SURAT keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang pelarangan aktivitas Ahmadiyah disambut beragam respon. Ada pihak yang kecewa karena SKB tidak tegas membubarkan Ahmadiyah, tapi pihak lain berujar SKB itu melanggar hak asasi manusia. Namun itulah, keputusan yang sudah diambil pemerintah, yang dianggap paling moderat.
Di tingkat grass root, muncul kekhawatiran konflik horizontal dengan keluarnya SKB ini. Penempelan stiker non-Ahmadiyah di Parakansalak Kabupaten Sukabumi bisa menjadi trigger pengkotak-kotakkan masyarakat dan tumbuhnya kecurigaan di antara para tetangga satu kampung.
Keinginan para ulama dan umat Islam Indonesia terkait Ahmadiyah ini sederhana saja: larang dan bubarkan Ahmadiyah. Ahmadiyah dipersilakan untuk membentuk agama baru, jangan membawa-bawa nama dan simbol Islam. Intinya, apabila tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dan syahadatnya berbeda, jelas bukan Islam.
Tinggal bagaimana cara memperlakukan warga jemaah Ahmadiyah yang sudah divonis "terlarang" itu. Bagaimanapun, mereka adalah warga negara Indonesia yang juga berhak hidup aman dan tinggal di negeri ini. Berhak mendapat kartu tanda penduduk dan berhak bekerja seperti yang lain.
Terkait keyakinan mereka, ini yang paling sulit. Organisasi boleh dilarang, aktivitas dihentikan, tapi keyakinan mereka siapa yang bisa melarang. Ajaran kepercayaan semisal Kejawen, Jawa Sunda, dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa lainnya saja diakui negara. Bahkan kepercayaan yang mencampuradukkan ritual Islam dan animisme pun bisa hidup dan mendapat tempat di masyarakat.
Keyakinan adalah persoalan hati, dan tak bisa diberangus. Sama halnya seperti Bilal, budak hitam legam dari negeri Habsyi, yang harus menderita ditindih batu panas digarang matahari gurun Arab. Ia dipaksa kaum Quraisy untuk meninggalkan risalah yang diajarkan Muhammad SAW, tapi Bilal teguh kukuh memegang Laa ilaha illallah Muhammadurrasulullah.
Kini yang harus dikedepankan adalah peran Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia, termasuk di dalamnya ormas-ormas Islam, semisal Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Di tangan mereka, upaya membimbing warga jemaah Ahmadiyah agar berislam secara benar. Pelajaran saat heboh Al Qiyadah Al Islamiyah beberapa waktu lalu menunjukkan, para pengikut Ahmad Mosadeq, rasul Al Qiyadah, bisa diajak bertaubat dan bersyahadat kembali, asal dengan pendekatan dan pembinaan yang tepat.
Begitupun terhadap aset rumah ibadah warga Ahmadiyah, harus tetap dijaga. Masjid-masjid itu tak perlu dirobohkan. Jadikan saja seperti masjid biasa lainnya dan digunakan untuk seluruh umat Islam, tanpa membedakan organisasi. Hidup berdampingan dalam sebuah lingkaran toleransi tentu lebih indah, ketimbang harus hidup berdarah-darah.(*)
Tulisan Sorot dimuat Tribun Jabar edisi Kamis 12 Juni 2008.
No comments:
Post a Comment