Friday, April 02, 2010

Negeri Gayus

TERBONGKARNYA kasus mafia hukum yang melibatkan pegawai pajak Gayus Tambunan semakin memperburuk wajah negeri ini. Ibarat penyakit cacar yang membuat bopeng kulit, mafia hukum dan makelar kasus (markus) semakin memperlebar lubang-lubang kebobrokan yang menyebar hingga ke pelosok.

Negeri ini seperti dikuasai dan digerogoti orang-orang semacam Gayus. Mereka bisa mempermainkan kasus apapun, tanpa peduli nurani rakyat, dengan tujuan memperkaya diri. Seorang Gayus saja sudah bisa mengumpulkan segunung harta yang diduga hasil kongkalingkong kasus. Bagaimana pula kalau ada seratus, seribu, puluhan ribu, bahkan jutaan Gayus? Negeri ini akan semakin membusuk, dibusukkan dari dalam oleh perilaku curang para mafia dan markus.

Logika sederhana saja, pegawai sekelas Gayus yang baru enam tahun dinas di Ditjen Pajak sudah bisa mengumpulkan Rp 28 miliar. Apalagi dengan pegawai yang sudah puluhan tahun berkarat di instansi yang "basah" dan dia menjadi markus, mungkin lebih kaya lagi dari Gayus. Dan kekayaan mereka mungkin tidak pernah terendus oleh KPK sekalipun, karena mereka lebih pintar dari Gayus untuk menyembunyikan aset-aset berharga mereka.

Jadi, di negeri ini, kita tidak usah heran atau tercengang, melihat seorang pegawai di instansi dan lembaga pemerintah memiliki rumah mewah, mobil mewah, dan harta melimpah. Semuanya bisa dan sangat mungkin terjadi. Asal satu syaratnya, jadilah seperti Gayus, jadilah markus, dijamin dalam dua tiga tahun bertugas, sim salabim, harta pun menggunung.

Menyimak perjalanan terseok-seok sejarah bangsa ini, tak satu pun instansi yang luput dari corengan mafia hukum dan markus. Politikus yang masih bercokol dan sempat berkursi di Senayan saja tak terhitung lagi yang mendekam di penjara atau sedang menjalani persidangan kasus suap. Begitu pula di tubuh kepolisian, markus dan mafia ini bekerja secara klandestin, tapi mematikan. Kasus-kasus direkayasa sedemikian rupa, hingga menguntungkan kelompok mafia hukum ini.

Jangan tanya pula mafia di tubuh lembaga peradilan, semisal kejaksaan dan pengadilan. Kasus terakhir, Ibrahim, hakim pengadilan tinggi tata usaha negara, tertangkap basah menerima uang suap dari seorang pengacara. Uang Rp 300 juta itu tentu bukan uang cuma-cuma, tapi terkait kasus yang tengah ditangani Ibrahim di pengadilan. Mafia dan markus sudah menggurita, menyelinap ke ruang-ruang personal sekalipun.

Dunia pendidikan pun tak luput dari para mafia. Seliweran SMS berisi kunci jawaban dan lembar salinan kunci jawaban Ujian Nasional merupakan ulah mafia yang ingin memperbodoh para pelajar bangsa ini. Lebih parah lagi, mereka menginginkan mentalitas bangsa ini sudah bobrok sejak dini, sejak

Sesungguhnya, kita sangat beruntung dan harus mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang masih mau berteriak-teriak soal penyelewengan, kecurangan, dan penyimpangan. Lewat testimoni Susno Duadji, kasus Gayus dan mafia hukum di tubuh Polri bisa terungkap. Dan sepertinya akan menggelinding lebih besar lagi.

Lewat Agus Condro, mantan anggota DPR RI, kini puluhan anggota dan mantan anggota DPR RI, duduk sebagai pesakitan penerima suap dalam pemilihan deputi gubernur BI. Memang mereka ini bukan malaikat, yang bersih dari kesalahan, tapi keberanian mereka mengungkapkan aib dan kebobrokan di tubuh lembaga tempat mereka bernaung, harus terus didukung rakyat.

Kita pun harus menyambut baik upaya Tim Pemantau Independen (TPI) Ujian Nasional Kota Bandung. Mereka menawarkan hadiah Rp 1 juta kepada pengawas yang berani melaporkan setiap kecurangan dalam pelaksanaan UN. Ini salah satu cara untuk memperbanyak whistle blower, para peniup peluit, para peniup seruling kejujuran dan keadilan.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 2 April 2010.

No comments: