Wednesday, June 25, 2008

Memberangus Pembalak Liar

LIMA BELAS tahun lalu, Hutan Sancang adalah hutan yang rimbun dan dipenuhi mitos- mitos peninggalan Pajajaran sehingga dianggap keramat. Tak heran, masyarakat tak berani menjamah hutan warisan dunia itu dan Leuweung Sancang pun terpelihara kelestariannya.

Namun kondisinya pascareformasi jauh berbeda. Belantara Sancang digunduli gergaji mesin. Eksplorasi pasir besi pun menambah Sancang tercabik-cabik. Hutan yang dipercaya sebagai tempat tilem Prabu Siliwangi, raja termashur Pajajaran, itu tak lagi angker bagi para pembalak liar. Mereka semakin berani merambah ke dalam belantara Sancang menebangi pohon-pohon tua.

Peladang pun tak takut lagi membakar ranting dan pohon kecil. Bekas lokasi penebangan pohon mereka jadikan huma. Pembalakan liar dan perambahan hutan inilah yang menghancurkan ekosistem di hutan itu.

Jumlah populasi banteng liar Sancang pun berkurang drastis. Padang rumput yang biasanya menjadi tempat mencari makan, sepi dari kehadiran Bos sondaicus itu. Saking jarangnya banteng-benteng itu terlihat, ada yang berseloroh,"Mungkin banteng-bantengnya berenang ke laut selatan mau nyeberang ke Australia".

Gambaran hutan Sancang itu hanyalah sebagian kecil dari kerusakan hutan di Jabar. Data tahun 2007 Dinas Kehutanan Jawa Barat menunjukkan, luas lahan hutan yang rusak mencapai 608.813 hektare. Hutan Cikepuh, hutan Gunung Kareumbi, hutan di daerah Tomo Sumedang, dijarah. Hutan Gunung Wayang Windu yang merupakan hulu aliran Sungai Citarum juga rusak dirambah. Yang terbaru adalah pembalakan dan perambahan secara liar di kawasan Hutan Cigugur di Kabupaten Ciamis. Ungkapan hutan negara adalah hutan rakyat menjadi slogan yang menyemangati para pembalak untuk memasuki, merambah, menebangi, dan menjual hasil-hasil hutan secara ilegal.

Dari sisi ini, gerak Polda Jabar dengan Operasi Wana Lestari Lodaya 2008 untuk mengurangi, bahkan menghilangkan pembalakan liar, patut mendapat dukungan penuh semua pihak. Tahun 2003, Polda pun menggelar operasi serupa dan berhasil menghentikan pembalakan serta perambahan di Leuweung Sancang.

Tentu yang harus diberangus adalah otak-otak pembalakan liar. Merekakah yang mengendalikan operasi pembalakan hutan dengan mengerahkan orang-orang kecil yang diburu kebutuhan ekonomi.

Bagaimanapun hutan adalah jantung kehidupan, paru-paru dunia. Tanpa hutan, kehidupan ini semakin kering. Padahal untuk merehabilitasi hutan itu tidak semudah saat menghancurkannya. Bayangkan saja, untuk menghutankan kembali lahan yang dijarah dan gundul gersang dibutuhkan 530.261.965 batang pohon. Jika jumlah penduduk Jabar saat ini adalah 40 juta, berarti setiap jiwa setidaknya harus menanam 10 batang pohon untuk menghijaukan kembali tanah Sunda.

Dan itu tentu butuh waktu panjang untuk menikmati kembali kerindangan pohon-pohon di hutan. Menikmati kesakralan Leuweung Sancang dan mengenalkannya kepada generasi mendatang sebagai sebuah warisan dunia yang harus dilestarikan.(*)

Tulisan Sorot, dimuat Harian Tribun Jabar edisi Selasa 24 Juni 2008.

No comments: