Thursday, February 05, 2009

Tirani dan Anarki

KETIKA penguasa bertindak sewenang-wenang, akan lahir tirani. Dan ketika aksi rakyat menjadi liar dan brutal tak terkendali, muncullah anarki. Dua kejadian di tempat berbeda memunculkan fenomena yang sama: kekerasan.

Demo ribuan pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli berakhir rusuh. Pendemo mengobrak-abrik isi ruang rapat paripurna. Tak hanya itu, Ketua DPRD Sumatra Utara Abdul Aziz Angkat menjadi korban pemukulan dan akhirnya meninggal dunia karena penyakit jantung.

Di Pakenjeng, Kabupaten Garut, seorang oknum anggota polisi setempat memeragakan laku seorang tiran. Dengan kekuasaan, pangkat, dan jabatannya, ia menggebrak Ucu, sopir truk. Gara-garanya, truk Ucu yang tengah memuntahkan muatan pasir dianggap menghalangi jalan. Tak hanya itu, kabarnya oknum petugas itu sempat mengeluarkan pistol. Tindakan itu rupanya membuat kaget jantung Ucu sehingga tak kuat lagi berdetak. Ucu pingsan dan akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan ke puskesmas.

Jika aparat mengagung-agungkan jabatan, pangkat, dan kekuasaan, maka tindakannya tidak akan pernah berbuah pelayanan yang ikhlas kepada rakyat. Gerak pengabdiannya bukan lagi untuk kemaslahatan umat. Tapi semata demi memuaskan syahwat kuasa.

Aparat semacam itu tak lebih dari Louis XIV yang berseru: L'Etat c'est moi, negara adalah saya. Dengan segenap kekuasan di tangannya, kekerasan demi kekerasan adalah kebenaran.

Dan rakyat yang mengatasnamakan demokrasi, kebebasan untuk bersuara, namun berlaku anarkis dan tak mengindahkan nilai-nilai demokrasi, sesungguhnya adalah tiran berjubah humanis.

Kekuasaan bukanlah untuk menakut-nakuti wong cilik dan demokrasi bukanlah alat untuk menghakimi. Kita akan merasa ngeri bila aparat dan massa pamer kekuatan tanpa rasio.
Apa jadinya negeri ini bila aparat dan rakyat bermental seperti despot? Hanya kekerasan demi kekerasan yang akan mengular ke tengah masyarakat dan menghancurkan perjalanan bangsa ini.

Tidak ada pembenaran atas nama apa pun terhadap tindakan para pelaku. Demonstrasi adalah keniscayaan demokrasi, tapi tentu tak perlu dengan jalan anarki. Masih banyak jalan yang bisa ditempuh untuk menemukan solusi sebuah persoalan.

Sungguh suatu pelajaran yang sangat berharga dari kejadian di Medan dan Garut ini. Berlaku santun dalam menyampaikan pendapat, sabar dalam menjalankan tugas, tidak akan membuat harga diri jatuh.

Justru di situlah nilai seseorang berada. Ketika mempunyai kuasa dan mampu untuk memperbudak seseorang, ia tidak melakukannya. Begitu juga, ketika seseorang mampu membuat kerusakan, tapi ia bisa meredamnya, itulah nilai tertinggi yang diperoleh. Seperti halnya yang diteladankan Ali bin Abi Thalib tatkala musuh yang tak berdaya meludahi wajahnya. Dia tak jadi membunuh musuh itu. Ali berperang bukan karena nafsu diludahi, tapi semata karena Allah SWT. Itulah nilai kemuliaan sejati.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 5 Februari 2009.

1 comment:

Anonymous said...

Memang seringkali kekuasaan disalagunakan untuk menindas yang lemah. Ini seperti hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang.