LANGKAH malaikat maut tak pernah bisa ditebak, apalagi diketahui kepastiannya. Pagi hari, seseorang masih bisa tertawa lepas, sore harinya nyawa sudah tercabut dari raga. Malam hari masih segar-bugar, esok paginya terbujur kaku. Siapakah yang bisa menentukan kapan akhir hikayatnya di dunia berakhir? No one. Itu urusanku, kata Tuhan.
Pagi tadi (Sabtu 16/2), aku dengar kabar tetanggaku, H Amir Sumirat, meninggal dunia. Tiga hari koma di RS Dustira, subuh tadi sudah mencapai titik akhir. Padahal, sebelumnya Mang Amir, begitu kami para tetangga menyebutnya, sehat walafiat. Setiap pagi, aku pasti bertemu dengannya saat mengantar anakku ke sekolah. Pakaiannya khas. Berkaus oblong, kadang kaus berkerah, dan celana pendek selutut. Kadang memakai topi, sambil menyedot rokok dalam-dalam. Rabu subuh lalu, Mang Amir jatuh di kamar mandi, pingsan. Dan sejak itu, tak pernah sadarkan diri lagi, hingga akhirnya berpisah dengan dunia fana ini.
Sungguh kematian, dan juga hari kiamat, adalah rahasia yang hanya Allah SWT sendiri yang menggenggamnya. Tidak pula seorang Muhammad SAW, mengetahuinya. Nabi Muhammad mengetahui ia akan dijemput Malaikat Izrail, justru saat ia akan terbaring mendekati waktu terakhir. Memang tanda-tanda beliau akan meninggalkan ummat, terlihat sebelumnya. Saat khutbah Subuh, Rasulullah menyampaikan wasiat singkat: “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertaqwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua perkara pada kalian, Al Qur’an dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan masuk surga bersama-sama aku".
Dan setelah itu, Rasullullah jatuh sakit, hingga ia tidak ikut salat subuh berjamah hari berikutnya. Ketika beliau berbaring lemah ditemani cahaya hatinya, Fatimah Azzahra, tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?” “Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah. Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut roh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti rohmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril.
Tapi itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” Tanya Jibril lagi. “Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan kuatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan roh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.” Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat Penghantar Wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, kerana sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat rasa maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan-akan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinganya, “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku” - “Peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan, “Ummatii, ummatii, ummatiii” - “Umatku, umatku, umatku…” Dan, berakhirlah hidup manusia mulia itu.
Sungguh proses kematian yang begitu indah. Di saat ajal menjelang, masih mengingat nasib ummatnya. Apakah kita layak atau akan seperti itu saat meregang ajal? Sudah siapkah kita menemui kedahsyatan malaikat maut. Hanya satu hal yang harus terus terngiang di kepala: Ingatkan Aku tentang Mati. Supaya aku ingat, setiap makhluk itu pasti berakhir dan mengalami mati. Jangan sampai terjerembab, ke dalam golongan manusia yang cinta dunia, dan takut akan mati. Merasa diri akan hidup selamanya. Padahal, esok lusa pun aku tak tahu, masih bernafas atau tidak. (*)
No comments:
Post a Comment