PERINGATAN Seabad Kebangkitan Nasional, disambut dengan demonstrasi antikenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah kota di tanah air. Hari bersejarah yang seharusnya bisa membanggakan bangsa Indonesia itu memang lebih banyak dihiasi hari- hari muram dan kelam.
Tak lama lagi, harga BBM akan naik, begitu pula harga barang kebutuhan pokok pun mulai merayap mengiringi. Minyak tanah langka, jumlah warga miskin meningkat, antrean panjang warga membeli gas, atau kerumunan warga miskin menanti bantuan tunai langsung (BLT). Realitas itu yang terjadi di masyarakat saat ini. Belum lagi kalau bicara soal moralitas bangsa yang juga amburadul. Kondisi seperti inilah yang membuat Amien Rais berani menyebut pemerintahan dan bangsa ini sudah broken, bangkrut.
Tapi apa yang ditunjukkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla beserta pejabat tinggi negara lainnya untuk memeringati 100 Tahun Kebangkitan Nasional itu tidaklah mencerminkan sebuah keprihatinan terhadap kebangkrutan negeri ini. Di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Selasa (20/5) malam, SBY menonton sebuah pergelaran megah dan kolosal, melibatkan puluhan ribu orang dengan biaya, konon mencapai belasan miliar rupiah. Di penghujung acara, SBY menyampaikan pidato dan menyerukan slogan Indonesia Bisa. Teriakan "Indonesia" oleh SBY, disambut teriakan "Bisa" oleh ribuan peserta pergelaran megah itu.
Di malam yang sama, namun tempat berbeda, Slank, band papan atas asal Gang Potlot Jakarta, menggelar konser tunggal, juga untuk memeringati Hari Kebangkitan Nasional. Simak apa yang Kaka, vokalis Slank, deklarasikan di tengah-tengah konser. Kaka menyerukan belasan poin deklarasi ala Slank yang diikuti secara serempak ribuan Slanker, penggemar setia band Slank. Seruan Slank itu antara lain hidup sederhana, tidak korupsi, hidup merdeka, jaga solidaritas, eratkan persahabatan, berjiwa sosial, kritis, mandiri dan menjadi diri sendiri. Sebuah seruan yang lebih membumi, ketimbang Indonesia Bisa yang serba absurd. Bahasa yang dipakai Kaka lebih tajam, menukik, menohok, siapapun orang Indonesia yang masih memiliki jiwa keindonesiaan.
Bukan zamannya lagi menunjukkan Indonesia itu besar, bangsa yang berdaya, dengan seremonial megah. Ibarat mercu suar, hanya diterangi adalah tempat-tempat yang jauh, sementara di dekat mercu suar sendiri dilingkupi kegelapan. Yang rakyat butuhkan, bukanlah tontonan kemegahan, tapi bagaimana mendapatkan papan, sandang, dan papan, yang murah. Tak lebih.
Sejatinya, seruan Slank lah yang harus menjadi pedoman dan karakter rakyat Indonesia. Rakyat yang sederhana, antikorupsi, dan mandiri, bukan menjadi rakyat yang absurd. Jika itu yang dilakoni, sebagai sebuah bangsa besar, kita masih memiliki peluang dan harapan untuk benar-benar besar dan maju. Optimisme dan kepercayaan pada diri sendiri harus itu tetap dijaga. Dan harapan itu selalu ada, walau terlihat sulit. Tinggal bagaimana kita menggerakkan seluruh potensi yang ada untuk membangkitkan kembali bangsa ini dan berdiri di atas kaki sendiri. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar, Kamis 22 Mei 2008.
No comments:
Post a Comment