PERSOALAN yang selalu keluarga kami, bahkan keluarga lainnya, alami di setiap Lebaran adalah pembantu rumah tangga. Setiap Lebaran, mereka pasti mudik ke kampung halaman masing-masing. Masalahnya, banyak pembantu yang tidak kembali ke rumah kita dengan berbagai alasan.
Seminggu lebih selepas Lebaran adalah hari-hari supersibuk. Ya, karena tidak ada lagi pembantu di rumah. Bu Eri terpaksa cuti untuk menangani dan membereskan rumah, sekaligus mengasuh anak-anak. Sekali-kali lah merasakan gimana beratnya jadi ibu rumah tangga.
Pembantu kami, Teh Imas, pulang kampung dan memutuskan tidak balik lagi. Kalau pembantu di rumah tangga lain mungkin pulang sebelum Lebaran, Teh Imas sebaliknya. Ia menyempatkan untuk salat Ied dan menikmati suasana lebaran di Babakan Sari. Baru esok harinya, kami beramai-ramai mengantarkan Teh Imas ke kampung halamannya di Desa Jatisari, Bojongpicung, Ciranjang, Cianjur.
Kami menyewa angkot untuk sampai ke Cianjur. Sekalian saja ini sebagai jalan-jalan bagi anak-anak. Karena Lebaran kali ini kami memang tidak kemana-mana. Mas Nur berikut Mbak Ning dan Yasmin pun ikut. Angkot penuh dengan oleh-oleh dan bekal. Kaka, Fathan, Farid, dan Yasmin, pun terpaksa duduk di bagian tengah angkot.
Ciranjang tidak terlalu jauh dari Cimahi. Sekitar 30 kilometer plus 10 kilometer ke kampung tujuan. Dari pasar Ciranjang, belok kiri lurus terus ke Jatisari. Ya ada belok kiri dan kanannya, tapi tidak begitu sulit mencapainya. Toh angkutan pedesaan pun sampai juga ke dekat rumah Teh Imas itu.
Karena beberapa waktu sebelumnya sudah bilang akan datang setelah Lebaran, kami pun disambut orangtua Teh Imas penuh suka cita. Nah namanya di kampung, suasananya cukup adem. Apalagi kampungnya ada di bawah bukit.
Segala macam makanan kampung pun keluar semua. Nah ada satu yang paling unik dan berkesan, yaitu saat makan siang. Kami dibuatkan nasi liwet sepanci besar. Dan makan bukan di piring melainkan beralas daun pisang. Ini mengingatkan saya saat KKN di Cibiuk Garut. Setiap malam selalu botram dengan cara begini. Nasi liwet diampar di daun pisang, dan makan keroyokan. Walau lauknya hanya ikan asin, sambel plus lalap, nikmatnya bukan main. Makan pun tidak di dalam rumah. Tapi di teras rumah, biar terasa angin sepoi-sepoi.
Di depan rumah Teh Imas ada saluran irigasi yang airnya berasal dari gunung. Melihat air yang sebenarnya berwarna cokelat, Farid dan Fathan pun gatal ingin terjun. Jadilah mereka berenang bersama itik dan sisa-sisa cucian, karena saluran itu memang biasa dipakai warga untuk MCK dan itik berenang. Beruntung saat itu tidak ada kambing atau kerbau yang sedang berkubang. Bisa-bisa disebut tuturut munding.
Seusai makan, basa-basi sejenak dengan tuan rumah. Yah, ngobrol soal kemungkinan Teh Imas balik lagi dan kerja di rumah lagi. Inginnya sih memang begitu. Dia sudah kerja hampir setahun. Terang saja, Kaka dan Adik dekat dengan dia, karena sehari-hari Teh Imas yang mengasuh. Saat itu, Teh Imas hanya manggut-manggut saja dan bilang Insya Allah.
Jawaban yang pasti baru datang dua hari kemudian. Teh Imas tidak akan balik lagi. Entah apa alasannya. Jadilah kami pontang-panting mengurus rumah. Beruntung, Jumat malam, Bu Eri bisa cari orang pengganti dari daerah Jangari. Walau belum tahu bisa betah atau tidak, untuk sementara pakai saja tenaga yang ada. Pembantu, pembantu...(*)
No comments:
Post a Comment