bapak, yang setiam malam nunggu.
Saya tidak ikut menjemput. Soalnya lagi berkutat di Plasa Telkom. Menukarkan kompensasi Flexi. Lebih pedih lagi, saya harus kehilangan Sanex SC 7090. Karena ternyata HP itu diambil pihak Flexi, dengan alasan semua HP 1900 band tidak bisa dipakai dan ditukar dengan kompensasi, baik HP lagi maupun pulsa.
Sudahlah, saya tidak ingin berdebat lagi dengan pihak Flexi. Setelah menelepon Bu Eri bilang HP tidak bisa balik lagi, karena ditukar pulsa, akhirnya saya relakan saja HP Sanex yang sudah 4 tahun "melayani" diambil.
Yang penting mah, Mbah Uti sekarang sudah di rumah. Perhatian tidak terpecah lagi. Mungkin benar, dari sisi medis, saya masih ragu. Tapi setidaknya, masih di rumah sehingga perawatan kita bisa lebih intensif. (*)
Saya tidak ikut menjemput. Soalnya lagi berkutat di Plasa Telkom. Menukarkan kompensasi Flexi. Lebih pedih lagi, saya harus kehilangan Sanex SC 7090. Karena ternyata HP itu diambil pihak Flexi, dengan alasan semua HP 1900 band tidak bisa dipakai dan ditukar dengan kompensasi, baik HP lagi maupun pulsa.
Sudahlah, saya tidak ingin berdebat lagi dengan pihak Flexi. Setelah menelepon Bu Eri bilang HP tidak bisa balik lagi, karena ditukar pulsa, akhirnya saya relakan saja HP Sanex yang sudah 4 tahun "melayani" diambil.
Yang penting mah, Mbah Uti sekarang sudah di rumah. Perhatian tidak terpecah lagi. Mungkin benar, dari sisi medis, saya masih ragu. Tapi setidaknya, masih di rumah sehingga perawatan kita bisa lebih intensif. (*)
Tuesday, December 18, 2007
Pileuleuyan Kang Tatang
SENIN (17/12) pagi jam 10 kurang, saya buka detikcom. Ada berita kecelakaan di Indramayu. Judulnya "Sepulang dari UNCCC, 5 Staf Deplu Tewas di Indramayu". Hmm, tewas kenapa nih, pikir saya.
Saya buka berita itu. Ternyata pendek, hanya tiga alinea. Seorang pejabat Deplu menyebutkan menerima SMS soal kecelakaan 5 staf Deplu di Indramayu. Saya pikir, pasti jadi running news nih.
Benar saja, 10 menit kemudian, muncul berita terbaru. "Nama 5 Staf Deplu yang Tewas Kecelakaan di Indramayu", begitu judulnya. Mereka adalah Darmadja, Tatang Santoni, Alif Suraji, Kusyono, dan Suryadi.
Saat membaca nama Tatang, saya tidak langsung ngeh. Hanya rasanya kok nama ini akrab di telinga saya. Tatang yang saya kenal adalah staf Informasi dan Media di Deplu. Apa Tatang yang ini?. Jangan-jangan ada nama yang sama. Saya masih belum yakin, karena dalam berita tidak disebutkan mereka staf bagian apa.
Baru pada berita keempat, saya menemukan para korban memang benar staf infomed Deplu. Berarti Tatang yang jadi korban adalah Tatang yang saya kenal.
Kang Tatang adalah orang yang paling rajin mengontak wartawan, di manapun berada. Dia yang selalu jadi seksi sibuk kalau Deplu menggelar acara. Pantas saja, kalau saat acara UNCCC di Bali, Kang Tatang juga turut serta.
Terakhir saya kontak-kontakan dengan Kang Tatang ini saat ada acara kedatangan Penerima Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, ke Gedung Merdeka Bandung. Kalau tidak salah ingat, bulan September atau Agustus. Sehari sebelum acara, Kang Tatang kirim faksimile undangan. Malamnya, saya lalu balik nelepon. "Kang, kalau ID Card ya gimana nih," tanya saya. "Udah kirim saja pasphoto reporter dan fotografer. Saya tunggu, mumpung belum pergi ke Bandung," jawab Kang Tatang.
Saya buru-buru kirim foto teman reporter Tribun, Kisdiantoro, dan fotografer, Deni Denaswara. Saya kontak lagi untuk menanyakan di mana mengambil ID Card, Kang Tatang jawab,"Gampang lah, besok di gerbang saya tunggu yah. Cari saya saja". "Oke Deh, Kang. Thanks yah," kata saya. Itulah Kang Tatang. Orangnya ramah, tak sungkan saat dimintai tolong. Pileuleuyan Kang Tatang, semoga mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Amin. (*)
Saya buka berita itu. Ternyata pendek, hanya tiga alinea. Seorang pejabat Deplu menyebutkan menerima SMS soal kecelakaan 5 staf Deplu di Indramayu. Saya pikir, pasti jadi running news nih.
Benar saja, 10 menit kemudian, muncul berita terbaru. "Nama 5 Staf Deplu yang Tewas Kecelakaan di Indramayu", begitu judulnya. Mereka adalah Darmadja, Tatang Santoni, Alif Suraji, Kusyono, dan Suryadi.
Saat membaca nama Tatang, saya tidak langsung ngeh. Hanya rasanya kok nama ini akrab di telinga saya. Tatang yang saya kenal adalah staf Informasi dan Media di Deplu. Apa Tatang yang ini?. Jangan-jangan ada nama yang sama. Saya masih belum yakin, karena dalam berita tidak disebutkan mereka staf bagian apa.
Baru pada berita keempat, saya menemukan para korban memang benar staf infomed Deplu. Berarti Tatang yang jadi korban adalah Tatang yang saya kenal.
Kang Tatang adalah orang yang paling rajin mengontak wartawan, di manapun berada. Dia yang selalu jadi seksi sibuk kalau Deplu menggelar acara. Pantas saja, kalau saat acara UNCCC di Bali, Kang Tatang juga turut serta.
Terakhir saya kontak-kontakan dengan Kang Tatang ini saat ada acara kedatangan Penerima Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, ke Gedung Merdeka Bandung. Kalau tidak salah ingat, bulan September atau Agustus. Sehari sebelum acara, Kang Tatang kirim faksimile undangan. Malamnya, saya lalu balik nelepon. "Kang, kalau ID Card ya gimana nih," tanya saya. "Udah kirim saja pasphoto reporter dan fotografer. Saya tunggu, mumpung belum pergi ke Bandung," jawab Kang Tatang.
Saya buru-buru kirim foto teman reporter Tribun, Kisdiantoro, dan fotografer, Deni Denaswara. Saya kontak lagi untuk menanyakan di mana mengambil ID Card, Kang Tatang jawab,"Gampang lah, besok di gerbang saya tunggu yah. Cari saya saja". "Oke Deh, Kang. Thanks yah," kata saya. Itulah Kang Tatang. Orangnya ramah, tak sungkan saat dimintai tolong. Pileuleuyan Kang Tatang, semoga mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Amin. (*)
Saturday, December 15, 2007
Mbah Uti masuk Rumah Sakit
SUDAH dua hari ini, Mbah Uti, ini sebutan cucu-cucu karena cedal tapi menjadi panggilan akrab, terbaring di RSUD Cibabat. Mbah Uti mengalami perdarahan. Ini berarti kali kedua, Mbah Uti masuk rumah sakit dalam selang waktu kurang dari dua hari.
Sebelumnya kondisi kesehatan Mbah Uti baik-baik saja, tak ada masalah. Hanya waktu cek IUD, yang sudah kelamaan, 30 tahun mungkin, ngendon di rahim, baru ada masalah. IUD itu sulit dilepas. Alasan dilepas sederhana saja, "ingin suci" kalau suatu hari nanti dipanggil pulang Yang Maha Kuasa.
Rabu kemarin, IUD bentuk spiral itupun dilepas di RS Hermina Terusan Pasteur. Nah pascapelepasan itu yang gawat. Ada salarun urine yang jebol, sehingga bercampur dengan darah.
Bu Eri yang mengurus Mbah Uti sejak awal periksa sampai bawa ke rumah sakit sudah minta agar Mbah Uti dirawat saja. Malahan sudah booking kamar. Tapi Mbah Uti minta pulang. Saya, waktu pulang piket Rabu malam, juga kaget. Kok Mbah Uti ada di rumah, bukannya mau dirawat di rumah sakit.
Ternyata di rumah pun hanya bertahan satu hari. Karena Kamis malam, terjadi perdarahan lagi. Jumat pagi pun, Mbah Uti diangkut ke RSUD Cibabat. Sekarang kita yang repot nih di rumah. Biasa segala sesuatunya beres, tidak ada Mbah Uti, jadi berantakan.
Warung juga dibuka seadanya, karena tidak ada yang pergi ke pasar. Mbah Uti-lah yang memegang otoritas belanja ke pasar setiap dua hari sekali. Biasanya ke pasar Baros. Jadi kalau sekarang ini, saya atau siapa saja di rumah menggantikan Mbah Uti belanja ke pasar, jelas blingsatan. Apaan yang mau dibeli, ke pedagang mana belinya?
Kita pun sibuk atur jadwal untuk jaga di rumah sakit. Juga atur waktu untuk jaga Adik. Karena tidak mungkin adik ditinggal, ataupun dibawa ke rumah sakit. Sementara saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Bu Eri saja terpaksa izin tidak masuk kerja selama tiga hari. Itu pun tiap hari ditelepon redakturnya supaya masuk kerja.
Baru sekarang, terasa bagaimana luar biasanya peran Mbah Uti di rumah. Kalau hari-hari biasa saat Mbah Uti sehat walafiat, mana terasa. Cepat Sembuh Ya Mbah. (*)
Sebelumnya kondisi kesehatan Mbah Uti baik-baik saja, tak ada masalah. Hanya waktu cek IUD, yang sudah kelamaan, 30 tahun mungkin, ngendon di rahim, baru ada masalah. IUD itu sulit dilepas. Alasan dilepas sederhana saja, "ingin suci" kalau suatu hari nanti dipanggil pulang Yang Maha Kuasa.
Rabu kemarin, IUD bentuk spiral itupun dilepas di RS Hermina Terusan Pasteur. Nah pascapelepasan itu yang gawat. Ada salarun urine yang jebol, sehingga bercampur dengan darah.
Bu Eri yang mengurus Mbah Uti sejak awal periksa sampai bawa ke rumah sakit sudah minta agar Mbah Uti dirawat saja. Malahan sudah booking kamar. Tapi Mbah Uti minta pulang. Saya, waktu pulang piket Rabu malam, juga kaget. Kok Mbah Uti ada di rumah, bukannya mau dirawat di rumah sakit.
Ternyata di rumah pun hanya bertahan satu hari. Karena Kamis malam, terjadi perdarahan lagi. Jumat pagi pun, Mbah Uti diangkut ke RSUD Cibabat. Sekarang kita yang repot nih di rumah. Biasa segala sesuatunya beres, tidak ada Mbah Uti, jadi berantakan.
Warung juga dibuka seadanya, karena tidak ada yang pergi ke pasar. Mbah Uti-lah yang memegang otoritas belanja ke pasar setiap dua hari sekali. Biasanya ke pasar Baros. Jadi kalau sekarang ini, saya atau siapa saja di rumah menggantikan Mbah Uti belanja ke pasar, jelas blingsatan. Apaan yang mau dibeli, ke pedagang mana belinya?
Kita pun sibuk atur jadwal untuk jaga di rumah sakit. Juga atur waktu untuk jaga Adik. Karena tidak mungkin adik ditinggal, ataupun dibawa ke rumah sakit. Sementara saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Bu Eri saja terpaksa izin tidak masuk kerja selama tiga hari. Itu pun tiap hari ditelepon redakturnya supaya masuk kerja.
Baru sekarang, terasa bagaimana luar biasanya peran Mbah Uti di rumah. Kalau hari-hari biasa saat Mbah Uti sehat walafiat, mana terasa. Cepat Sembuh Ya Mbah. (*)
Sunday, December 09, 2007
Selamat Jalan Mbak Lina
Mbak Lina (tengah pakai kaus hitam)
MBAK Lina, teman kami, sahabat kami, rekan kerja yang ulet, telah meninggalkan kehidupan fana ini. Tepat pukul 17.49 WIB, Mbak Lina pergi untuk selama-lamanya di RS Immanuel Bandung, setelah mengalami masa kritis, lalu anvaal. Hebatnya, saat dirawat, Kamis (6/12), Mbak Lina masih memikirkan soal pekerjaan di kantor. Padahal kondisinya sudah kritis.
Lina Marliana, begitu nama lengkapnya. Mbak Lina adalah manajer keuangan Tribun Jabar. Lahir di Garut, 34 tahun lalu. Dari keluarga Tionghoa. Sejak 2 tahun lalu, Mbak Lina menderita kanker payudara. Malahan setelah diangkat, ternyata akar kanker masih ada dan menyebar menyerang tulang sumsum belakang.
Walau kanker itu menggerogoti badannya, tapi kanker itu tak pernah berhasil menggerogoti semangat hidup Mbak Lina. Mbak Lina tak pernah terlihat mengeluh. Padahal saya yakin, rasa sakit itu pasti ada, tapi tak pernah ditampakkannya.
Perubahan mencolok terjadi setelah ia pulang pengobatan di Singapura. Rambutnya habis, karena dikemoterapi, dan memakai rambut palsu. Namun kebiasaannya pulang larut malam, terus dilakoni.
Memang saya dan Mbak Lina beda bagian, sehingga tidak terlalu sering bersua dan berkomunikasi. Terlebih pekerjaan yang seabrek, membuat Mbak Lina lebih banyak menghabiskan jam kerja benar-benar di meja kerjanya.
Saya sendiri suka heran, melihat Mbak Lina pulang larut malam, jam 11 atau 12 malam. Saya menyangka tidak akan ada orang lain di luar Redaksi dan Produksi yang berada di kantor. Tapi ternyata lampu ruang Keuangan masih nyala. Tak lama keluar Mbak Lina. "Eh masih di sini, saya pulang duluan yah," kata dia, seolah waktu masih sore.
Begitulah, sosok ulet itu meninggalkan tapak jejak yang dalam di hati kami, All Tribuner. Sebuah teladan, sebuah pengabdian dan loyalitas bagi perusahaan. Selamat Jalan Mbak Lina. (*)
Tuesday, December 04, 2007
Mencari Ikan Dewa di Kolam Cigugur (3-Habis)
TIM ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Penelitian Departemen Pertanian pernah mempelajari ikan Dewa di Kuningan. Berdasarkan hasil penelitian, ikan kancra bodas atau ikan dewa tergolong Genus Tor. Spesiesnya adalah Labeobarbus Douronensis.
Ada empat spesies ikan sejenis yang hidup di wilayah Indonesia. Misalnya, jenis Tor soro, yang dikenal dengan nama lokal semah di Kalimantan dan garang di Sumatera. Ikan yang dapat tumbuh hingga satu meter itu dikenal enak dimakan. Karena sudah jarang, masyarakat yang menangkapnya pun menjualnya dengan harga mahal. Para pendatang di Kalimantan Barat banyak yang memburunya untuk dipasarkan hingga ke Malaysia.
Sementara Balai Riset Perikanan Perairan Umum juga pernah meneliti Ikan Semah yang hidup di Sungai Musi. Ikan Semah yang sejenis dengan Kancra Bodas atau Ikan Dewa di Cigugur ini tergolong jenis ikan endemik yang hampir punah. Habitatnya khas, yaitu di perairan torrential dengan kondisi air jernih, berbatu dan berarus deras. Tidak heran bila bentuk tubuhnya stream-line.
Ikan semah adalah jenis ikan pemakan segala (omnivora). Makanan utamanya adalah buah-buahan, moluska dan serangga. Ikan semah memijah di sungai dengan cara meletakkan telur di bebatuan. Jumlah telur (fekunditas) mencapai 63.360 butir. Panjang tubuhnya dapat mencapai ukuran 85,5 cm. Pada masyarakat Sumatera Selatan, ikan semah yang mencapai ukuran 1 kg biasanya dihidangkan pada acara tertentu seperti pernikahan. (*)
Mencari Ikan Dewa di Kolam Cigugur (2)
MENGAPA balong atau Kolam Cigugur ini keramat atau dikeramatkan? Itu tak lepas dari sejarah terbentuknya daerah Cigugur. Sebelum lahir nama Cigugur, tempat itu acap disebut dengan nama Padara. Nama ini diambil dari nama seorang tokoh masyarakat, yaitu Ki Gede Padara, yang memiliki pengaruh besar di desa itu.
Padara berasal dari kata padan dan tara yang artinya pertapa. Ki Gede Padara adalah seorang wiku yang konon lahir sebelum Kerajaan Cirebon berdiri, yaitu pada abad ke-12 atau ke-13.Ia memiliki ilmu tinggi, sehingga badannya transparan, bisa tembus pandang.
Ki Gede Padara disebutkan hidup sezaman dengan tokoh dari Talaga, Pangeran Pucuk Umun, Pangeran Galuh Cakraningrat dari Kerajaan Galuh, dan Aria Kamuning yang memimpin Kajene atau Kuningan. Bahkan, mereka ini sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan. Bedanya, Pucuk Umun, Galuh Cakraningrat, dan Aria Kamuning, disebut menganut agama Hindu, sementara Ki Gede Padara tak menganut agama apapun.
Di usia tuanya, Ki Gede Padara berkeinginan untuk segera meninggalkan kehidupan fana. Namun, ia sendiri sangat berharap proses kematiannya seperti layaknya manusia pada umumnya. Berita tersebut terdengar oleh Aria Kamuning, penguasa Kajene atau Kuningan, yang kemudian menghadap kepada Syekh Syarif Hidayatullah.
Atas laporan itu, Syekh Syarif Hidayatullah pun langsung bertemu dengan Padara. Syekh Syarif Hidayatullah merasa kagum dengan ilmu kadigjayan yang dimiliki oleh Ki Gede Padara. Dalam pertemuan itu Padara pun kembali mengutarakan keinginannya agar proses kematiannya seperti layaknya manusia biasa. Syekh Syarif Hidayatullah meminta agar Ki Gede Padara untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, sebagai syaratnya. Syarat yang langsung dipenuhi Ki Gede Padara. Namun, baru satu kalimat yang terucap, Ki Gede Padara sudah sirna.
Setelah Ki Gede Padara menghilang, Sarif Hidayatullah bermaksud mengambil air wudu. Namun, di sekitar lokasi tersebut sulit ditemukan sepercik air pun. Dengan meminta bantuan Allah SWT, dia pun menghadirkan guntur dan halilintar disertai hujan yang langsung membasahi bumi. Dari peristiwa inilah kemudian sebuah kolam tercipta. Kini, kolam yang dipakai untuk wudu Sunan Gunung Jati itu disebut Obyek Wisata Kolam Renang Cigugur. Begitu kisah Kolam Cigugur itu, sebagaimana terpampang di dinding dekat loket penjualan tiket masuk ke kolam. Benar atau tidaknya, Wallahu A'lam. (*)
Mencari Ikan Dewa di Kolam Cigugur (1)
KABUPATEN Kuningan dikenal sebagai daerah yang kaya akan tempat wisata. Kita tentu mengenal Linggarjati, sebuah desa di Kecamatan Cilimus yang menjadi tempat pelaksanaan Konferensi Linggarjati antara RI dengan Belanda tahun 1947. Linggarjati pula salah satu jalur masuk menuju ke puncak Gunung Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat, selain Palutungan.
Tak jauh dari Linggarjati, ada daerah Sangkanhurip. Sebuah desa yang dilintasi aliran air panas. Tak heran, kolam-kolam berendam air panas bertebaran di sini.
Lantas, kita bisa mengunjungi Telaga Remis yang menawarkan suasana khas alam pegunungan yang sejuk dan tenang. Nama telaga alami yang berjarak 25 km dari pusat kota Kuningan itu, berasal dari sejenis kerang yang hidup di sekitar telaga.
Kuningan pun memiliki Taman Purbakala Cipari, yang kaya akan peninggalan manusia purba. Disamping wisata air Waduk Darma, masyarakat adat Cigugur yang terkenal dengan Upacara Seren Taun juga menjadi satu tujuan wisata eksotik.
Nah saat pemantauan Adipura tempo hari, saya sempat menyinggahi salah satu lokasi wisata yaitu Obyek Wisata Kolam Renang Cigugur, di Kecamatan Cigugur. Daya tarik kolam ini bagi pengunjung adalah keberadaan ikan Kancra Bodas (Labeobarbus Douronensis), yang disebut masyarakat setempat sebagai Ikan Dewa.
Saya tidak sengaja mendatangi tempat ini. Saat melintasi Jalan Raya Cigugur, Mas Wawan, ketua tim dari PPLH Regional Yogyakarta, yang penasaran ingin tahu seperti apa kolam Cigugur itu. Terlebih, ia ingin tahu tentang ikan Dewa yang disebut-sebut ada di kolam ini. "Saya pernah ke Jombang dan di sana ada juga ikan Dewa. Apa ikan dewa di sini sama dengan yang di Jombang, itu yang membuat saya penasaran," kata Mas Wawan.
Kolam keramat Cigugur merupakan satu dari empat lokasi sejenis di Kuningan. Tiga tempat lainnya adalah Kolam Linggarjati di kompleks Taman Linggarjati Indah, Kecamatan Cilimus, Kolam Cibulan, dan Balong Darma Loka di Kecamatan Darma. Semuanya memiliki kolam-kolam yang dihuni ikan keramat Kancra Bodas.
Jangan pernah punya niat untuk memancing, apalagi memakan ikan Dewa. Konon, mereka yang memakan Ikan Kancra itu akan langsung mati. Ikan Dewa ini pun dianggap memiliki keanehan. Jumlahnya dari tahun ke tahun tidak pernah bertambah atau berkurang. Selain itu, ikan-ikan ini juga sangat akrab dengan manusia. Sudah jamak, pengunjung yang berenang bercengkerama, mengelus, dan memberi makan ikan Kancra Bodas, yang berwarna abu kehitaman ini.
Bila kolam dibersihkan, masyarakat sekitar sering melihat bahwa ikan-ikan yang ada di kolam tersebut menghilang. Mereka percaya bahwa ikan-ikan tersebut berpindah lokasi ke kolam-kolam keramat lainnya yang ada di Kuningan. Kearifan lokal itu pula yang menolong Ikan Kancra Bodas ini dari kepunahan.
Di dalam tempat wisata Kolam Cigugur ini, terdapat dua kolam besar berbentuk persegi panjang. Kolam pertama berukuran panjang 35 meter dan lebar 15 meter dengan kedalaman air sekitar 2 meter. Kolam kedua berukuran 45 x 15 meter persegi.
Meski semuanya itu dihuni puluhan ikan-ikan kancra bodas berbagai ukuran, mulai yang sepanjang 20-an sentimeter hingga hampir 1 meter, kolam-kolam di Cigugur dibuka sebagai kolam pemandian umum. Tempat rekreasi itu dilengkapi dengan fasilitas khas tempat pemandian, seperti tempat ganti pakaian, tempat bilas, dan kamar mandi/WC.
Pepohonan yang rimbun di belakang kolam menambah indah suasana kolam Cigugur. Lokasinya di tepi jalan raya besar memudahkan pelancong untuk singgah sebentar, melepas penat, sambil menikmati ikan Dewa berseliweran di kolam. (*)
Sunday, December 02, 2007
Kutu Kucing, Kutu Kupret
HARI Minggu ini saya dan Bu Eri sudah merencanakan untuk membongkar kamar tengah. Bukan temboknya yang dibongkar, tapi karpet bulu diganti karpet plastik. Ada dua alasan utama kenapa ganti karpet.
Pertama, batuk pilek Kaka dan Adik, terutama Adik, tak pernah sembuh. Sudah ke dokter, diberi obat. Tetap muncul lagi. Saran semua dokter yang dikunjungi, jangan pakai karpet bulu di rumah. Pakai karpet plastik saja. Mungkin itu dari alergi.
Kedua, ini yang jadi prioritas. Beberapa hari terakhir ini, bergentayangan kutu-kutu kucing di rumah. Korbannya tidak lain Bu Eri, Mbak Ani dan Nurul. Gatal-gatal di kaki karena gigitan kutu kupret yang bisa loncat itu. Tapi tak berdaya kalau kena air ludah (hah...).
Kutu-kutu itu berasal dari kucing yang tempo hari beranak di atas atap. Ukurannya kecil sekali, nyaris tak terlihat. Keberadaannya segera diketahui, kalau kulit kita terasa panas karena gigitan sesuatu. Maka tampaklah makhluk kecil berwarna hitam tengah nongkrong di betis kita. Jangan sungkan, oleskan saja air liur. Dijamin, kutu kupret satu itu tidak akan loncat atau terbang.
Walau sudah berobat, pakai salep segala macam, tetap saja si kutu kupret itu tak pergi. Bu Eri lebih mengkhawatirkan kalau kutu itu menyerang anak-anak. Selain itu, kutu-kutu itu jelas membawa virus Toksoplasma. Bu Eri pun pernah kena Tokso. Dulu Bu Eri penggemar kucing. Waktu hamil Kaka dua bulan, periksa ke dokter, ternyata ada tokso-nya. Untung sudah tidak aktif, dan tidak ganas. Kalau tidak, janin bisa habis dimakan virus kutu kupret itu.
Saya pun sudah merasakan gigitan tajam binatang itu. Saya tepuk, sang kutu kupret loncat, entah kemana. Tak lama bekas gigitan pun jadi bentol dan bercak merah. Saya tak yakin, setelah karpet dibersihkan, kutu itu itu hilang. Satu-satunya cara efektif adalah mengebom rumah dengan cairan PK dan Formalin, untuk membunuh semua serangga. Yang ini belum saya lakukan. Minggu depan, mungkin, (*)
Pertama, batuk pilek Kaka dan Adik, terutama Adik, tak pernah sembuh. Sudah ke dokter, diberi obat. Tetap muncul lagi. Saran semua dokter yang dikunjungi, jangan pakai karpet bulu di rumah. Pakai karpet plastik saja. Mungkin itu dari alergi.
Kedua, ini yang jadi prioritas. Beberapa hari terakhir ini, bergentayangan kutu-kutu kucing di rumah. Korbannya tidak lain Bu Eri, Mbak Ani dan Nurul. Gatal-gatal di kaki karena gigitan kutu kupret yang bisa loncat itu. Tapi tak berdaya kalau kena air ludah (hah...).
Kutu-kutu itu berasal dari kucing yang tempo hari beranak di atas atap. Ukurannya kecil sekali, nyaris tak terlihat. Keberadaannya segera diketahui, kalau kulit kita terasa panas karena gigitan sesuatu. Maka tampaklah makhluk kecil berwarna hitam tengah nongkrong di betis kita. Jangan sungkan, oleskan saja air liur. Dijamin, kutu kupret satu itu tidak akan loncat atau terbang.
Walau sudah berobat, pakai salep segala macam, tetap saja si kutu kupret itu tak pergi. Bu Eri lebih mengkhawatirkan kalau kutu itu menyerang anak-anak. Selain itu, kutu-kutu itu jelas membawa virus Toksoplasma. Bu Eri pun pernah kena Tokso. Dulu Bu Eri penggemar kucing. Waktu hamil Kaka dua bulan, periksa ke dokter, ternyata ada tokso-nya. Untung sudah tidak aktif, dan tidak ganas. Kalau tidak, janin bisa habis dimakan virus kutu kupret itu.
Saya pun sudah merasakan gigitan tajam binatang itu. Saya tepuk, sang kutu kupret loncat, entah kemana. Tak lama bekas gigitan pun jadi bentol dan bercak merah. Saya tak yakin, setelah karpet dibersihkan, kutu itu itu hilang. Satu-satunya cara efektif adalah mengebom rumah dengan cairan PK dan Formalin, untuk membunuh semua serangga. Yang ini belum saya lakukan. Minggu depan, mungkin, (*)
Saturday, December 01, 2007
Jelajah Priangan dan Pantura: Terbakar Matahari
SELAMA sepuluh hari, saya menjelajahi daerah Priangan, terutama Priangan Timur, yang dilanjutkan ke daerah Pantura. Daerah Priangan Timur itu melingkupi Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, lalu Kabupaten Ciamis, dan Kota Banjar. Sementara Pantura meliputi Kabupaten/Kota Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka. Total ada 7 daerah yang saya sambangi.
Tujuan tur kali ini bukan jalan-jalan, tapi pemantauan Adipura tingkat Nasional. Saya tergabung dalam tim khusus Priangan Timur dan Pantura bersama Pak Asep Dakhyar dari BPLHD Jabar, Bu Irma Triastuti dari Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) ITB, dan Pak Wawan Rubianto dari Pusat Regional Jawa PPLH Yogyakarta.
Waktu pemantauan memang sangat sempit, 10 hari. Padahal standar untuk pemantauan bagi kota yang tergolong kota kecil adalah dua hari. Jadi harusnya 14 hari masa pemantauan. Karena banyak kendala teknis, baik di BPLHD Jabar maupun Kementerian Lingkungan Hidup, akhirnya hanya 10 hari waktu untuk memantau. Tentu saja tim harus bekerja cepat, berpindah dari satu kota ke kota lain dalam tempo paling lama 2 hari.
Obyek yang menjadi pemantauan tim Adipura sudah baku sejak tiga tahun lalu. Selain Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, sebagai komponen penyumbang nilai terbesar, obyek lainnya adalah rumah sakit, sekolah, perkantoran, pertokoan, taman dan hutan kota. Terus perairan, termasuk sungai dan saluran air, pasar dan sarana publik lainnya, seperti jalan dan stasiun KA atau pelabuhan laut.
Daerah pertama yang tim kunjungi adalah Singaparna. Karena tim berangkat siang, usai pembekalan, baru sore kami bisa memantau. Tempat pertama yang dipantau adalah TPA di daerah Salawu. Lalu masuk ke kota kecamatan Singaparna, memantau sekolah, Puskesmas, pasar, jalan arteri dan kolektor. Karena hari sudah gelap, pemantauan dihentikan. Dilanjutkan kembali keesokan harinya memantau pertokoan, perkantoran, taman kota dan seterusnya.
Usai pemantauan, tim tidak bisa berleha-leha. Karena tim harus memasukkan data penilaian dan juga foto-foto pantauan. Di sini yang paling krusial, karena menentukan nilai tidak sembarangan. Sering terjadi debat lebih dulu untuk menentukan kriteria yang pas dengan kenyataan di lapangan. Yang paling lama adalah memasukkan foto dan menamainya. Kebetulan saya pegang dua kamera digital, sementara Mas Wawan satu. Sehingga kami harus bergiliran untuk memasukkan foto ke laptop.
Begitulah. Dari satu kota, tim terus bergerak ke kota lainnya dengan aktivitas yang serupa. Memantau semua obyek, lalu menilai, dan memasukkan data. Singaparna, Ciamis, Banjar, lalu masuk Kuningan, ke Sumber Cirebon, Indramayu, dan terakhir di Majalengka, semua tak terlewat dipantau seteliti mungkin.
Cape, sudah pasti. Kalau fisik tidak kuat-kuat amat, rasanya mau tumbang saat itu juga. Saat pembekalan, Pak Setyo dari Pusreg Yogyakarta sudah mengingatkan, siapa yang merasa tidak fit, mundur saja dari tim ketimbang harus mundur di tengah jalan. Beruntung, tim kami tetap solid dan tetap sehat walafiat, hingga akhir pemantauan di Majalengka. Semua bersorak gembira begitu titik pantau terakhir selesai dinilai. Apalagi Mas Wawan, dia sudah satu bulan tidak pulang ke rumah, karena keliling Jawa Tengah, Jawa Timur, lalu kebagian juga memantau di Jabar bersama saya.
Oleh-olehnya? Ya muka jadi menghitam terbakar, karena selama pemantauan hujan tak turun, kecuali saat masuk Kota Majalengka, hujan turun sebentar. Matahari begitu terik menyengat, apalagi di Indramayu. Wah, kepanasan. Inginnya di dalam kamar ber-AC terus. Pulang ke rumah, langsung dipijat sama Bu Engkos, tetangga sebelah kampung, yang biasa mijat di rumah. (*)
Tujuan tur kali ini bukan jalan-jalan, tapi pemantauan Adipura tingkat Nasional. Saya tergabung dalam tim khusus Priangan Timur dan Pantura bersama Pak Asep Dakhyar dari BPLHD Jabar, Bu Irma Triastuti dari Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) ITB, dan Pak Wawan Rubianto dari Pusat Regional Jawa PPLH Yogyakarta.
Waktu pemantauan memang sangat sempit, 10 hari. Padahal standar untuk pemantauan bagi kota yang tergolong kota kecil adalah dua hari. Jadi harusnya 14 hari masa pemantauan. Karena banyak kendala teknis, baik di BPLHD Jabar maupun Kementerian Lingkungan Hidup, akhirnya hanya 10 hari waktu untuk memantau. Tentu saja tim harus bekerja cepat, berpindah dari satu kota ke kota lain dalam tempo paling lama 2 hari.
Obyek yang menjadi pemantauan tim Adipura sudah baku sejak tiga tahun lalu. Selain Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, sebagai komponen penyumbang nilai terbesar, obyek lainnya adalah rumah sakit, sekolah, perkantoran, pertokoan, taman dan hutan kota. Terus perairan, termasuk sungai dan saluran air, pasar dan sarana publik lainnya, seperti jalan dan stasiun KA atau pelabuhan laut.
Daerah pertama yang tim kunjungi adalah Singaparna. Karena tim berangkat siang, usai pembekalan, baru sore kami bisa memantau. Tempat pertama yang dipantau adalah TPA di daerah Salawu. Lalu masuk ke kota kecamatan Singaparna, memantau sekolah, Puskesmas, pasar, jalan arteri dan kolektor. Karena hari sudah gelap, pemantauan dihentikan. Dilanjutkan kembali keesokan harinya memantau pertokoan, perkantoran, taman kota dan seterusnya.
Usai pemantauan, tim tidak bisa berleha-leha. Karena tim harus memasukkan data penilaian dan juga foto-foto pantauan. Di sini yang paling krusial, karena menentukan nilai tidak sembarangan. Sering terjadi debat lebih dulu untuk menentukan kriteria yang pas dengan kenyataan di lapangan. Yang paling lama adalah memasukkan foto dan menamainya. Kebetulan saya pegang dua kamera digital, sementara Mas Wawan satu. Sehingga kami harus bergiliran untuk memasukkan foto ke laptop.
Begitulah. Dari satu kota, tim terus bergerak ke kota lainnya dengan aktivitas yang serupa. Memantau semua obyek, lalu menilai, dan memasukkan data. Singaparna, Ciamis, Banjar, lalu masuk Kuningan, ke Sumber Cirebon, Indramayu, dan terakhir di Majalengka, semua tak terlewat dipantau seteliti mungkin.
Cape, sudah pasti. Kalau fisik tidak kuat-kuat amat, rasanya mau tumbang saat itu juga. Saat pembekalan, Pak Setyo dari Pusreg Yogyakarta sudah mengingatkan, siapa yang merasa tidak fit, mundur saja dari tim ketimbang harus mundur di tengah jalan. Beruntung, tim kami tetap solid dan tetap sehat walafiat, hingga akhir pemantauan di Majalengka. Semua bersorak gembira begitu titik pantau terakhir selesai dinilai. Apalagi Mas Wawan, dia sudah satu bulan tidak pulang ke rumah, karena keliling Jawa Tengah, Jawa Timur, lalu kebagian juga memantau di Jabar bersama saya.
Oleh-olehnya? Ya muka jadi menghitam terbakar, karena selama pemantauan hujan tak turun, kecuali saat masuk Kota Majalengka, hujan turun sebentar. Matahari begitu terik menyengat, apalagi di Indramayu. Wah, kepanasan. Inginnya di dalam kamar ber-AC terus. Pulang ke rumah, langsung dipijat sama Bu Engkos, tetangga sebelah kampung, yang biasa mijat di rumah. (*)
Subscribe to:
Posts (Atom)