POLITIK adalah dunia intrik, begitu pandangan umum mendefinisikan. Pandangan itu tentu tidak salah, karena masyarakat melihat berdasarkan pengalaman, seperti itulah dunia politik.
Jargon terkenal dalam dunia politik adalah tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Bisa jadi hari ini, si A dan si B adalah kawan senasib sepenanggungan, berjuang habis-habisan, untuk meraih cita-cita bersama. Tapi jangan salah, besok lusa si A dan si B akan saling berhadapan, saling menumbangkan, untuk meraih kepentingan yang lain lagi.
Contoh paling mudah adalah pemilihan gubernur Jabar kemarin. Bukankah Danny Setiawan dan Nu'man A Hakim adalah dua sekawan yang bahu-membahu membangun Jabar lima tahun terakhir? Tapi keduanya harus berhadapan saat pemilihan berikutnya, tentu dengan tujuan dan kepentingan yang tidak sama lagi dengan sebelumnya.
Yang lebih gres lagi adalah pasangan pemenang Pilgub Jabar, Ahmad Heryawan-Dede Yusuf. Mereka begitu solid pada pemilihan kemarin. Tapi sangat mungkin dua pemimpin muda ini pun "berpisah".
Kemarin, Gubernur Jabar terpilih, Ahmad Heryawan, bersilaturahmi dengan kader dan saksi dari PKS, di Parongpong. Heryawan pun bersua dengan pasangan calon bupati dan wakil bupati, Agus Yasmin dan Haris Yuliana, yang diusung Partai Golkar dan PKS. Di tempat terpisah, wakil gubernur Jabar terpilih, Dede Yusuf, juga bertemu dengan pasangan Abubakar-Ernawan yang didukung PDIP dan Koalisi Partai Islam Bandung Barat Bersatu (Kibbar) dan PAN termasuk di dalamnya.
Bagaimanapun kemenangan Hade yang begitu fenomenal akan dimanfaatkan partai-partai yang bakal bertarung pada Pilkada Kabupaten Bandung Barat, Mei mendatang. Sangat mungkin, kubu Partai Golkar-PKS dan Kibbar-PDIP akan menarik dua tokoh muda itu ke pusaran perebutan kursi bupati sebagai vote getter.
Di sinilah menariknya, Pilkada KBB akan menjadi pertarungan sekaligus pertaruhan antara efektivitas mesin politik dan popularitas. Mesin politik adalah cerminan soliditas PKS, sementara popularitas adalah cerminan Dede Yusuf. Akankah keduanya turun gelanggang kembali untuk memenangkan calon yang diusung partai masing-masing, kita tinggal melihat saja.
Bayangkan, sebelum dilantik saja, dua pemimpin Jabar itu sudah harus bertempur untuk kepentingan partai. Kalau saja ada pemikiran dan pertimbangan yang lebih bijaksana, lebih baik mereka tidak turun panggung turut dalam kampanye Pemilihan Bupati KBB. Benar, bahwa mereka belum dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur Jabar, yang menjadi alasan mereka untuk kampanye di Pilbup. Tapi pandangan masyarakat, dan penetapan KPU Jabar, sudah menahbiskan mereka sebagai Gubernur dan Wagub Jabar terpilih. Artinya, mereka sudah menjadi milik umat, masyakarat Jabar secara keseluruhan, bukan hanya milik umat PKS atau PAN.
Jadi sesungguhnya, dalam politik, kepentingan yang bisa merekatkan dua orang atau lebih, atau dua partai atau lebih, adalah kursi kekuasaan. Ketika kekuasaan sudah menjadi tujuan, dan ada kesepahaman untuk meraihnya, seorang lawan bisa berbalik menjadi kawan, atau sebaliknya, kawan bisa menjadi lawan.
Persoalannya, kalau hal seperti ini tidak dikelola dengan baik, dalam artian, tidak ada pendidikan politik yang bisa diterima secara mudah oleh logika awam, bisa membuat bingung masyarakat. Kemarin kok bersatu padu, sekarang malah berbeda, mungkin begitu gerundel masyarakat.
Hal semacam ini tidak akan dijumpai di Amerika Serikat, karena mereka hanya mengenal dua partai, yaitu Republik dan Demokrat. Di pemilihan tingkat manapun, mulai wali kota/bupati hingga presiden, partai yang bertarung hanya dua.
Semoga saja, bukan kebingungan yang didapat masyarakat dengan proses Pilkada ini. Tapi justru kesejahteraan yang menjadi tujuan bersama semua pihak. (*)
* Sorot, dimuat di Tribun Jabar, Senin 28 April 2008.
No comments:
Post a Comment