JANGAN sebut Baksil! Baksil itu artinya kuman. Sebut saja Babakan Siliwangi. Begitu kata seorang inohong Bandung dalam sebuah acara diskusi tentang Babakan Siliwangi yang berlangsung panas. Dan tak hanya inohong Bandung ini yang bilang begitu. Beberapa pakar juga meminta untuk tidak menyebut nama Baksil, tapi Babakan Siliwangi saja.
Memang nama Baksil dikenal di dunia biologi atau kedokteran sebagai kuman. Teman dari bakteri. Dan bisa menyebabkan penyakit. Kalau menilik itu, sebetulnya ada benarnya juga dipanggil Baksil. Toh sekarang Baksil seakan jadi bibit penyakit bagi Pemkot Bandung. Setiap langkah terkait Babakan Siliwangi, pasti akan mendapat counter dari aktivis lingkungan.
Apa sesungguhnya yang terjadi di Babakan Siliwangi? Sebuah lembah di kawasan Tamansari yang dulu dikenal sebagai Lebak Gede. Lembah hijau penyimpan mata air Bandung. Sampai-sampai ada perusahaan Air Ganesha, yang airnya dari mata air di Babakan Siliwangi ini. Tempat capung terbang berombongan. Tempat pohon-pohon mahoni besar rimbun menaungi.
Yang saya tahu dan ingat, sejak awal koran tempat saya bekerja masih bernama Metro Bandung, soal revitalisasi Babakan Siliwangi sudah mencuat. Waktu itu santer terdengar kabar, di Babakan Siliwangi akan dibangun kondominium dan mal. Itu di zaman Wali Kota Bandung Aa Tarmana.
Protes pun bermunculan dari para aktivis lingkungan dan seniman. Babakan Siliwangi adalah ruang terbuka hijau, bahkan hutan kota di tengah kota. Kalau kemudian dibangun kondiminium, tentu punah sudah hutan kota di Bandung. Selain itu, Babakan Siliwangi pun tempat para seniman berkreativitas. Di situ ada sanggar olah seni (SOS). Kalau digusur, tidak ada lagi tempat berekspresi.
Setelah lama tak terdengar soal isu Babakan Siliwangi ini, belakangan muncul kembali isu pembangunan Babakan Sari. Ini setelah mencuat setelah Dinas Tata Kota memberi izin pembangunan kepada PT EGI untuk membangun kembali rumah makan Babakan Siliwangi. tahun 2003 lalu, rumah makan ini terbakar. Namun isu pembangunan ini kembali ditolak para aktivis dan seniman. Mereka melihat ada udang di balik batu dari rencana pembangunan ini. Bisa saja awalnya untuk rumah makan. Namun setelah itu, sangat mungkin melebar ke pembangunan yang lain.
Bahkan ITB sendiri yang menguasai kawasan Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) di lembah Babakan Siliwangi berencana untuk membangun tempat parkir tingkat. Katanya untuk tempat parkir mahasiswa dan masyarakat. Lokasinya di lapangan tenis saat ini.
Kalau saya perhatikan, sebenarnya persoalan pembangunan ini bermula dari pembangunan Sabuga oleh ITB. ITB bisa menyewa tanah milik Pemkot dan membangun sarana olahraga dan panggung budaya. Kalau tidak salah, masa sewanya 20 tahun. Lokasinya di lembah Babakan Siliwangi. Tapi kok pembangunannya tidak ada yang memprotes secara besar-besaran.
Bisa jadi ini dimanfaatkan pihak lain. Kalau ITB saja bisa, mengapa lahan bekas rumah makan Babakan Siliwangi tidak juga bisa direvitalisasi. Toh nantinya akan kembali ke masyarakat juga. Soal Sanggar Seni, Pemkot pun sudah mengantisipasi dengan merelokasi ke Pasar Seni Tamansari.
Tentu karena banyak pihak yang berkepentingan: khususnya yang mempertahankan dan yang ingin membangun Babakan Siliwangi. Bagi yang ingin membangun tentu ini peluang untuk berbisnis. Bagi yang ingin mempertahankan, inilah saatnya menolak kebijakan Pemkot yang tidak peduli lingkungan. Sampai kini belum ada keputusan saklek tentang Babakan Siliwangi. Wali Kota Bandung Dada Rosada berjanji kalaupun Babakan Siliwangi dibangun, tidak akan terjadi perusakan. Begitu katanya.(*)
No comments:
Post a Comment