SABTU, 8 September 2007. Ini hari bersejarah bagi warga Kota Cimahi. Karena di hari inilah, untuk pertama kalinya warga Kota cimahi bisa memilih Walikota secara langsung. Saat Cimahi jadi kota tahun 2001 lalu, walikota masih dipilih oleh DPRD.
Ada tiga pasangan calon yang berlaga di Pilkada Kota Cimahi ini. Nomor satu, Itoc Tochija dan Eddy Rahmat. Itoc adalah Walikota incumbent. Sementara Eddy adalah kader PDIP dan Ketua PHRI Bandung. Selain Partai Golkar dan PDIP, mereka ini juga didukung oleh PKB, PBB, dan partai-partai kecil.
Calon nomor dua adalah H Achmad Pawennei dan HM Syambas. Pawennei adalah pensiunan TNI AU dan sekarang ini jadi pengusaha, pemilik MBT. Sementara Syambas adalah mantan Kakandepag Cimahi dan sudah pensiun. Mereka diusung PPP dan Partai Demokrat.
Terakhir, pasangan H Iwa Karniwa dan Hj Diah Nurwitasari. Iwa adalah mantan Kepala Dispenda dan Bawasda Kota Cimahi, sedangkan Diah adalah kader PKS yang menjadi anggota DPRD Provinsi Jabar. Tentu dua orang ini didukung penuh PKS.
13 hari mereka berkampanye. Beragam janji mereka sampaikan kepada warga Cimahi. Stadion Sangkuriang, Lapangan Poral, Lapang Cibaligo, Gedung Serbaguna HMS Melong, adalah beberapa ruang yang menjadi arena kampanye ketiga pasangan ini.
Lantas apa kaitan Pilkada ini dengan keluarga saya? Tentu banyak kaitannya. Bagi saya, pilkada itu memecah belah keluarga. Memang begitu. Saya paparkan dulu bagaimana peta politik di keluarga saya, khususnya di Cihanjuang.
Secara tradisi sejak zaman Orba, keluarga Cihanjuang adalah pendukung utama PPP. Itu tentu karena unsur Nahdlatul Ulama melebur di PPP. Saya masih ingat saat Pemilu tahun 1982, saya yang waktu itu baru kelas 2 SD, ikut kampanye PPP bersama keluarga ke Cililin dan Soreang. Waktu itu juru Kampanye PPP adalah Rhoma Irama.
Namun setelah muncul PKB yang dibidani kiai-kiai Langitan, sebagian besar keluarga berpaling ke PKB. Memang masih ada yang PPP, atau juga Golkar, karena status mereka sebagai guru. Tapi tidak banyak. Ketika muncul pula PKS, sebagian berpaling juga ke partai baru ini.
Karena tidak lagi seragam dan pandangan politik mungkin berbeda, yang menyebabkan keluarga besar ini pecah. Kalau melihat tradisi, seharusnya keluarga cihanjuang mendukung pasangan nomor satu, karena PKB mendukungnya. Tapi ternyata tidak. Atau lebih tepatnya, tidak banyak yang mendukung nomor satu. Yang terjadi adalah, keluarga Cihanjuang lebih banyak mendukung pasangan nomor 2. Apa sebab? Di situ ada faktor Pak Syambas. Dia ini orang keturuna pesantren Hegarmanah. Pesantren hegarmanah adalah pesantren keluarga Cihanjuang. Hampir semua berguru ke pesantren tua ini. Jadi unsur nepotismenya jadi sandaran. Tak heran, di rumah salah seorang kerabat saya, terpasang gambar besar pasangan nomor dua ini.
Tapi yang mendukung nomor satu pun ada. Saat kampanye, beberapa saudara saya juga ada di lingkaran nomor satu ini. Lalu bagaimana dengan nomor tiga? Ya sama saja, banyak. Karena PKS yang mendukung pasangan itu, sebagian keluarga pun memilih yang satu ini.
Saya sih tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana. Eh itu mah Dai sejuta ummat, Zainudin MZ, idola waktu SD dulu. Ah soal pilihan mah tergantung lah. Tergantung pada nurani saja. Tadinya saya, seperti Pemilu-pemilu yang lalu, bakal GOLPUT. Tapi karena terus didesak istri saya, akhirnya keliling kanan saya pun tercelup ke tinta dan berbekas warna ungu.
Kita tunggu saja, apakah benar Walikota Terpilih, bakal mewujudkan janji-janjinya atau omdo?. (*)
No comments:
Post a Comment