SALAH seorang wartawan bertanya pada Ahmadinejad, "Saat anda bercermin di pagi hari, apa yang anda katakan pada diri anda?" Ahmadinejad menjawab, "Saya melihat seseorang di cermin dan berkata padanya , "Ingatlah, anda tidak lebih dari seorang pelayan kecil. Di depanmu hari ini ada tanggung jawab besar dan itu adalah melayani rakyat dan bangsa ini".
Itulah sosok Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad. Sosok pemimpin sederhana yang sulit ditemukan di zaman serba materialistis dan hedonistis ini. Mungkinkah mencari Presiden yang tak berniat pindah dari rumahnya Timur ke rumah dinas kepresidenan. Sebuah rumah batu di ujung lorong kawasan Teheran yang dinding luarnya belum diplester. Mungkin ada, tapi ibarat mencari jarum di antara tumpukan jerami.
Melayani rakyat itulah yang menjadi tujuan utama Ahmadinejad, yang juga seharusnya menjadi tujuan utama pejabat di manapun, termasuk di negeri kita. Darimanapun dia berasal, partai apapun yang menjadi sebab dia menjadi pejabat, tetap saja melayani rakyat yang menjadi tujuan utama. Karena sesungguhnya apabila seseorang menjadi pejabat, dia bukan lagi pelayan atau milik partai, tapi menjadi khadimul ummah, pelayan rakyat.
Tapi di negeri ini, pejabat yang berangkat dari latar belakang partai atau terkait partai tertentu sulit untuk berlaku begitu. Embel-embel partai selalu melekat pada dirinya. Pejabat dari partai inilah, pejabat asal partai itulah. Begitu yang selalu disebut. Seolah jubah partai itu tidak bisa ditanggalkan.
Tengoklah minggu-minggu belakangan ini. Di koran-koran, iklan Partai Demokrat selalu menonjolkan sosok Susilo Bambang Yudhoyono. Seolah Partai Demokrat tidak percaya diri jika tidak menyertakan gambar sang pendiri. Walaupun SBY berusaha seketat mungkin memisahkan urusan partai dan urusan negara, tetap saja partai akan membawa nama SBY dalam setiap aktivitasnya untuk meraup simpati rakyat.
Itulah sebenarnya urgensi pejabat yang berlatar belakang partai untuk melepas jubah partai adalah menghindari terjadinya benturan kepentingan apabila jabatan kepartaian itu masih dipegang.
Dan yang utama, agar tidak ada pihak yang memanfaatkan. Seperti kejadian yang menimpa Dede Yusuf, wakil gubernur Jabar. Dede tak bisa memisahkan secara ketat kegiatan kedinasan wagub dan kegiatan partai. Dalam beberapa kegiatan kedinasan, Dede selalu membawa, atau diboncengi, kader partai asalnya, PAN. Kalau kemudian Dede tersandung dugaan penyalahgunaan wewenang seperti yang ditudingkan Panwaslu Jabar, itu adalah risiko yang harus ditanggung Dede karena masih belum mampu melepas jubah partai dan membawa nama partai dalam acara kedinasan pemerintahan.
Apakah memang sulit melepaskan jaket partai saat seseorang menjadi pejabat pemerintah? Rasanya tidak. Nurmahmudi Ismail dan Hidayat Nurwahid sudah mencontohkannya. Sebelum menjadi menteri, Nuhmahmudi adalah Presiden Partai Keadilan. Begitu juga Hidayat Nurwahid, sebelum menjadi Ketua MPR RI, dia adalah sosok puncak di Partai Keadilan Sejahtera.
Kalau mau fokus melayani rakyat, lepaslah seluruh atribut partai, dan jadilah pelayan seluruh rakyat. Berkhidmat pada rakyat menjadi napas dalam setiap langkah seorang pejabat, seorang pemimpin, agar masyarakat terayomi dan merasakan benar sentuhan tangan seorang pemimpin.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 21 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment