Friday, February 27, 2009

Melawan Kelaziman

TRANSPARENCY International Indonesia (TII) menilai suap dan korupsi sudah menjadi kelaziman dalam mengurus berbagai perizinan terutama di birokrasi Kota Bandung. Hal itu didasarkan pada survei Indeks Persepsi Korupsi TII di puluhan kota di Indonesia tahun lalu. Hasilnya menempatkan Kota Bandung di urutan nomor delapan terburuk.
Sungguh mengkhawatirkan apabila korupsi menjadi sebuah kelaziman.

Patut diapresiasi langkah yang ditempuh Pemkot Bandung melalui Pakta Integritas. Pakta ini berupa komitmen yang dibangun pemerintah daerah, termasuk Pemkot Bandung, bahwa korupsi haram hukumnya dan para pejabat pemerintahan tak akan pernah tergoda lambaian uang yang bukan haknya dan diperoleh secara batil.

Tapi komitmen tak cukup sekadar komitmen. Para pejabat berikut staf-staf bawahannya harus memperlihatkan secara nyata pelaksanaan dari komitmen itu. Indikator keberhasilan komitmen itu mudah saja. Jika tidak terdengar lagi keluhan soal pungli di pasar, perparkiran, pembuatan KTP, KK, membuat IMB, izin usaha, dan sebagainya, maka itulah keberhasilan pakta integritas.

Di sisi lain, masyarakat pun harus pula ikut melawan kelaziman ini. Jika selama ini lazim memberikan uang atas nama apapun: uang lelah, uang jalan, uang administrasi, uang rokok, uang fotokopi, uang suap, dan uang-uang lainnya, baik diminta maupun tidak, kepada para penyelenggara pemerintahan dan layanan publik, mulai saat ini harus dihentikan. Kebiasan memberi itulah yang sesungguhnya menjadi cikal bakal suap dan korupsi itu berlangsung.

Masyarakat jangan pernah memberi peluang terjadinya kelaziman-kelaziman itu. Aparatur negara sebagai abdi masyarakat memang bertugas untuk membantu masyarakat dalam hal layanan publik. Karena itu jangan pernah merasa sungkan, jika tidak memberi uang lelah kepada petugas. Bayaran untuk keringat mereka sudah ditanggung oleh negara.

Hal sama berlaku untuk para jurnalis yang bekerja di media massa. Sudah menjadi pengetahuan umum instansi pemerintahan dan BUMN, humas, public relation, panitia penyelenggaran kegiatan, sering menyediakan amplop dana khusus untuk wartawan. Mereka beralasan amplop itu sebagai uang bensin, bukan sebagai bentuk suap agar berita dimuat. Padahal memang sudah tugas jurnalis untuk mencari berita, dan tanpa diminta dan diberi uang pun apabila berita itu menarik pasti diburu. Berani menolak amplop dan sekaligus menyampaikan kepada pihak pemberi, bahwa kelaziman seperti itu harus dihentikan.

Sejarah nusantara pernah mencatat, Kerajaan Kalingga atau Kaling atau Keling dikenal sebagai kerajaan yang rakyatnya tak pernah mencuri. Itu semua karena Sang Ratu Shima yang berlaku adil dan menerapkan hukuman berat berupa potong tangan, bagi para pencuri, penyuap, atau koruptor. Utusan dari negeri Tiongkok pernah mencoba membuktikan hal itu. Mereka menyimpan pundi-pundi berisi koin emas di tengah jalan. Ternyata selama tiga tahun koin-koin itu tetap utuh, tak berkurang, ataupun berpindah tempat. Ketika putra mahkota yang melewati jalan itu tanpa sengaja kakinya menyentuh pundi-pundi uang itu, tanpa ampun Ratu Shima menjatuhkan hukuman potong kaki. Hanya karena permohonan dari pejabat kerajaan, hukuman itu bisa diperingan.

Merdeka dari korupsi, merdeka dari amplop, merdeka dari kebiasaan- kebiasaan suap menyuap harus menjadi gerakan kita bersama. Melawan kelaziman korupsi seperti ini memang berat, tapi tetap harus ada yang bergerak. Lawan terus suap dan korupsi!.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 27 Februari 2009.

No comments: