Wednesday, October 29, 2008

JK, Seandainya seperti Dua Umar

MINGGU (26/10) yang lalu, saya berangkat ke kantor sekitar jam 14.00. Saya lihat ke sebelah Barat, mendung menggelayut di langit Bandung. "Hmm, pasti hujan gede nih," pikir saya. Dan benar. Selepas Pasar Andir Ciroyom, hujan ngagebret badag sekali. Seperti tercurah begitu saja dari langit. Memang saya bawa jas hujan. Tapi saya tak mau ambil risiko. Lebih baik menepi dulu sebentar.

Eh ternyata hujan turun tak sebentar. Hampir sejam ditunggu, hujan tak reda juga. "Wah telat deh ke kantor, belum melisting lagi," kata saya. Tentu dalam hati. Kalau ngomong sendiri di pinggir toko, pasti dikira orang gila.

Akhirnya ketika hujan tak terlalu lebat, saya putuskan untuk melaju. Kebetulan lampu setopan Paskal-Kebonjati sedang hijau. Saya langsung tancap gas. Eh, baru beberapa detik, lampu sudah berganti begitu cepat. Merah. Walah, kok cepat amat. Mana ternyata hujannya jadi besar lagi.

Di depan saya, sejumlah polisi lalu lintas hilir mudik. Seorang di antaranya membuka plang penghalang jalan. Kendaraan dari arah Paskal tidak boleh belok ke Stasiun. Sementara kendaraan dari arah Gardujati, dilarang lurus ke Paskal, harus belok ke Stasiun. "Hmm, ada apa gerangan," kembali saya berpikir.

Tak cuma polisi lalu lintas yang berjaga. Polisi Militer pun berjaga-jaga juga. Di seberang sana, satu truk dalmas parkir berikut personelnya. Lalu di seberang sebelah kanan, juga terlihat satu kijang penuh anggota polisi.

Seorang pengendara motor di sebelah kiri saya bilang pada teman yang diboncengnya, "Jusuf Kalla mau lewat". Oh iya, saya baru ingat. Pagi sebelumnya, saya mengontak wartawan untuk datang ke Savoy Homann Hotel. Ada JK di sana, acara HUT Golkar. Oh, mungkin JK mau pulang ke Jakarta dan lewat Jalan Paskal. Entah menuju Bandara, entah terus lewat ke tol Pasteur.

Lima menit sudah lewat, rombongan JK tak kunjung melintas. 10 menit lewat, belum terdengar juga bunyi sirene voorijder, pengawal. Padahal hujan cukup deras mengguyur bumi. Saya masih beruntung, celana dilapis celana jas hujan. Sementara tepat di pinggir kanan saya, seorang bapak membawa tiga orang penumpang memakai motor Yamaha. Anaknya yang didepat memakai jaket kain. Kemungkinan milik bapaknya. Menggigil diterpa hujan.

Di belakang si bapak, ada satu anak lagi yang hanya berpenutup kepala secarik kain. Entah sapu tangan, entah slayer. yang tentu saja tak cukup untuk melindungi dari timpukan butir-butir hujan di badannya. Anak itu menunduk terus, sembunyi di balik punggung, sambil memeluk erat pinggang bapaknya.Duduk paling bontot adalah seorang ibu, tentunya istri si bapak. Dia pakai baju seperti kebaya, bercelana panjang. Sepertinya mereka baru pulang dari undangan resepsi. Tentu saja, kain model kebaya yang bolong-bolong tipis itu tak cukup untuk menahan dinginnya air hujan.

Baru di menit ke-12, terdengar deru sirene. 3 orang Patwal berkendaraan moge lewat. Menyusul mobil patwal. Lalu mobil-mobil mewah berplat nomor B pun berseliweran. Saya tidak tahu Wapres JK ada di mobil yang mana. Karena tidak ada mobil berplat RI 2. Di belakang rombongan mobil mewah itu meluncur beberapa minibus disusul ambulance. Baru setelah mobil ambulans lewat, polisi lalu lintas dan polisi militer memperbolehkan pengendara melintas.

Di sepanjang jalan menuju ke kantor, saya terus membatin. "Zalim benar nih JK, membiarkan rakyat kedinginan, kehujanan, hanya untuk menunggu dia lewat. Kalau mau, kan tidak perlu lama-lama. Dan seperti yang lain saja, tidak usah ada privellege, perlakuan khusus karena dia pejabat. Ah, pemimpin yang tidak merakyat".

Saya jadi teringat dengan kisah 2 Umar. Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz. Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, Yerussalem jatuh ke tangan kaum muslimin. Kejatuhan Yerussalem itu berlangsung secara damai. Setelah berbulan-bulan dikepung, Uskup Yerussalem mengangkat bendera putih. Namun ia tak bersedia menyerahkan kunci Yerussalem kepada panglima perang tentara kaum muslimin. Ia ingin Khalifah Umar sendiri yang datang dan menerima kunci Kota Betlehem itu.

Lalu Umar pun berangkat ke Yerussalem. Dengan siapa Umar melakukan kunjungan kenegaraan itu? Dia hanya ditemani seorang hamba sahaya. Dari Madinah, mereka menunggang seekor unta secara bergantian. Bayangkan, seorang khalifah yang kekuasaannya membentang dari Afrika hingga batas Laut Hitam itu hanya diiringi seorang pembantu tanpa iring-iringan pejabat atau pengawal yang lengkap. Untanya pun hanya seekor, sehingga harus bergantian naik.

Begitu mendekati pintu gerbang Kota Yerussalem, si pembantu meminta untuk turun dari unta. "Tidak, kau tetaplah di untamu. Biar aku yang menuntun unta ini, karena kita sudah berjanji untuk bergantian menunggang unta dan sekarang giliranku yang membawa unta," tegas Umar.

Dan Umar pun memasuki Yerussalem sambil menuntun Unta dengan sang pembantu duduk di atas punggung unta itu. Saat datang itu, Umar tidaklah mengenakan pakaian mewah. Tapi pakaiannya sehari-hari, yang di beberapa lokasi tambal sulam. Tapi itulah yang membuat terkagum-kagum kaum Kristen dan Yahudi di Yerussalem. Seorang pemimpin besar ternyata penampilannya sangat sederhana.

Lalu Umar yang kedua, Umar bin Abdul Aziz. Dia pun masih keturunan Umar Al Faruk. Dan kejujuran serta kesederhanaannya menurun, persis seperti moyangnya itu. Apa yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz setelah dia diangkat menjadi khalifah. Sebuah gebrakan yang tidak diduga sebelumnya, terutama oleh keluarga, famili, dan orang-orang terdekatnya.

Banyak orang yang tercengang melihat kebijakan-kebijakan beliau yang tidak
biasa dilakukan oleh orang-orang yang tengah berkuasa. Apa saja kebijakan-kebijakannya itu. Saya sebutkan beberapa di antaranya saja:

* Menolak fasilitas kekhalifahan untuk dirinya yang dianggapnya berlebihan, antara lain Umar menolak kendaraan dinas, dan meminta kepada salah seorang di antara mereka untuk mendatangkan binatang tunggangannya.
"Saya menyaksikan para pengawal datang dengan kendaraan khusus kekhalifahan kepada Umar bin Abdul Aziz sesaat dia diangkat menjadi Khalifah. Waktu itu Umar berkata, 'Bawa kendaraan itu ke pasar dan juallah, lalu hasil penjualan itu simpan di Baitul Maal. Saya cukup naik
kendaran ini saja (hewan tunggangan).'" Begitu cerita Al-Hakam bin Umar.
Al-Hakam juga meriwayarkan bahwa Umar bin Abdul Aziz memiliki 300 penjaga. Umar berkata kepada para pengawalnya, "Sesungguhnya aku memiliki penjaga untuk kalian dan untukku, juga ada penjaga ajalku. Maka, siapa yang ingin tetap berada di sini, tetaplah di sini, dan siapa yang ingin pulang, pulanglah kepada keluarga kalian."

* Menerapkan pola hidup sederhana, khususnya untuk diri dan keluarganya.
Yunus bin Abi Syaib berkata, "Sebelum menjadi Khalifah tali celananya masuk ke dalam perutnya yang besar. Namun, ketika dia menjadi Khalifah, dia sangat kurus. Bahkan jika saya menghitung jumlah tulang rusuknya tanpa menyentuhnya, pasti saya bisa menghitungnya."

Hal senada diungkapkan putranya, Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz ketika ditanya oleh Abu Ja'far al-Manshur perihal jumlah kekayaan ayahnya. Ja'far bertanya, "Berapa kekayaan ayahmu saat mulai menjabat sebagai Khalifah?" Abdul Aziz menjawab, "Empat puluh ribu dinar." Ja'far bertanya lagi, "Lalu berapa kekayaan ayahmu saat meninggal dunia?" Jawab Abdul Aziz, "Empat ratus dinar. Itu pun kalau belum berkurang."

Kesederhanaan Umar bin Abdul Aziz dalam kehidupan benar-benar diilhami oleh perilaku hidup sederhana Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Beliau sangat sederhana dalam berpakaian. Suatu ketika Maslamah bin Abdul Malik menjenguk Umar bin Abdul Aziz yang sedang sakit. Maslamah melihat pakaian Umar sangat kotor. Maslamah berkata kepada istri umar, Fathimah binti Abdul Malik, "Tidakkah engkau cuci bajunya?" Fathimah menjawab, "Demi Allah, dia tidak
memiliki pakaian lain selain yang ia pakai."

Pada kesempatan lain Umar bin Abdul Aziz shalat Jum'at di masjid bersama orang banyak dengan baju yang bertambal di sana-sini. Salah seorang jamaah bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa tak mau kau pergunakan walau sekedar berpakaian bagus?"

Umar bin Abdul Aziz tertunduk sejenak, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata, "Sesungguhnya berlaku sederhana yang palin baik adalah pada saat kita kaya dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi kuat."

Dan masih banyak lagi kisah-kisah keteladanan dari dua Umar ini yang rasanya sulit ditiru oleh pemimpin-pemimpin saat ini. Mungkin ada orang yang bisa meniru perilaku Umar, tapi mereka tidak memiliki kekuasaan. Ah, memang sulit cari pemimpin yang benar-benar amanah dan mau meneladani pemimpin-pemimpin muslim terbaik yang pernah lahir di dunia ini.(*)

1 comment:

onema said...

ceu nini peman itu asyik kalau tanpa memakai duit aku- jangan pakai duit aku ya! hamma