Saturday, October 29, 2011

Akhir Tragis Khadafi

PESTA pora rakyat Libya langsung pecah begitu tersebar kabar, pemimpin tiran Libya yang terguling, Moammar Khadafi, tertangkap dan tewas ditembak pasukan Dewan Transisi Nasional. Pasukan yang didukung penuh kekuatan NATO itu menemukan Khadafi bersembunyi di sebuah got, setelah tersudut serangan udara NATO dan pesawat tanpa awak AS, Predator.

Gambar di televisi menunjukkan Khadafi diturunkan dari sebuah mobil pikap dengan kondisi compang-camping. Tak ada lagi pakaian kebesarannya yang penuh dengan bintang dan tanda jasa. Juga tak ada pula peci kecil dan serban hitam di pundaknya. Tak lama, ia terlihat terkulai di jalanan. Rupanya, ia ditembak anggota pasukan NTC, konon kabarnya memakai pistol emas milik Khadafi sendiri.

Akhir riwayat yang tragis dari seorang tiran yang dulu begitu dielu-elukan. Orang kuat yang mampu menantang keangkuhan Amerika Serikat. Sempat menjadi harapan Afrika dan Timur Tengah di tengah dominasi hegemoni Amerika. Tapi di akhir hidupnya, ia diburu bak anjing geladak.


Berakhirnya petualangan Khadafi seperti mempertegas efek domino Revolusi Melati di Tunisia. Dua puluh empat tahun berkuasa tak membuat Zein El Ebidine Ben Ali mampu meraih hati rakyat Tunisia. Justru kebencian yang meruap, melontarkan kemarahan rakyat, sehingga bergulir menjadi sebuah revolusi.

Semangat revolusi itu menjalar dengan cepat ke Mesir dan mampu menjungkalkan pemimpin Mesir, Hosni Mubarak. Yaman dan Suriah pun ketularan virus revolusi. Namun Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh masih bertahan. Setelah sempat menderita luka terhantam rudal, ia balik lagi Yaman. Kabar terakhir, ia akan mengundurkan diri. Di Suriah, Presiden Bashir Al Assad membungkam demonstrasi dengan butir peluru tentara. Ratusan demonstran bergelimpang demi perubahan yang belum terwujud.

Giliran Libya kemudian yang diguncang revolusi bersenjata. Kaum oposisi bergerak melawan kediktatoran Khadafi. Dan akhirnya, Khadafi dan hampir semua anak- anaknya tumpas dalam revolusi itu.

Apakah bertumbangannya pemimpin rezim diktator di Timur Tengah merupakan kemenangan demokrasi? Di satu sisi, benar adanya rakyat merasakan kebebasan dari kungkungan rezim otoriter. Saluran-saluran yang semula tertutup menjadi terbuka lebar.

Tapi di sisi lain, ada ancaman besar yang mengintai masyarakat Arab. Ancaman itu adalah konflik agama dan pertentangan sipil-militer. Tengok apa yang terjadi di Mesir saat ini. Sejak Hosni Mubarak lengser, kalangan militer pembelotlah yang menguasai pemerintahan Mesir. Kalangan sipil yang menggelorakan semangat rakyat di Lapangan Tahrir Kairo seolah terpinggirkan. Belum lagi, terjadi konflik besar antara Kristen Koptik dengan beberapa kelompok Islam dan mengancam keberadaan kaum minoritas di Mesir. Hal yang sebelumnya jarang terjadi di masa Hosni Mubarak.

Tentu, banyak hikmah yang bisa kita petik dari semua kejadian-kejadian di luar sana. Kita patut menafakuri peristiwa demi peristiwa itu agar menjadi pelajaran. Bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kekuasaan itu semuanya milik Allah swt dan akan dipergilirkan bak pergantian siang dan malam kepada mereka yang dikehendaki-Nya.

Bila Allah swt menginginkan, maka seseorang akan mencapai puncak kejayaannya. Tapi dengan izin Allah swt pula, kekuasaan itu bisa dicabut, tanggal dalam keadaan yang menghinakan ataupun mulia.

Bersyukurlah atas semua nikmat dan jangan berlaku tamak. Karena ketamakan itulah yang menyebabkan para tiran itu terlena di kursi kekuasaan dan akhirnya tergelincir karena perbuatan mereka sendiri. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi 22 Oktober 2011

No comments: