KAMIS 26 Juni 2008, sekitar pukul 11.30, pesawat Cassa 212 milik TNI AU yang tengah mencoba peralatan foto udara digital baru dikabarkan jatuh di wilayah Gunung Salak. Semakin sore, informasi tentang jatuhnya pesawat itu semakin terkuak. Disebutkan, penumpang pesawat itu ada 18 orang, tiga di antaranya adalah warga negara asing.
Tim Search and Rescue (SAR) segera diterjunkan. Ratusan personel TNI dan kepolisian, sipil, pecinta alam, dan warga, langsung bergerak menuju titik yang diperkirakan sebagai lokasi jatuhnya pesawat. Berdasarkan keterangan warga, mereka melihat ada pesawat masuk kabut. Tak lama kemudian, terdengar ledakan. Diperkirakan titik jatuh pesawat berada di sekitar Curug Nangka, Gunung Salak.
Jumat sore, beberapa warga menemukan serpihan logam badan pesawat. Lalu setelah ditelusuri, ada warga yang melihat beberapa jasad penumpang pesawat. Laporan ini disampaikan ke Posko SAR lalu ditindaklanjuti untuk evakuasi jenazah.
Kalau mendengar ada pesawat jatuh, saya jadi teringat dengan dua kejadian pesawat jatuh yang saya liput. Pertama tahun 2001, sebuah helikopter NBO jatuh di punggungan utara Gunung Burangrang yang masuk daerah Cihanjawar Purwakarta. Yang kedua, pesawat latih ringan berpenumpang tiga orang yang diduga hilang di sekitar Gunung Ciremai, awal tahun tahun 2003.
Bila ada kecelakaan seperti ini, tentu bakal digelar Operasi SAR. Nah dalam dua operasi SAR itu, saya mengikuti sampai tuntas. Beruntung, sebagai orang yang sudah bisa naik gunung, hidup di hutan, saya terbiasa dengan operasi SAR semacam ini. Begini-begini juga, saya lulusan Sekolah Pendaki Gunung Wanadri di Bukittunggul. Juga alumni pelatihan SAR di Pusdikpassus Batujajar selain sebagai anggota abadi Club Pecinta Alam Jayawijaya Cimahi. Tak heran, setiap ada operasi SAR, saya selalu gatal ingin terjun. Sayang, saat kejadian di kawasan Gunung Salak, saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan.
Di Cihanjawar, saya harus bolak-balik Bandung-Purwakarta untuk menuliskan berita. Pagi saya berangkat ke Cihanjawar, sore pulang lagi. Kecuali pada saat hari ke-14, ketika bangkai helikopter berikut jenazah empat awak berhasil ditemukan, terbenam di sebuah lembah sempit, nyaris tak terlihat mata. Saat itu saya tanpa bekal apapun, karena tak mengira akan ditemukan hari itu.
Warga sekitar Kampung Cihanjawar Gunung Burangrang saban sore
menonton helikopter Basarnas yang hinggap di helipad darurat di tengah sawah kering
Persoalannya sederhana saja. Saya, kantor dalam hal ini ,tidak memiliki peralatan penunjang untuk meliput jarak jauh, seperti laptop. Jangan bicara internet, karena kami, wartawan Metro saat itu, tak kenal internet. Jadi satu-satunya cara untuk membuat berita, ya kembali lagi ke kantor.
Namun karena saat itu sudah sore jelang malam, sementara penemuan ini
harus dilaporkan, akhirnya saya melaporkan berita itu via telepon di wartel kecil.
Untuk ke wartel kecil satu-satunya di kampung terdekat dengan Cihanjawar, saya harus menempuh perjalanan 1 jam lamanya. Memang saya dibekali ponsel dari kantor, tapi sinyal XL tak mampu menembus keterpencilan Cihanjawar. Dari wartel kecil itulah, saya melaporkan berita dan teman di kantor menuliskannya.
Karena harus tetap dipantau, saya yang datang tanpa bekal apapun, akhirnya menginap di dekat Posko SAR. Hanya berbekal jaket kulit sebagai selimut dari dingin malam, saya menunggu kedatangan tim evakuasi yang membawa jenazah korban.
Seperti biasa, dalam kondisi seperti itu, informasi pasti simpang siur. Begitu juga saat itu. Ada yang menyebutkan, jenazah akan dibawa pake helikopter di Cihanjawar. Tapi ada pula yang menyebutkan dibawa langsung ke Bandung via hutan Cisarua. Ternyata info terakhir yang benar.
Dari punggungan utara Gunung Burangrang itu, tim evakuasi menandu jenazah memakai bambu dan sarung menuju daerah Cisarua. Tepatnya daerah Pasir Kuning. Ini daerah tempat saya main, berdekatan dengan Legok Haji Burangrang. Dari Pasir Kuning, tim evakuasi terus melaju ke Cisarua, lalu ke Bandung. Sementara saya tertinggal di Cihanjawar dan harus menunggu pagi, baru bisa bergerak kembali ke Bandung.
Sedangkan operasi SAR di Gunung Ciremai, sampai sekarang pesawat yang hilang itu tidak pernah ditemukan. Saya bersama rekan-rekan dari Rimbawan Unwim dan LSM Akar Kuningan menjadi orang terakhir yang bertahan di posko SAR Sadarehe Majalengka hingga pihak Basarnas menyatakan operasi SAR ditutup pada hari ke-21.
Odang (ransel biru), anak Rimbawan Unwim bersalaman dengan Serda Joko
dari Lanud Sukatani Jatiwangi sepulang dari tengah hutan Ciremai
setelah operasi SAR dinyatakan berakhir tanpa hasil.
Seperti biasa, untuk melaporkan berita soal pencarian, saya harus pontang panting Majalengka-Cirebon mencari warnet. Karena Majalengka saat itu belum tersentuh yang namanya internet. Rental komputer pun tidak ada. Isya turun gunung, lalu pagi buta sudah naik gunung lagi.
Entah bagaimana nasib ketiga orang itu. Berbagai kabar beredar. Ada yang bilang, pesawat jatuh ke Telaga Remis. Ada yang bilang disembunyikan siluman Ciremai. Malahan saat pencarian itu, ada yang bilang harus tunggu dulu titah Sultah Sepuh Cirebon, karena yang memiliki hubungan dengan penunggu Ciremai hanya Sultan Sepuh.
Tim SAR pun pernah terkecoh. Seorang warga mengaku melihat benda segitiga mengilap di kejauhan dan memerkirakan itu adalah serpihan logam bagian dari pesawat. Saat tim menuju ke lokasi itu ,ternyata benda segitiga mengilap itu hanyalah cadas gantung yang memang dari jauh mengilap tertimpa cahaya matahari. Hanya Tuhan yang tahu, di mana jasad para penerbang itu. (*)
No comments:
Post a Comment