SEJAK awal membangun rumah, saya sudah merencanakan untuk membuat lubang biopori di lahan tanah yang tersisa. Bagi saya, biopori adalah solusi untuk lahan sempit. Seharusnya, seperti disarankan dalam IMB dalam setiap pembangunan rumah, ada lahan yang dialokasikan untuk ruang hijau dan sumur serapan. Berhubung lahan rumah kecil, hampir seluruh tanah itu terisi bangunan. Dan lubang biopori itulah yang jadi solusi tepat.
Saya mesti berdebat dulu untuk membuat biopori ini. Memang tidak mudah mengenalkan, mengajarkan, dan memahamkan sesuatu yang baru. Orangtua kan inginnya mudah saja. Tak perlu susah-susah bikin lubang segala, sudah saja semua lahan disemen. Saya jelaskan, bahwa tanah yang disemen tidak akan mungkin menyerap air hujan. Padahal, air hujan itulah yang menjadi sumber dari sumur-sumur di rumah. Jika tidak ada lagi air hujan yang terserap dan tertampung, jangan menyalahkan jika dalam waktu 5-10 tahun, akan kesulitan mencari air. Sekarang saja, dengan berdirinya bangunan kos=kosan baru di sekitar rumah, sudah mulai terasa sulit mencari air. Apalagi kalau di musim kemarau. Sumur di rumah kering. Akhirnya harus minta air dari rumah kakak di sebelah.
Apa sih biopori itu? Definisi jelasnya sih saya juga tidak tahu. Hanya definisi secara awam, biopori itu adalah lubang-lubang dalam tanah untuk mempermudah masuknya aliran air. Pencetusnya adalah dosen IPB, Kamir R Brata. Dia pula yang membuat alat pengebor khusus yang memudahkan untuk membuat lubang biopori.
Tujuan pembuatan lubang biopori ini sama dengan sumur resapan, yaitu menyimpan air. Air hujan yang turun dari talang tidak terbuang percuma ke selokan, tapi menyerap ke dalam tanah. Manfaat lain, lubang biopori ini bisa menghasilkan pupuk kompos, karena lubang-lubang itu diisi sampah-sampah organik. Karena pembusukan oleh organisma di dalam tanah, sampah organik pun jadi pupuk.
Lahan yang saya manfaatkan untuk membuat biopori adalah gang sempit di antara rumah baru dan rumah warung. Dua minggu lalu, bapak sudah membeli paving block dan pasir batu untuk alas gang sempit itu. Nah sebelum dipasangi paving block, harus dibuat dulu lubang-lubang biopori. Akhirnya dibuatlah tiga lubang biopori di lorong kecil itu.
Karena tidak punya alat khusus pengebor, linggislah yang berbicara dan menyelesaikan pembuatan lubang sedalam 1 meter dengan diameter 10 cm. Setelah itu, barulah paving block dipasang. Jadinya, gang itu lebih rapi, tidak becek lagi. Mulut lubang pun dipasangi paralon sekitar 10-20 cm. Karena belum beli penutup paralon, untuk sementara lubang paralon ditutupi tutup kaleng susu.
Langkah selanjutnya setelah lubang tersedia adalah mengisinya dengan sampah organik. Ini yang agak sulit. Maksudnya, saya mesti memberikan pemahaman dan penyadaran pada orang-orang di rumah untuk mulai membiasakan memisahkan sampah organik dan anorganik. Plastik, kertas, benda yang tak bisa hancur, harus disimpan di tempat khusus. Begitu pula daun, kulit pisang, bekas potongan sayur, nasi, ditempatkan di wadah berbeda. Pemisahan ini untuk memudahkan dan meringkan beban tukang sampah. Saya tes, dalam dua hari, sampah organik yang terkumpul sebanyak 2 kantung keresek. Artinya, berkuranglah jumlah sampah sebanyak dua keresek dan itu masuk ke lubang biopori. Dalam satu bulan berarti saya bisa mengurangi jumlah sampah 30 kantung keresek. Lumayan bukan?
Jika lubang biopori sudah penuh sampah, biarkan saja dia membusuk dengan sendirinya. Satu bulan lagi, sampah itu akan jadi kompos. Tinggal memanfaatkannya untuk pupuk tanaman dan bunga-bunga di depan rumah. Jika manfaatnya sudah terlihat, giliran saya untuk menularkan pengetahuan ini pada para tetangga.(*)
2 comments:
salut dengan ide-nya
Mas saya ada rencana bikin biopori di halaman rumah. Namun saya mau tanya dulu, paralon yang dipasang ke dalamnya berapa meter?apa satu meter juga? kalo cuma 30 or 40 cm gmn? dan satu lagi, gmn cara ambil kompos yang sudah jadi di bioporinya? makasih mas atas sharingnya, ditunggu jawabannya.
Post a Comment