Thursday, February 07, 2008

Usai Sudah Hari-hari Menegangkan

ALHAMDULILLAH, usai sudah hari-hari menegangkan itu. Hari ketika kerja pun tak tenang. Setiap deringan telepon, seakan seperti hantu yang mengejar dari liang kubur. Khawatir ada "penyerbuan" kembali ke kantor. Atau setidaknya, krang kring telepon yang isinya mencaci maki dan sumpah serapah.
Cerita ini dimulai, Sabtu (2/2) lalu sekitar pukul 14.00. Secara tiba-tiba, puluhan orang tak dikenal, berpakaian kumal, sebagian berambut panjang, mata merah, menyerbu masuk ke ruang rapat Tribun.

Saya tanya kepada Sekred Tribun, Ari, yang lari ke ruang redaksi. Saya tanya, siapa mereka. Dengan wajah penuh ketakutan, Ari menjawab "Enggak tahu Kang, katanya mereka dari kabupaten".

Deg, dari Kabupaten, pasti soal berita Obar," pikir saya. Karena di kantor tidak ada orang, saya dan Kang Januar, manajer Tribun Online yang menerima rombongan orang-orang itu.

Ternyata benar, dengan kata-kata keras sambil mengacungkan koran edisi Kamis (31/1), mereka minta penjelasan soal berita Obar yang akan diperiksa BPK. Mereka bilang berita itu tidak berimbang. Saya coba jelaskan, bagaimana wartawan mendapat berita itu. Wartawan Tribun sendirian mendapatkannya dan berita itu sudah berimbang. Bahkan omongan soal pemeriksaan itu langsung meluncur dari mulut Obar sendiri.

Tapi orang-orang ini tak terima. Mereka lalu mempersoalkan kata menantang dalam berita itu. Mereka bilang, Bupati tidak pernah menantang BPK. Juga soal cuci gudang anggaran. Saya kembali menjelaskan, tapi baru beberapa kata sudah langsung dipotong. Mereka mengancam wartawan di lapangan. Bahkan menyebutkan saat itu ada 30 mobil yang sedang menunggu di jalan dekat kantor Tribun untuk menyerbu. Belakangan saya ketahui, mobil yang masuk ke halaman Tribun saja ada 10 mobil.

Segala penjelasan saya dan Kang Januar tidak bisa diterima mereka. Mereka meminta Tribun meminta maaf secara terbuka selama 10 hari berturut-turut. Saya sampaikan, masalah klarifikasi adalah hal biasa. Dan sebetulnya, klarifikasi masalah ini sudah dimuat esok harinya setelah berita muncul. Klarifikasi langsung dari pihak Pemkab Bandung. Tapi mereka keukeuh tidak mau tahu. Tetap harus ada permintaan maaf.

Berhubung saat itu tidak ada pimpinan lain di kantor, kecuali saya dan Kang Janu, dengan terpaksa dan melihat situasi yang panas serta mengedepankan keselamatan karyawan, mau tidak mau kita terima desakan mereka untuk membuat klarifikasi dan permintaan maaf. Mereka, yang menyebut diri Forum Masyarakat Kabupaten Bandung Bersatu (Formak) minta dimuat sebanyak tiga kali.

Minggu pagi, saya dikontak PP menanyakan kasus itu dan meminta saya datang untuk rapat membahas itu siang harinya. Hasil rapat siang, kita akan memuat berita itu, namun tanpa menyebutkan kata minta maaf, karena tidak Tribun sudah benar dalam pemberitaan.

Senin (4/2), meluncurlah berita pertama, "Formak Desak Minta Maaf". Saya harap-harap cemas menanti reaksi mereka. Sampai malam tidak ada kejadian apa-apa.

Selasa (5/2), Tribun tidak memuat berita kedua. Sengaja. Karena bagi Tribun, satu berita itu pun sudah cukup. Pertama, karena sebenarnya tidak ada yang salah dari Tribun, semua prosedur pencarian berita sudah dijalankan. Kedua, prosedur hak jawab pun sudah dilakukan, dimuat pada kesempatan pertama.

Dan hasilnya bisa diduga, Selasa sore, telepon deras berdering ke handphone saya. Ada yang mengaku dari Baleendah, dari Soreang. Semua menanyakan kelanjutan berita Tribun. Lalu telepon kantor pun menjerit. Kembali saya yang harus menerima, karena pimpinan Formak tahunya saya. Sejuta badai cacian mengalir ke telinga kiri saya. Seribu nama binatang keluar dari got mulut preman-preman itu. Ya, mereka memang preman. Saat "menyerbu" ke Tribun pun, massa mereka adalah preman pasar dan terminal, selain ormas-ormas.

Selasa sore hingga malam itu, hari paling sibuk. Harus diputuskan saat itu juga, sikap Tribun. Massa di Soreang sudah menanti. Puluhan truk disiagakan untuk menyerbu ke Malabar. Pimpinan Formak bilang, sudah tidak bisa menahan massa lagi. Akhirnya, magrib digelar rapat kilat pimpinan. Diputuskan, untuk memuat satu kali lagi soal berita klarifikasi itu.

Rabu (6/2) berita itu pun muncul dengan judul "H Daud Berharap Situasi Tetap Kondusif" sub judul Formak Klarifikasi Ulang. Kita berharap, dengan memasang nama pentolan mereka, massa di bawah akan reda. Dan ternyata benar, tidak ada lagi teror, krangkring telepon dari mereka. Bahkan 2 utusan dari FKPPI Kab Bandung datang menyampaikan terima kasih atas pemberitaan kembali.

Sebenarnya akar silang sengkarut masalah ini bukan pada soal Bupati akan diperiksa BPK. Sama sekali bukan. Akarnya adalah 10 hari terakhir bulan Desember, Bupati mengucurkan dana ratusan miliar, entah untuk kegiatan apa. Padahal, pembukuan kas daerah sudah ditutup pada 15 Desember dan sesudah itu tidak boleh ada lagi pencairan uang. Ini yang jadi persoalan. Lalu ada momen pemeriksaan BPK, kita sangkutkan isu pencairan uang itu pada berita pemeriksaan BPK. Klop. Dan hasilnya, Bupati marah besar. He he...

Tapi kasus ini lebih entenng dibanding dengan teror anggota Kopassus terhadap keluarga saya, hampir selama 3 bulan, tahun 2006 lalu. Itulah teror terlama dan paling mengganggu kami sekeluarga. Teror itu juga bermula dari pemberitaan dugaan korupsi pembangunan perkantoran Pemkot Cimahi, yang dibuat Bu Eri. Rupanya, berita itu membuat gerah, seluruh pejabat Kota Cimahi, termasuk rekanan yang terlibat proyek. Kalau sudah begitu, cara teror lah yang dipakai. Keluarga saya mau dihabisi, mereka tahu dimana rumah dan siapa saja di dalam rumah. Mereka tahu saya seperti apa, dan pulang jam berapa. Mereka pun mengancam mau menculik Kaka Bila.

Demi keamanan, Bu Eri lapor ke Polres Cimahi. Dan minta pengawalan dari anggota Buser atau intel Polres. Selama hari-hari itu, dua anggota intel dan Buser selalu mengawasi dan menjaga rumah kami di Babakan Sari. Setelah polisi menyelidiki, mereka angkat tangan. Hasil penyadapan dan pengecekan sinyal telepon peneror, didapat lokasi tersering sinyal itu berasal dari sebuah tempat di Batujajar. Pusdikpassus.
(*)

1 comment:

Radar Tasikmlaya said...

memang benar kang mac. Resiko jadi wartawan mah demikian. Saya pun pernah diteror ku om Obar. Waktos di Galamedia tea.
Nuhun Kang salamna ka Bu Eri, ti Dadang tea alias dadang kabupaten. Ayeuna mah di radar tasikmalaya kang