Saturday, October 11, 2008

DCS dan Kejenuhan Politik

RESPONS yang diharapkan datang dari masyarakat soal daftar calon legislatif sementara (DCS) tak kunjung datang hingga deadline 9 Oktober 2008. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar dan juga KPU daerah tingkat dua terpaksa memperpanjang masa tanggapan terhadap DCS sampai 14 Oktober.

Alasan KPU Jabar setengah menyalahkan masyarakat. KPU menyatakan sudah maksimal menyosialisasikan DCS lewat media dan penempelan lembaran DCS di kantor-kantor KPU daerah. Apakah benar sosialisasi dari KPU sudah maksimal? Ini patut dipertanyakan. Sejauh mana sesungguhnya sosialisasi itu merambah ke seluruh pelosok daerah. Karena sangat mungkin, sosialisasi itu tidak pernah sampai ke sasaran.

Lalu ada pula alasan lain yang muncul dari kalangan partai politik. Boleh jadi tidak adanya tanggapan dari masyarakat, karena masyarakat memandang para caleg di DCS itu tidak ada yang bermasalah. Tapi apakah benar mereka tidak memiliki masalah? Syukur kalau demikian, berarti politikus kita bersih semua, walau kenyataan hari ini berbicara lain.

Namun ada reasoning lain soal tanggapan terhadap DCS ini. Masyarakat sangat mungkin sudah jenuh dengan hal-hal berbau politik. Capai dengan persoalan pemilihan kepala daerah yang banyak janji. Bukankah dalam beberapa kali pilkada di sejumlah daerah, jumlah golongan putih, dengan berbagai alasan, cenderung meningkat? Itu salah satu indikasi kuat soal kejenuhan masyarakat.

Bayangkan saja, dalam setahun ini di Jabar ada sedikitnya 10 pemilihan kepala daerah tingkat kota dan kabupaten ditambah pemilihan gubernur. Bahkan saat ini tengah berlangsung kampanye para kandidat di enam daerah secara bersamaan.

Belum lagi, masyarakat dibombardir dengan derasnya arus berita dan informasi soal politik dan perilaku anggota dewan di semua tingkatan. Korupsilah, skandal mesumlah, suaplah, dan itu yang terus mengingang di ingatan masyarakat bahwa perilaku anggota dewan tak seindah harapan. Para wakil rakyat itu ternyata bukanlah penyambung lidah rakyat yang sesungguhnya. Mereka justru mengkhianati amanat yang disandangkan rakyat di pundak mereka.

Di sisi lain, masyarakat pun harus berjuang sendirian memenuhi kebutuhan hidup hari per hari yang kian keras. Rakyat sudah tidak butuh lagi dengan janji-janji serba gratis yang meluncur dari para kandidat kepala daerah dan calon legislatif. Yang lebih penting adalah tidak perlu antre untuk mendapatkan seliter minyak tanah atau gas isi 3 kg, tidak perlu pontang-panting mencari sembako dengan harga murah, dan tidak perlu protes lagi soal pungutan dana sumbangan pendidikan.

Karena itu, janganlah menyalahkan masyarakat dengan tidak adanya respons terhadap para caleg. Respons sesungguhnya akan terlihat di bilik pemilihan tahun mendatang. Apakah akan banyak rakyat yang datang untuk memilih ataukah justru memilih untuk tidak memilih. Kita lihat saja.(*)
Sorot, Dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 11 Oktober 2008.

No comments: