INI zaman serba kapital, Bung. Serba materi. Semua dinilai dari uang. Tak ada uang, tak ada harga. Tak ada uang, tak ada pelayanan. Persis seperti ungkapan dalam bahasa Melayu: Ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang.
Ironis memang. Di tengah semangat pemerintah untuk menggratiskan pendidikan, saat ini baru pendidikan dasar dan menengah, justru biaya pendidikan tinggi semakin melangit.
Status Badan Hukum Milik Nasional (BHMN) yang disandang perguruan tinggi negeri kian menguatkan bahwa kapital lah yang berkuasa. Jangan bermimpi anak pinggiran berprestasi yang memiliki orang tua berpenghasilan pas-pasan bisa masuk ke fakultas-fakultas favorit, seperti kedokteran.
Tengok di Universitas Padjadjaran Bandung. Lewat jalur normal saja, yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), sudah sulit masuk ke fakultas favorit itu. Karena pesaingnya luar biasa. Satu kursi bisa diperebutkan oleh seribu orang, bahkan lebih dari itu.
Tapi lewat jalur seleksi mandiri, persaingannya tak seketat itu. Siapa yang punya uang berlebih, sangat mungkin bisa kuliah di fakultas kedokteran. Siapkan saja uang sebesar Rp 175 juta, berikut biaya tambahan lain, sudah bisa menjadi mahasiswa kedokteran.
Tak hanya kedokteran, jurusan lainnya pun mematok sejumlah uang sebagai syarat utama. Fakultas kedokteran gigi mematok dana pengembangan Rp 60 juta. Jurusan yang bukan favorit pun, seperti Biologi memasang tarif Rp 10 juta.
Jumlah mahasiswa yang diterima dari jalur seleksi mandiri dan seleksi nasional nyaris sebanding. Sangat mungkin di tahun-tahun mendatang, jumlahnya akan semakin timpang. Mahasiswa berduit akan semakin banyak jumlahnya, sementara mahasiswa dari jalur seleksi nasional semakin menyusut.
Tak hanya Unpad, universitas dan institut negeri lainnya pun melakukan hal yang sama. Karena ini era kapitalisasi dunia pendidikan. Tujuannya agar institusi pendidikan ini bisa bersaing secara global dengan institusi serupa di luar negeri.
Untuk menjadi universitas global, universitas dunia, tentu butuh dana. Itu yang menjadi argumentasi utama. Dan sumber dana itu tidak bisa menyandarkan pada pemerintah. Walhasil, dari kantung-kantung mahasiswa berduitlah dana itu diperoleh.
Apakah besarnya kapital akan berbanding lurus dengan kualitas? Belum tentu dan tidak ada jaminan. Ini sebetulnya yang harus dipahami pula oleh pengelola pendidikan tinggi. Bahwa ada hak bagi anak-anak tak mampu untuk bisa menikmati bersekolah di sekolah unggulan. Itu kalau kita mengidentikkan sekolah berbiaya mahal sebagai sekolah unggulan. Selamat datang di dunia kapital.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 15 Januari 2009.
1 comment:
Yang serba kapital itu sering tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan. Semuanya dinilai dari uang dan sistem untung rugi.
Saatnya untuk berubah.
Post a Comment