Monday, April 28, 2008

Cimahi: Tambah Usia Makin Pesat

21 JUNI 2008 lalu, adalah hari jadi ke-7 Kota Cimahi. Usia yang belia bagi perkembangan sebuah kota. Dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lama yang berlomba-lomba menuakan usianya, karena makin tua makin bergengsi dan makin "Nyiliwangi", tentu Cimahi tak ada apa-apanya.

Tapi sesungguhnya sejarah daerah yang bernama Cimahi sendiri sudah berabad lamanya. Bersamaan dengan ambisi Marschalk Daendels, sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda jajahan Napoleon, untuk menyambungkan Anyer-Panarukan, nama Cimahi pun disebut. Ya, kira-kira tahun 1811 lah. Cimahi menjadi salah satu daerah yang terkena proyek jalan 1.000 km. Walau mungkin saat itu masih leuweung geledegan, tapi Cimahi dijadikan pos penjagaan atau peristirahatan kuda.

Dari mana asal kata Cimahi? Secara etimologi, Ci adalah kata singkat untuk Cai, yang artinya Mahi. Lalu kata Mahi adalah cukup. Jadi kira-kira arti Cimahi adalah cukup air. Bisa dipastikan, zaman baheula, Cimahi adalah daerah yang melimpah ruah dengan air. Itu masuk akal, karena Cimahi berada di daerah hilir, di mana air deras nyurulung dari daerah Cisarua, Parongpong, dan Lembang.

Nah sekarang, yang harus ditanyakan, lebih dulu mana nama daerah Cimahi ataukah nama sungai Cimahi? Warga Cimahi sih lebih akrab menyebutnya Kali Cimahi. Karena kalau dilihat lebih ke hulu, sungai yang mengular dari Situ Lembang ternyata bernama Sungai Cimahi. Bahkan air nyurug yang jatuh dari ketinggian tebing di daerah Cisarua dinamakan Curug Cimahi. Dan itu lokasinya bukan di daerah Cimahi sekarang. Itu yang belum ditemukan jawabannya hingga kini. Ibarat teka-teki, lebih dulu mana telur atau ayam?

Cimahi sendiri diperkirakan mulai didiami penduduk sejak 1880-an. Makin berkembang dengan masuknya kereta api dari Bandung menuju Cianjur. Pembuatan rel KA ini berkaitan dengan mobilisasi persenjataan dan serdadu perang. Juga imbas kebijakan Pemerintah Hindia Belanda untuk menyiapkan Bandung sebagai pusat pemerintahan. Yang lebih dulu disiapkan adalah lokasi tempat militer dan Cimahilah lokasi yang dipilih.

Tak heran, sejak itulah, sekitar tahun 1886, Belanda mendirikan penjara militer Poncol. Lalu setahun kemudian, 1887, mendirikan RS militer --kini bernama RS Dustira. Sejumlah pusat pendidikan militer pun dibangun. Lapangan Sriwijaya, entah di zaman Belanda disebut lapang apa, dijadikan tempat latihan terjun payung.

Zaman berganti, Cimahi pun berubah. Sekitar tahun 1935, Cimahi jadi kecamatan. Dan sejak 1975 hingga tahun 2001, Cimahi berstatus Kota Administratif alias Kotip. Ketika era otonomi bergaung, Kotip Cimahi pun naik derajat jadi Kota Cimahi.

Lalu apa yang membuat beda antara Kotip dan Kota? Dari sisi geografis senyatanya tidak ada perubahan. Tetap tiga kecamatan: Cimahi Selatan, Utara, dan Tengah. Yang membedakan adalah pembangunan fisik. Dulu saya, bahkan semua warga Cimahi atau pernah merasa dilahirkan dan tinggal di Cimahi, mungkin tidak pernah bermimpi Lapangan Sriwijaya bisa menghilang.

Lapangan yang bagi saya dan tentu bagi warga Cimahi lainya, menyimpan kenangan, ternyata tak tersisa sedikitpun sudut-sudutnya. Dulu, saya main sepakbola di sini. Mengikuti upacara Agustusan juga di sini. Bagi warga lain, lapangan ini untuk belajar mobil dan motor. Bahkan juga sebagai lokasi pacaran yang strategis.

Di tempat itu, kini berdiri Pasar Antri Baru dan terminal Cimahi. Lalu di sebagian lagi, dipakai Markas Pusat Kesenjataan Artileri Pertahanan Udara (Pussenarhanud).
Kemudian di lokasi Pasar Antri lama di Jalan Gandawijaya, berdiri gagah Cimahi Mall, yang enggan disingkat Cimol (karena kelasnya terlalu rendah) tapi ingin disebut Hi Mall.

Jalan Gandawijaya yang dulu sulit sekali dilewati motor sekalipun, kini lapang leluasa. Segala macam kendaraan bisa ngebut di jalan ini. Tak bakal ditemui lagi, lapak-lapak PKL yang memadati jalan. Atau tukang martabak manis, martabak telor, gorengan, menawarkan dagangan. Semua lenyap.

Sebagai kota baru, Cimahi memang menawarkan kemajuan ekonomi dan perdagangan. Tengok saja, para pemain besar di bisnis perdagangan mulai merangsek masuk kota mungil ini. Giant sudah buka di Hi Mall. Sebelumnya, Borma mencegat konsumen di Cibeber. Kemudian Samudera pun membangun pertokoan di sebelah barat, menempati bekas bioskop 21.

Yang masih bertahan di bagian tengah adalah Ramayana. Menempati gedung bekas bioskop Nusantara, yang jadi Cimahi Mekar. Ramayana jadi pemain tunggal di Jalan Ria.

Di sebelah timur, di Jalan Raya Cibabat yang sudah ganti nama jadi Jalan Amir Machmud itu tepat di depan Kantor Sosial, berdiri Superindo. Lebih ke timur lagi, di Cibeureum, tepat di depan Advent, bakal dibuat Pasar Raya Cibeureum. Konsep pertokoan moderen dan pasar tradisional dilengkapi dengan hotel dan tempat belanja wah. Begitu mimpinya.

Jangan ditanya soal tempat makan. KFC, CFC, sudah manggung lebih dulu. Yang terbaru, Pizza Hut pun bikin cabang baru di dekat Sentral, menempati rumah teman SMP saya yang dijual. Dan sebentar lagi McDonalds bersaing berebut konsumen Cimahi.

Dan yang paling terbaru adalah ekspansi Yogya Grup. Tak tanggung-tanggung, Yogya membuat Yogya Plaza. Sebuah konsep yang memadukan semua grup Yogya, mulai toserba, griya, dan mart. Lokasinya, tepat di pinggir bekas rumah saya di Cibabat.

Lalu apalagi yang berbeda yang ditawarkan Cimahi sekarang? Hmm, mungkin jalan raya yang berbeda. Dulu jalan depan Alun-alun hingga Tagog adalah jalur dua arah yang padat luar biasa. Sekarang dibuat satu jalur. Di Tagog atau pertigaan dibuat pulau jalan yang membelah dua arah, arah Bandung atau Dustira/Pasar Antri. Dijamin, orang Cimahi yang lama ngumbara bakal bingung dan lieur melihat Cimahi sekarang. (*)

Saturday, April 26, 2008

Waktu Bersama

BAGI kami, saya dan Bu Eri, waktu luang sehari penuh berkumpul bersama anak-anak ibarat mencari air di padang pasir. Sulit, dan seperti fatamorgana. Kesibukan kerja membuat keinginan berkumpul itu sekadar mimpi di siang bolong. Selama ini, jam bertemu dengan anak-anak bisa dihitung dengan jari. Bisa jadi tak lebih dari tiga jam per hari. Selebihnya, habis untuk bekerja dan istirahat.

Bisa saja, kami berkumpul full time dengan anak, kalau mengambil cuti. Tapi saat ini tak memungkinkan. Tahun ini, saya baru punya jatah cuti empat hari, setelah empat bulan bekerja. Ya, sistem cuti di Tribun memang begitu. Karyawan akan mendapat 1 hari cuti setelah sebulan bekerja. Sayang kalau sekarang diambil. Siapa tahu, Lebaran nanti punya rezeki dan bisa mudik lagi ke Magelang, baru saya pakai jatah cuti.

Namun kalau disiasati ternyata bisa juga kami berkumpul dengan anak-anak. Awalnya dari Bu Eri yang punya jatah libur empat hari, mulai Kamis hingga Minggu. Ini jatah rapel libur setelah ikut roadshow kampanye Pilgub kemarin. Sedangkan saya, punya jatah libur reguler pada hari Jumat. Jadi ada satu hari kami bisa bertemu "habis-habisan".

Karena waktu sudah mepet, akhirnya kami putuskan untuk berlibur sehari ke Cipanas, Garut. Ini benar-benar mepet. Pesan mobil rental pun malam-malam. Untung tak sulit, karena Bu Eri langsung menghubungi 888 Car Jaya, rental yang dulu kami pakai saat mudik ke Magelang. Beruntung pula, Pak Asep lagi yang siap mengantar kami ke Cipanas.

Lalu Bu Eri pun membooking bungalow di Sumber Alam Cipanas. Untung lagi, masih ada yang kosong. Karena biasanya, jelang week end, selalu penuh. Memang tempatnya tidak di depan kolam renang, tapi sebelah timur. Namun justru, tidak perlu pakai jalan memutar kalau ingin berenang di kolam air panas.

Hanya saya, Bu Eri, Kaka Bila, dan Adik Mira, yang ikut ke Cipanas. Ini benar-benar liburan keluarga. Mbah Uti dan penghuni rumah lainnya, tidak diajak. Bukan apa-apa, kalau ikut, mesti booking tempat tambahan lagi. Itu berarti nambah biaya lagi. Padahal, bujet ke Cipanas pun pas-pasan.

Selain itu, kami sengaja tidak membawa serta Mbah dll, supaya mereka "terbebas" dari keriuhan Kaka dan Adik. Ya, karena hari-hari biasa, Mbah Uti, Teteh, dan Bude Ani yang sibuk mengurus dua kurcaci itu. Biar kami pun merasakan, bagaimana sulitnya mengasuh dua anak sekaligus.

Ternyata memang benar, kami kepayahan membawa dua anak ini. "Halah, malah jadi stres ini mah," komentar Bu Eri. Tapi tak mengapa, ini pembelajaran bagi kami. Tak mungkin selamanya, kami menitipkan pengasuhan anak pada nenek mereka, bude, atau pembantu. Suatu saat, kami yang harus menangani mereka sendirian.

Singkat cerita, Jumat 25 April, pukul 09.00, Pak Asep sudah siap dengan Avanza biru telur asinnya. Rupanya ini mobil baru. Dulu Pak Asep bawa Avanza warna hitam. "Yang itu lagi kasus, digadaikan sama orang yang menyewa," kata Pak Asep. Walah, rupanya sekarang memang lagi marak kasus penipuan yang menimpa rental-rental mobil.

Perjalanan ke Cipanas, kami tempuh selama dua jam lebih sedikit. Ini karena di jalan, kami banyak berhenti. Karena mendadak, banyak barang yang lupa dibawa. Lupa bawa minumlah, cemilanlah, dan kawan-kawannya.

Sebelum Jumatan, kami tiba di Sumber Alam. Seusai solat Jumat, kami segera ke RM Cibiuk, di dekat pertigaan jalan masuk Cipanas, untuk makan siang. Dari situ, kami meluncur ke Garut Kota. Putar-putar menikmati suasana Kota Dodol itu sambil mencari oleh-oleh. Ya oleh-olehnya Dodol juga.

Sore hari, saya dan Kaka Bila berenang di kolam besar. Bu Eri tak ikut, karena menjaga adik yang lagi tidur. Jelang magrib, kami berendam bersama di bak mandi besar di dalam bungalow. Berempat merenda kebersamaan.

Malam hari, kami ke Garut Kota lagi, mencari makanan. Entah kenapa, mungkin karena ibunya ada seharinya, Adik cengengnya minta ampun. Ogoan, kata orang Sunda. Sedikit sedikit, ngeeekkk..nangis. Lihat Kaka pegang ibunya, langsung ngambek. Kaka makan cokelat, Adik ingin. Weleh, ternyata begini nih adat anakku yang satu ini..

Sayang waktu bersama ini sangat singkat. Sabtu pagi jam 7 kami harus sudah check out dari Sumber Alam. Ini karena jatah mobil rental itu hanya sampai jam 09.00 atau 24 jam. Penyebab utama singkatnya waktu ini, tentu karena saya. Saya tidak punya jatah libur lebih panjang. Karena Sabtu siang sudah harus masuk kantor lagi. Berjibaku lagi, berjihad lagi, untuk keluarga.

Tak mengapa, yang penting semua merasa senang. Waktu berkumpul dengan keluarga memang sangat berharga. Karena itu, berbahagialah mereka yang setiap hari bisa berkumpul bersama keluarga secara lengkap. Orangtua ada, anak ada. Karena kami jarang menemui hal itu. Manfaatkan semaksimal mungkin kesempatan itu.

Sayangnya, saya tak menjepret sekalipun momen saat kami berempat kumpul. Kebanyakan foto Kaka dan Adik juga Bu Eri. Saya sama sekali tak pernah terekam dalam kamera. Nasib. (*)

Wednesday, April 23, 2008

Sedekah Cinta

INI sebuah kisah nyata tentang kekuatan sedekah. Power of Sodaqoh, begitu Ustad Yusuf Mansyur menyebutnya. Sedekah yang dilandasi cinta ternyata mampu menyembuhkan leukemia, kanker darah. Ibu Diana Ekarini adalah sang pemberi sedekah cinta ini untuk anaknya terkasih, Abiyu Nurhakim. Bocah 9 tahun itu divonis dokter tak akan berumur panjang, karena diserang kanker darah.

Dalam dunia medis, satu-satunya jalan untuk mengurangi penyebaran kanker hanyalah kemoterapi. Diana sempat membawa Abi untuk kemo, tapi tak menunjukkan hasil yang positif. Padahal uang yang keluar sudah puluhan juta. Di sisi lain, suaminya pun tengah menjalani perawatan penyakit jantung, praktis hanya Diana seorang yang berjuang untuk kesembuhan putra pertamanya itu.

Setelah bertanya ke sana ke mari, tanpa putus asa, lalu merenungkannya, Diana pun memulai pengobatan dengan terapi sedekah. Diana konsultasi secara khusus pada Ustad Yusuf Mansyur. Ia merasa disentil sang Ustad muda itu, saat ditanya berapa banyak hartanya dan berapa banyak yang sudah disedekahkan.

Diana punya rumah besar dan dua mobil mewah, namun sedekahnya terbilang sedikit. Karena itu, ia pun mulai bersedekah. Tanpa bermaksud riya, ia menyisihkan uang Rp 1 juta untuk sedekah. Apa yang terjadi, esok harinya rekening tabungannya bertambah Rp 10 juta. Ternyata ada temannya di luar negeri yang mengirim uang.

Di saat lain, Diana menjual perhiasan untuk ongkos dan biaya pengobatan suami di Jakarta. Lalu sebagian uang itu ia sedekahkah kepada ibunya. Tanpa diduga, saat hendak berangkat, seorang teman membekalinya amplop yang ternyata berisi uang, berkali-kali lipat nilainya dari sedekah.

Jika sedekah itu dilandasi dengan cinta dan keikhlasan, segala persoalan hidup yang membelit dan seolah tak bisa diurai, ternyata bisa terselesaikan. Karena sedekah membuka lebar-lebar pintu keberkahan Alloh. Alloh tak akan mengingkari janjinya untuk menolong mereka yang bersedekah, lillahi taala karena Alloh. Diana sudah membuktikannya, dan kini Abi, anaknya, tak perlu repot-repot kemoterapi. Rambutnya tak rontok kena sinar ultraviolet. Fisiknya pun sudah cukup kuat, dan tak lagi sakit saat disuntik.

Inilah sedekah cinta yang seharusnya dilakukan semua orang, siapapun dia yang ingin menjadi hamba Alloh. Sedekahkan kenikmatan itu kepada mereka, kaum dhuafa. Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda,"Carilah aku di tengah-tengah kaum duafa". Menolong mereka, kaum miskin papa, berarti menolong Rasullullah Muhammad SAW. Barang siapa menolong Muhammad, jiwanya akan mendapat pertolongan di saat hari tidak ada lagi pertolongan, kecuali pertolongan Alloh.

Kisah dan pengalaman Diana itu dibukukan menjadi sebuah buku cantik "Sedekah Cinta" keluaran Mizan. (*)

Tuesday, April 22, 2008

Kembali Jelajahi Priangan dan Pantura

SEJAK Senin 14 April lalu, saya meninggalkan kantor untuk menjelajahi wilayah Priangan dan Pantura. Tugas utama saya adalah memantau pelaksanaan Adipura di tujuh kabupaten dan kota, yaitu Tasikmalaya, Ciamis, Kota Banjar, Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Majalengka.

Ini kali kedua, saya harus menjelajah Pantura dan Priangan untuk urusan Adipura. Yang pertama, Oktober 2007 lalu. Tentang bagaimana saya bisa terlibat dalam tim Adipura, bisa dibaca di postingan sebelumnya. Selain Adipura, tentu saya punya tugas lain, memantau sirkulasi koran Tribun di tujuh daerah itu, sekaligus menginventarisasi persoalan atau isu yang bisa diangkat untuk liputan daerah.

Selama delapan hari saya maraton mengelilingi tujuh kota dan kabupaten itu. Capek jelas, karena kegiatan pemantauan dimulai sejak pagi hingga sore. Disambung dengan memasukkan data dan foto pada malam hari. Praktis hotel atau tempat penginapan dimana saya menginap bukanlah tempat untuk santai-santai. Karena di hotellah, kami, tim Adipura berjibaku, berdebat, untuk menentukan nilai kebersihan sebuah kota.

Tim yang berkeliling di tujuh kota kabupaten ini masih orang yang sama saat pemantauan pertama. Ada Pak Wawan Rubianto dari Pusreg PPLH Yogyakarta dan ada Pak Asep Dachyar, dari BPLHD Jabar. Anggota tim berkurang satu orang, Bu Irma dari PSLH ITB.

Tapi langkah tim menjadi lebih cepat. Satu kota bisa diselesaikan dalam tempo satu hari, dari biasanya satu setengah hari. Ini juga dikarenakan saya hanya diberi jatah menjelajah ini sampai Senin 21 April, sehingga harus cepat selesai. Begitu pula Pak Wawan, sudah kecapean setelah menjelajah tiga provinsi tanpa henti selama sebulan. Dari Jatim, Jateng, dan berakhir di Jabar. Dia ingin Senin 21 April, pemantauan selesai dan bisa segera pulang ke Yogya.

Banyak hal yang ditemui selama perjalanan ini. Namun tetap saja isu Pilgub mendominasi pembicaraan di manapun. Setiap tim berhenti untuk makan, pasti orang lain tengah berbincang tentang Pilgub. Di Ciamis, Amanlah yang menang. Di Banjar, Dailah yang menang, dan tentu keterkejutan semua kalangan tentang kemenangan Hade.

Tapi tim pun tak lepas dari misi pembinaan Adipura. Setiap bertemu dengan pihak-pihak yang terkait dengan persoalan lingkungan, tim selalu menekankan masalah lingkungan bukan sekadar Adipura, dan bukan cuma urusan Dinas Lingkungan Hidup. Adipura hanyalah pemacu, agar pemerintah dan masyarakat sadar dengan lingkungan yang hijau dan bersih. Karena itu pula yang akan menahan laju pemanasan global, yang saat ini tengah menjadi topik lingkungan terhangat.

Mudah-mudahan, perjalanan kali ini membawa manfaat banyak. Saya akan tuliskan cerita-cerita di balik perjalanan ini, di lain waktu. (*)

Sunday, April 13, 2008

Hade, Pemimpin Baru Jabar

PASANGAN Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) menang euy. Itu berdasarkan hasil quick count empat lembaga survei, Litbang Kompas, Lingkaran Survei Indonesia, Lembaga Survei Indonesia, dan Puskaptis. Melihat selisih perolehan suara yang signifikan, sudah dipastikan Hade menang, walau KPU belum mengumumkan.



Saya tidak bisa nulis panjang lagi, kali ini. Badan cape banget, dari pagi mengkoordinasikan teman-teman agar terus melaporkan hasil penghitungan suara Pilgub Jabar dari seluruh kota/kabupaten di Jabar. Belum mengupload seluruh hasil pantauan itu ke situs Tribun Jabar. Ini yang paling cape.


Dede Yusuf bersama istri, Sendy, memantau TPS di Perumahana Alamanda Dago.
Teman-teman di daerah mengirim via SMS yang sudah ditentukan, tapi tetap saja, banyak yang nyelonong ke HP saya. Belum lagi teman wartawan yang inginnya dikontak terus. Terus saudara-saudara saya yang mengirimkan informasi hasil penghitungan suara di sejumlah daerah. Pokoknya seluruh kekuatan dikerahkan agar situs Tribun Jabar tetap terdepan dalam pemberitaan Pilgub Jabar.

Sukses untuk HADE, Semoga menjadi pemimpin yang amanah, menepati janji-janji saat kampanye, mampu membawa rakyat Jabar menuju perubahan dan perbaikan. Semoga adil dan sejahtera.(*)

Saturday, April 12, 2008

Saatnya Mendengar Hati Nurani

MINGGU 13 April 2008 adalah hari bersejarah bagi masyarakat Jabar. Inilah hari saat masyarakat bisa memilih secara langsung pemimpinnya. Sejak zaman revolusi dulu, belum pernah ada gubernur yang dipilih rahayat. Kalau tidak diangkat sama pemerintah pusat, ya dipilih wakil rakyat di DPRD.

Ada tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang akan mempertaruhkan masa depan Jabar. Pasangan No 1, Danny Setiawan (Gubernur incumbent) dan Iwan R Sulanjana (mantan Pangdam III/Siliwangi), biasa disingkat Da'I. Pasangan No 2, Agum Gumelar (mantan Menhub, Menko Polkam) dan Nu'man Abdul Hakim (Wakil Gubernur incumbent) disingkat Aman. Pasangan No 3, Ahmad Heryawan (Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta) dan Dede Yusuf (Anggota DPR RI), biasa disapa Hade.

Ketiga pasangan ini sudah menggelar kampanye selama dua minggu, keliling Jabar. Kampanye terbuka itu diakhiri debat publik yang ditayangkan secara langsung di Metro TV dan 10 TV lokal di Jabar. Rasanya itu kali pertama, debat publik Pilgub ditelevisikan. Pilgub DKI Jakarta saja tidak seperti itu.

Namanya kampanye, pasti semua bilang nomor satu. Karena tidak ada kecap nomor dua. Sedikit menyindir, pasti ada. Khususnya pasangan nomor 2 dan 3, terhadap nomor 1. Kenapa? Ya namanya incumbent kan sudah punya jejak, tinggal tembak saja jejak itu. Apakah buruk atau lebih buruk dalam pandangan para calon.

Bagaimana dengan saya, akankah memilih atau tidak memilih? Gimana nantilah, lihat situasi saja. Saya pasti nongkrong di kantor sejak pagi. Kalau sempat ke TPS di rumah, ya nengok sebentar. Kalau tidak, coba lihat TPS khusus. Kalau masih bisa, nya nengok juga.

Yang pasti, inilah saatnya rakyat Jawa Barat mendengarkan suara hati nurani. Lihat secara keseluruhan, jangan sektoral, bagaimana sosok calon gubernur saat ini. Teliti dengan seksama rekam jejak atau track record mereka. Siapa yang paling siap untuk memimpin provinsi ini, tergantung dari penilaian masyarakat. Jangan terbius dengan kata-kata penuh janji saat kampanye. Jangan terlena dengan omongan surga yang hanya sesaat sekadar menyenangkan "ngabubungah" saat kampanye saja. Saatnya Anda Dengarkan Suara Hati Nurani! (*)
(*)

Thursday, April 10, 2008

Catatan Milad: Mengingat Mati

“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!” (HR. Tirmidzi)

Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tak lari menyimpang.

Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.

Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga

Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.

Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).”

Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, “Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan.” Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.

Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44, “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: ‘Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul….”

Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa

Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’, usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.

Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.

Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.

Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.

Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa

Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu.

Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang.

Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.

Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.

Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara

Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.

Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.

Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga

Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.

Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al-Qashash ayat 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia…” dengan menyebut, “Ad-Dun-ya mazra’atul akhirah.” (Dunia adalah ladang buat akhirat)

Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.

Dan ketika seseorang merayakan milad, hari kelahirannya, sesungguhnya dia tengah menikmati sisa akhir hidupnya. Karena semakin umur bertambah, berati langkah sang malakal maut pun semakin mendekat. Utusan-utusannya pun semakin sering berkunjung. Sakit, rambut yang mulai memutih, kerutan di wajah, hanya sebagian utusan Izrail. Karena itu, Ingatkan Aku tentang Mati, agar aku bisa mengisi hidup ini dengan sepenuh kebaikan dan amal keikhlasan. Dan yang terutama, agar aku bisa menyambut Izrail dengan penuh keindahan dan akhir yang baik. (*)
* Dicuplik dari tulisan Muhammad Nuh (Dakwatuna.com), diganti judul dan sedikit tambahan untuk memeringati hari kelahiran.

Tuesday, April 08, 2008

Meniti Umur Tersisa

BEBERAPA jam lagi, jarum jam di kantor akan menunjukkan pukul 12.00 tengah malam. Tanda hari sudah berganti dan tanggal pun berubah. Rabu tanggal 9 April 2008. Ya 9 April, memiliki makna dalam hidup saya. Karena di tanggal itulah, saya keluar dari rahim Mama, dan merasakan cahaya dunia.

Tiga puluh empat tahun telah berlalu, apakah yang sudah saya kerjakan selama itu? Apakah timbangan kebaikannya lebih berat dari keburukannya? Ataukah dosa-dosa saya yang justru lebih berat? Saya tak pernah memikirkan mana yang lebih berat atau ringan. Dalam hal ini, saya lebih fokus untuk berbuat yang terbaik. Biarkan semuanya Alloh yang menilai.

Apakah hidup saya ini sudah bermanfaat bagi orang lain? Hmm, rasanya belum. Apa manfaat kedirian saya ini di tengah masyarakat? Sebagai wartawan? Apakah saya sudah memerjuangkan orang-orang yang lemah, tertindas, dan dizalimi? Belum.

Jadi saya harus meniti umur yang tersisa ini untuk kebaikan semua orang. Tidak ada yang tahu, kapan hidupnya akan berakhir. Semoga, saya mendapatkan akhir yang baik. Hanya sebait doa yang bisa saya panjatkan jelang detik-detik pergantian hari ini.

Ya Illahi, bimbinglah aku agar umur yang tersisa ini menjadi ahli syukur atas sekecil apapun karunia yang telah Engkau beri. Menjadi ahli sabar atas segala ujian yang kuhadapi, dan menjadi ahli ikhtiar di jalan yang Engkai ridhoi. Amiin. (*)

Monday, April 07, 2008

Amanah Baru, Komitmen dan Istiqomah

DAN dimulailah hari-hari berat di kantor. Kamis malam lalu, saya dipanggil menghadap Pemred Tribun Jabar, Kang Yusran. Singkat saja pembicaraan: Saya diberi tugas baru, menjadi Koordinator Liputan. Tapi masih tetap memegang Desk Kota.

Dzzigh, saya menolak. Tapi Kang Yusran bilang, kita tidak bisa mundur, mencoba pun tidak bisa, harus terus maju, dan tidak ada pilihan lain yang cocok. "Atau mau ke Pontianak? Sok we pilih, jadi Korlip di Bandung atau pindah ke Pontianak? begitu Kang Yusran memberi pilihan.

Bagaimana lagi, tidak ada pilihan yang ringan, dan dari dua pilihan yang berat itu, hanya Korlip yang "agak ringan". Saya sebut agak, karena sebetulnya tugas korlip sekarang sangat berat. Terlebih setelah ada kontrak kerja dengan Jakarta. Semua harus memenuhi target yang telah ditetapkan.

Teman saya, Domuara Ambarita, yang sekarang ngendon di Biro Jakarta, jadi Wakabiro, menyemangati saya. "Kang Mac cocok dan bisa di pos itu. Mengalir saja kang, bagai air. Kita kerjakan hal-hal biasa dengan semangat luar biasa. Nanti juga kita terbiasa," begitu kata Domu.

Lahaula, saya jalani saja tugas dan amanah baru ini. Mudah-mudahan, saya bisa komitmen dan istiqomah menjalaninya. Memang, hari-hari pertama pun sudah terasa berat. Karena mengoordinir liputan sejak pagi, lalu sore disambung dengan menggarap halaman kota. Jaga kesehatan dan fisik saja, biar tidak tumbang. Tetap semangat!. (*)

Wednesday, April 02, 2008

Rasanya Baru Kemarin...


Rasanya baru kemarin, Nak, ayah lihat ibumu mengandungmu. Jalan tertatih-tatih saat usia kandungan sudah 9 bulan. Lalu ibumu bilang, sudah terasa mulas, dan ayah bergegas membawa ibumu ke rumah sakit. Ayah menunggui kelahiranmu detik demi detik. Tak lama setelah azan magrib, lahirlah engkau, Nak.

Masih teringat jelas, bagaimana suara tangis pertamamu saat melihat dunia. Kaget. Karena di dalam perut ibumu, kau rasakan kenyamanan, juga kegelapan. Cahaya dunia yang pertama kau lihat, membuat matamu berkerejap-kerejap.

Kini satu tahun lebih dua bulan, kau sudah bisa berjalan, bahkan berlari, walau masih seperti robot. Kedua tangan terangkat ke atas, dan kau berjalan sambil berceloteh. Bahasa yang ayah tidak mengerti. Tapi sudah banyak kosakata yang bisa kau ucapkan. Dan kau pun, Nak, sudah tahu beberapa bagian tubuh. Saat bilang perut, kau menepuk perutmu sendiri. Kalau bilang kaki, kau akan mengangkat kakimu. Kalau disebut hidung, telunjuk mungilmu akan masuk ke lubang hidung. Entah siapa yang mengajarimu.
Karena ayah dan ibu, tak punya banyak waktu untuk mengajarkan itu semua. Maafkan ya Nak... Tak heran, ibumu selalu bilang 'kayak mimpi yah, punya dua anak kecil". Dan itu setiap tahun selalu begitu. Jadi, ibumu masih terus bermimpi, tak percaya sudah melahirkan dua anak.

Selain kakakmu, kau pun sudah bisa protes. Protes kalau ditinggal bekerja. Menangis kalau melihat ayah memangku kakak. Atau ibumu memegang kakakmu. Kau sudah semakin pintar. Tak lagi hanya sekadar menonton ayam-ayam kampung yang berseliweran di sekitar rumah, tapi sudah berani mengejar. Kadang, tanganmu usil menjeplak pipi kakakmu. Ada anak kecil lain datang ke rumah pun kau ribut, melarang mendekat.
Ah, rasanya baru kemarin...(*)

Pak Otto, Pejuang Lingkungan, Mangkat

SELARIK SMS muncul di ponsel saya, di hari pertama bulan April ini. Isinya menghenyakkan. "Pak Otto meninggal dunia, lewat tengah malam, di RS Santosa". Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Pejuang lingkungan itu pergi meninggalkan kita semua. Senin malam, dari teman-teman milis wartawan lingkungan, saya dapat informasi Pak Otto Soemarwoto tengah dirawat di RS Santosa. Hanya beda beberapa jam, Pak Otto meninggal.

Tentu ini sebuah kehilangan besar bagi dunia lingkungan Indonesia. Kalau ekonomi pernah punya begawan ekonomi, Sumitro Djoyohadikusumo, lalu sejarah punya begawan sejarah, Sartono Kartodirdjo, yang bulan Januari lalu juga meninggal, maka Pak Otto Soemarwoto adalah begawan lingkungan. Pemikiran-pemikirannya memengaruhi dunia lingkungan Indonesia.

Dialah orang yang secara kritis dan vokal mengingatkan pemerintah tentang pembalakan liar. Pak Otto pula yang menentang pembangunan kawasan Bandung Utara. Bahkan isu lingkungan terkini di Kota Bandung, soal Pembangkit Listrik Tenaga Sampah, pun Pak Otto angkat bicara. Pak Otto bilang, PLTS lebih banyak mudarat ketimbang manfaat bagi warga Bandung. Karena masih banyak cara lain untuk mereduksi dan mengelola sampah di Kota Bandung.

Bahkan saat Sidang Amdal PLTS yang digelar di Aula Kantor Pos Jalan Banda, seharusnya Pak Otto selaku pakar lingkungan, hadir. Nomor duduknya 33. Hanya Allah lebih menyayangi Pak Otto dengan memanggilnya lebih dulu. Selamat jalan Pak Otto, semoga generasi muda mampu meneruskan perjuangan Pak Otto. (*)