IMLEK 2559. Gong Xi Fat Choi. Perayaan Sincia, atau menyambut tahun baru penanggalan Cina tahun 2008 ini jatuh pada Kamis 7 Februari. Tahun-tahun kemarin, saya masih suka mendapat kiriman dodol Cina dari beberapa teman yang merayakan Imlek. Tapi tahun ini tidak. Tak apa. Yang penting, hubungan saya dengan mereka masih terus berlanjut.
Kelompok Kungfu dan Barongsai Naga Merah bersiap untuk beratraksi di BIP.
Setiap Imlek berlangsung hingga Cap Go Meh, atau peringatan hari ke-15, sudah dipastikan kemeriahan menghampiri setiap rumah warga Tionghoa. Di Indonesia, Imlek baru dijadikan hari libur nasional tahun 2003 lalu. Tentu itu sebuah kemajuan luar biasa. Kran keterbukaan di era reformasi, memang tidak lagi mengharamkan hal-hal yang berbau Cina atau Tionghoa. Berbeda dengan di masa Orde Baru. Ketika konglomerat Cina dipelihara, tapi budaya dan hubungan interpersonal dengan masyarakat Indonesia lainnya, dikungkung luar biasa. Sehingga, terjadilah gap antara masyarakat pri dan non-pri. Itu istilah yang diciptakan Rezim Soeharto untuk membuat kita, berbeda dengan mereka.
Tapi semenjak reformasi bergulir, walau juga warga Tionghoa menjadi korban, pintu hati pembauran mulai bergerak. Dan semakin kencang. Hingga kemudian, saat Gus Dur jadi Presiden RI, aturan-aturan yang mengekang warga Tionghoa, seperti Surat Keterangan Kewarganegaraan RI, dihapuskan. Kalau dulu, warga Tionghoa harus punya nama Indonesia, sekarang sah-sah saja mereka pakai nama marga Tionghoa mereka. Tak perlu takut lagi. Puncak pengakuan itu, ya dijadikannya Imlek sebagai hari libur nasional.
Bagi saya, kebudayaan Cina atau Tionghoa sebetulnya bukanlah kebudayaan yang asing dengan lingkungan sekitar kita. Tanpa kita sadari, sebenarnya banyak hal yang setiap hari kita pakai berasal dari Negeri Tirai Bambu itu. Saya penggemar bakso dan Siomay. Teman saya doyan Cap Cay. Ada juga yang tega nelen kodok, Swike. Lalu Puyung Hay. Siapa yang tidak terpesona dengan film Crouching Tiger Hidden Dragon? Bukankah itu berasal dari negerinya Jet Lee.
Saya memandang, salah satu hal yang mempercepat meleburnya budaya Tionghoa dengan budaya lokal Indonesia, termasuk Sunda, adalah atraksi Barongsai. Bagaimana tidak, barongsai adalah permainan atau atraksi yang begitu atraktif, memikat semua orang. Saya masih ingat, saat tahun 80-an dulu, anak-anak kecil di kampung saya di Sukajaya Cimahi berduyun-duyun ke jalan besar jika ada keramaian pawai barongsai. Hanya saja, saat itu kami, para cecurut kecil ini sering ditakut-takuti orangtua. Kalau nonton barongsai, nanti malam bakal didatangi barongsai. Tak heran, kami hanya bisa menonton dari jarak yang agak jauh. Takut soalnya.
Gerakan-gerakan pemain barongsai memang memikat dan menimbulkan decak kekaguman. Mereka ringan saja meloncat dari satu tiang ke tiang lain. Atau sekali waktu, si kepala barong menjaul tinggi. Tentu gerakan dan atraksi itu mengingatkan kita pada kemahiran kungfu orang cina. Boleh jadi, saat ini jika Imlek tiba, selain angpao, yang ditunggu kehadirannnya adalah atraksi Barongsai.
Konon, dari negeri leluhurnya, Tiongkok, Barongsai ini memiliki dua aliran. Sayang, saya tidak begitu hafal nama aliran barongsay ini. Yang pasti, satu aliran berasal dari daerah Utara dan satu lagi dari daerah selatan Tiongkok. Masing-masing aliran punya ciri yang tegas. Misal, aliran selatan, gerakannya lambat namun powerfull. Seiring dengan semakin banyaknya manusia Tiongkok, maka berdiasporalah mereka ke segala penjuru dunia. Mereka pun membawa serta kesenian Barongsai ini sekaligus memudahkan perkenalan dengan budaya setempat. Spirit of Barongsai, itulah yang kini terjadi. Begitu luar biasa kekuatan orang-orang Cina di bidang apapun. Mereka terus mengejar ketinggalan dari negara Barat.
Dan sesungguhnya kita, orang Sunda, pun di sini punya semangat serupa. Bukankah barongsai tak jauh beda dengan Sisingaan, Singa Depok, Kuda Renggong dll. Hanya sayangnya, budaya itu hanya menjadi budaya lokal yang tak menjangkau kekinian. Siapa yang peduli dengan Sisingaan itu, kecuali mereka yang benar-benar dekat dan bersentuhan langsung dengan budaya itu? Susah memang.
Dari sisi individu, bagi saya tak ada salahnya, kita pinjam semangat Barongsai untuk melakukan hal yang terbaik bagi kehidupan kita. Untuk bisa meloncat tinggi, tanpa perasaan takut, para pemain barongsai itu harus jatuh bangun berlatih berulang kali. Begitu pula yang harus kita lakukan. Kita tidak atau jangan pernah merasa putus sampai impian yang kita inginkan terwujud. Itu yang menjadi inti Spirit of Barongsai. Terus berusaha dan tak pernah putus asa. (*)
No comments:
Post a Comment