SELAMA ini kita sering mendengar ungkapan bahwa mahasiswa atau pemuda adalah agent of change, agen perubahan. Mengapa mahasiswa, mengapa pemuda? Mungkin yang menjadi alasan utama adalah mereka kelompok muda yang progresif, produktif, berpikiran maju dalam artian melek keilmuan, dan memiliki semangat serta tenaga yang masih fresh. Dengan kapabilitas itulah, mahasiswa menggulirkan isu-isu perubahan. Mereka bisa berdemonstrasi di jalanan dengan penuh semangat.
Tapi perubahan yang dilakukan mahasiswa pemuda hanyalah perubahan elite politik, hanya perguliran kekuasaan dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Perubahan itu tak merambah pada akar rumput, tak mengubah masyarakat secara fundamental, apalagi mentalitas bangsa ini.
Saya tidak apriori dengan reformasi, toh saya pun ikut dalam arus besar itu. Hanya saja perubahan yang terjadi tak mampu mengangkat masyarakat ini pada kondisi yang lebih baik. Sehingga yang muncul adalah impian-impian dari masyarakat untuk kembali ke masa rezim lama yang katanya segala sesuatunya lebih murah, lebih damai, dan nyaman. Ini yang berbahaya, perubahan yang terjadi bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi menatap masa depan.
Saya lebih sepakat, sesungguhnya ujung tombak perubahan adalah sebuah keluarga. Dialah yang menjadi inti dari masyarakat dan berada di dalam masyarakat itu sendiri. Mahasiswa saat ini seperti mercu suara, berada di menara gading, tak menapak pada realita. Jika benar mahasiswa mampu mengubah masyarakat, seharusnya program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang sudah berlangsung puluhan tahun mampu membawa masyarakat pada sebuah titi kesejahteraan, perubahan paradigma, dan sebagainya. Tapi kenyataannya tidak demikian. KKN hanya program perjumpaan sesaat, basa basi, mahasiswa agar bisa disebut merakyat.
Keluargalah yang bisa menjadi pelopor dan penggerak perubahaan itu. Dimulai dari keluarga inti, melebar ke kiri dan ke kanan baik itu kerabat ataupun tetangga, Lalu menyebar ke kelompok yang lebih besar, lebih besar, dan lebih besar, sehingga perubahaan itu akan berupa bola salju yang digelindingkan dari puncak gunung. Semula sebutir kerikil yang lama kelamaan jadi bola raksasa perubahan.
Pertanyaannya, bagaimana kemudian menjadikan keluarga ini sebagai keluarga perubahan, keluarga motivator, keluarga yang mampu menyuarakan perbaikan bagi keluarga sendiri dan lingkungannya? Itu semua kembali pada niatan untuk menata hidup lebih baik. Jika keluarga itu kompak berbuat sesuatu kemaslahatan bagi ummat, dia akan menjadi teladan bagi keluarga yang lain.
Saya sendiri tak merasa sudah melakukan perubahan untuk bangsa ini lewat keluarga. Hanya prinsip mulailah dari yang kecil, dari diri sendiri, dan dari yang kecil, itulah yang saya pegang. Jika perubahan itu dimulai dari keluarga, maka keluargalah yang harus saya ubah agar menjadi teladan bagi kerabat dan tetangga lainnya.
Saya mengajarkan pada anak dan istri untuk selalu memerhatikan orang-orang tak mampu. Ini bukan ingin menyombongkan atau riya. Saya hanya ingin mencontohkan bahwa keluarga bisa menjadi contoh perubahaan. Setiap bulan kami selalu menyisihkan sebagian pendapatan untuk diberikan kepada beberapa keluarga tak mampu, baik itu janda, orang miskin, tak punya pekerjaan, ataupun yang sakit dan panti asuhan. Ajarkan pada anak dan istri untuk selalu peduli pada sekitarnya. Niscaya orang lain pun akan memandang serupa.
Saya mengajarkan pula pada anak dan istri untuk membiasakan menabung dan merencanakan segala sesuatu jauh sebelumnya. Menabung adalah hal sepele. Tapi jika diajarkan sejak dini, anak tak perlu lagi dipaksa untuk berhemat. Berhemat bukanlah kikir bin pelit. Berhemat itu mengeluarkan uang sesuai dengan proporsinya. Jika sesuatu barang tak perlu tergesa-gesa dibeli, mengapa pula dibeli? Belilah barang-barang yang memang kita butuhkan, bukan kita inginkan.
Soal lingkungan pun tak luput saya pahamkan pada keluarga. Mulailah mengurangi volume sampah sejak dari rumah. Dengan pembuatan lubang biopori, ada media atau wadah untuk menyimpan sampah-sampah organik rumah tangga. Dan bisa menghasilkan pula. Memahamkan pentingnya pemisahan sampah itu harus diajarkan pada keluarga, karena sampah adalah musuh keluarga, musuh lingkungan, musuh bersama. Jika tak ditangani sejak sekarang, bukan mustahil bencana longsor sampah seperti terjadi di TPA Leuwigajah akan terus terjadi. Selain itu, mengurangi sampah sejak dari rumah juga meringankan beban tukang sampah. Jika bola salju biopori dan pemisahan sampah organik ini menyebar, manfaatnya akan sangat dirasakan kita semua.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk perubahan dan itu bermula dari keluarga. Sosok ibu punya peran sentral untuk mengajarkan sendi-sendi perubahan itu. Bagaimanapun seorang ibu adalah pilar peradaban. Jika dia tidak mampu menggulirkan perubahan, niscaya peradaban bangsa ini akan jalan di tempat sampai kapanpun juga. Mulai dari sekarang, dari hal kecil, dan dari diri sendiri.(*)
1 comment:
setuju mas.. apalagi kalau kita punya 10 ibu saja yang seperti hafsah binti abu bakar, niscaya kebangkitan akan muadah digapai. :)
Post a Comment