Thursday, February 28, 2013

Pacantel

  ADA pemandangan menarik saat mantan bupati Garut, Aceng HM Fikri, keluar dari Gedung Sate setelah menerima Surat Keputusan Presiden soal pemberhentian Bupati Garut. Aceng disambut Komunitas Pacantel yang memberinya cenderamata karikatur sambil pacantel (mengaitkan) jari kelingking. Man Jasad selaku perwakilan Komunitas Pacantel, menyebutkan, Aceng layak diberi apresiasi karena legowo dan arif saat diberhentikan sebagai bupati, mengutamakan keindahan persatuan, kedamaian, dan kondusivitas di tengah masyarakat Garut, ketimbang kekerasan dan anarki. 

Dalam budaya Sunda, pacantel memiliki makna mendalam. Pacantel merupakan simbol perdamaian. Ketika kelingking satu pihak berkait dengan kelingking pihak lain, maka terjadi sudah perdamaian. Biasanya, pacantel ini lebih sering dilakoni anak-anak kecil. 

Ketika mereka bertengkar, kemudian ingin berteman dan bermain lagi, maka pacantel menjadi sarana untuk berdamai. Setelah pacantel terjadi, terbitlah senyum di bibir, yang menandakan keikhlasan untuk memulai kembali pertemanan. Sungguh menarik, sebuah konsep sederhana yang bisa menjadi sebuah konsep besar perdamaian. 

Perbedaan di dalam sebuah sebuah komunitas, gerakan, perhimpunan, organisasi, bahkan di dalam partai politik sekalipun sesungguhnya merupakan dinamika yang wajar. Yang tidak boleh adalah ketika perbedaan itu menjadi sebuah permusuhan, timbul kebencian dan dendam, sehingga merusak tali silaturahmi. Tentu kita ingat, ajaran yang menyebutkan,"...Tidak halal setiap muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari". 

Tiga hari, hanya tiga hari batas dua orang untuk tidak bertegur sapa atau bermusuhan. Setelah itu mereka wajib untuk pacantel, menyambung kembali tali silaturahmi. Mencegah adanya ketegangan dan permusuhan, menurut Islam merupakan ibadah yang besar, sebagaimana sabda Nabi SAW yang artinya: "Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama dari puasa, salat dan sodaqoh?, Jawab sahabat: "Tentu mau". Sabda Nabi SAW: "yaitu mendamaikan di antara kamu, karena rusaknya perdamaian di antara kamu adalah menjadi pencukur yakni perusak agama". (HR Abu Daud dan Turmudzi). 

Syaitan kadangkala tidak mampu menggoda orang-orang pandai untuk menyembah berhala, tetapi syaitan sering juga mampu menggoda dan menyesatkan manusia, melalui celah-celah pergaulan dengan cara merusak perdamaian diantara mereka itu sendiri. Berbahagialah orang yang berlapang dada, berjiwa besar dan pemaaf. Tidak ada sesuatu yang menyenangkan dan menyegarkan pandangan mata seseorang, kecuali hidup dengan hati yang bersih dan jiwa yang sehat, bebas dari rasa kebingungan dan bebas dari rasa dendam yang senantiasa menggoda manusia. 

Seseorang yang hatinya bersih dan jiwanya sehat, ialah mereka yang apabila melihat sesuatu nikmat yang diperoleh orang lain, ia merasa senang dan merasakan karunia itu ada pula pada dirinya. Dan apabila melihat musibah yang menimpa seseorang, ia merasakan sedihnya dan berharap penderitaan itu berakhir. Hal wajar jika dua pihak atau lebih bersaing dalam sebuah kompetisi yang sehat. 

Namun ketika kompetisi usai, maka persaingan tak perlu berlanjut. Cukup dengan berbesar hati untuk mengakui keunggulan lawan, ketika kita memang kalah. Di situlah letak tingginya nilai pacantel: berjiwa besar dan ikhlas. Mari kita pacantel. (*) 

Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 27 Februari 2013.

No comments: