RAMADAN memang bulan penuh hikmah. Sudah banyak ulama, dai, orang biasa, yang bilang seperti itu. Tapi pernahkah terpikir oleh kita apa hikmah yang pernah diperoleh saat Ramadan? Atau karena puasa kita lempeng-lempeng saja hikmah itu tidak pernah terasakan oleh hati yang kian hari kian membatu ini?
Bagi saya pribadi, sungguh tak terperikan berapa banyak hikmah yang bisa saya nikmati. Satu contoh kecil saja, saat Ramadan saya jadi rajin bangun lebih pagi. Lalu salat Subuh berjemaah. Apalagi kalau salatnya bersama istri, fungsi saya sebagai Al Imam di rumah, seperti berjalan. Karena, lagi-lagi karena kesibukan saya dan Bu Eri, kami jarang bisa berkumpul lama, apalagi salat berjemaah di hari-hari biasa. Nah, sekarang Subuh bisa berjemaah, bukankah itu salah satu hikmah Ramadan yang membuat kita bisa berbeda dibanding bulan sebelumnya?
Di luar Ramadan, saya rasakan sulit untuk salat Subuh berjemaah. Pulang dari kantor lewat tengah malam. Kecapean, tidur pulas. Subuh tidak kesiangan pun sudah Alhamdulillah. Tapi saat bulan puasa ini, saya kembali dilatih untuk biasa bangun "wayah janari" atau dini hari, sesuatu hal yang sebetulnya biasa saya lakoni sebelum saya menjadi wartawan, enam tahun lalu.
Saya renungkan, memang ada perubahan dalam hal laku ibadah sejak terjun jadi jurnalis. Saya jarang salat tahajud lagi!!!. Kelelahan fisik yang mendera setelah seharian meliput dan bertugas, membuat saya sulit untuk bangun jam 2 atau 3 dini hari. Dan saya pun mulai jauh dari majelis taklim, mesjid, dll. Sudah sangat jarang, bahkan bisa dibilang tidak pernah lagi, saya mengikuti majelis taklim di manapun.
Saya hanya merasa beruntung, pernah bertugas meliput di desk kota, khususnya bidang keagamaan. Jadi itulah satu-satunya cara bagi saya untuk bisa hadir di majelis taklim sambil meliput acara. Ya, macam-macam majelis taklim. Mulai Daarut Tauhiid Gegerkalong, Pusdai, Mesjid Agung Bandung, dan lain-lain. Atau acara-acara seminar keislaman yang digelar ormas-ormas Islam, seperti MUI, FUUI, dan ICMI.
Sejak enam tahun lalu pula, saya tidak pernah lagi merasakan salat tarawih berjemaah di mesjid-mesjid. Dulu, saat masih mahasiswa, saya punya kebiasaan di saat Ramadan. Keliling mesjid di kota Bandung untuk tarawih. Malam pertama di Mesjid Agung, besoknya bisa di Mesjid STT Tekstil Cicadas, esoknya lagi di Mesjid Ibnu Sina Unpad Jatinangor, dan seterusnya.
Tak heran, teman-teman saya menggelari saya "Si Hikayat Pengembara". Kemana-mana bawa kantong ajaib, berisi peralatan mandi dan baju. Tidur dari mesjid ke mesjid atau dari satu kosan teman ke kosan teman yang lain. He he kasihan sekali yah. Tapi saya merindukan itu...
Sekarang, kalau mau tarawih, saya lakukan di musala kecil di kantor. Itu biasanya sebelum pulang ke rumah. Karena kalau sudah sampai di rumah, malasnya minta ampun. Pasti inginnya langsung tidur. Pernah beberapa kali, karena harus pulang agak cepat, sekitar jam 10.00 malam, saya tarawih di rumah.
Inginnya, setiap salat fardhu bisa melakukannya secara berjemaah di rumah atau di mesjid. Memang di kantor pun, kalau setiap salat, rata-rata berjemaah juga. Namun saya punya pemikiran, ada hal lain yang bisa dipetik saat salat berjemaah dengan keluarga. Kita bisa memberikan sedikit pengetahuan, pencerahan, belajar mengaji, usai salat.
Tentu masih banyak hikmah lain yang belum tersingkap yang saya atau kita dapatkan saat Ramadan ini. Ramadan tinggal 13 hari lagi. Semoga saja kita bisa menikmati Lailatul Qadar dan mendapatkan kemuliaan berdekatan dengan Allah SWT, saat itu. Amin. (*)
1 comment:
He he he...
Sigana dongeng wartawan hampir sararua Mac.
Pantesan aya dongeng koran surga dan koran naraka.
Cenah engke di yaumul akhir, para penghuni surga dan neraka berembuk untuk saling menceritakan keadaan wilayahnya masing-masing. Maksudna biar penghuni surga lebih bersyukur mun nyaho kaayaan naraka dan penghuni naraka akan rada ringan menghadapi siksa ketika diberi kabar indahnya kondisi surga. Nah, disepakati koran akan terbit tiap jumat bergiliran karena konon siksa neraka berhenti di hari Jumat.
Jumat pertama korban naraka beredar di surga, jumat kedua orang nereka menunggu koran surga namun tak jua muncul, jumat ketiga kembali koran neraka muncul di surga, begitu seterusnya koran surga tak pernah beredar di neraka.
Karena kesal orang neraka akhirnya nyuratan ke surga mempertanyakan kesepakatan awal soal peredaran koran surga yang tidak pernah muncul di neraka.
dan jawaban surat yang muncul ti orang surga "Hapunten pisan, di surga teu aya wartawan janten teu tiasa ngintun koran"
Tapi kalem Mac, Alloh selalu memberi jalan untuk hambanya yang ingin kembali.
Saya ge keur diajar balik deui hampir setengah taun ieu dan so far so good, mudah-mudahan bisa saterusna, yu urang silih doakeun. Amien.
suhe
Post a Comment