Friday, February 26, 2010

Multimedia

RANCANGAN Peraturan Menteri (RPM) tentang Konten Multimedia yang ditelurkan Kementerian Komunikasi dan Informasi mengguncang dunia maya di Indonesia. RPM itu ditengarai bakal mengekang kebebasan berekspresi para pengguna internet. Selain itu, penyedia jasa internet atau Internet Service Provider (ISP) pun diminta pertanggungjawabannya terhadap konten multimedia.

Soal pertanggungjawaban inilah yang membuat bingung. Ilustrasinya begini, internet itu ibarat jalan tol dan ISP adalah pengelola jalan tol. Semua jenis kendaraan roda empat atau lebih bebas masuk ke jalan bebas hambatan itu. Namun apakah pernah pengelola jalan tol merazia satu per satu mobil yang berseliweran itu untuk mengetahui apa saja muatan yang dibawa? Kalaupun memang dirazia, apakah pengelola jalan tol bertanggung jawab terhadap muatan yang dibawa pengguna kendaraan?


Tentu saja tidak, karena itu tanggung jawab pribadi masing-masing pengguna jalan tol. Begitu pula internet, konten yang melekat pada beragam fitur internet mutlak tanggung jawab user.

Kebebasan pers juga terancam karena dalam RPM pemerintah memiliki wewenang untuk melarang informasi dan konten multimedia. Pemerintah akan menjadi diktator di dunia maya, melarang ini, dan memperbolehkan itu. Sementara pers sendiri saat ini sudah merambah ke dunia multimedia. Apabila pemerintah tidak suka dengan berita yang muncul di sebuah portal, bisa saja melarang informasi itu diunggah ke dunia maya.

Padahal UU Pers menyatakan tidak ada larangan sensor dan bredel terhadap pers.
Dilihat dari tujuannya, RPM yang digagas Kementerian Komunikasi dan Informasi ini memang bagus. Pemerintah berusaha menekan penyalahgunaan internet. Kita tahu bersama, segala macam barang dan jasa, mulai yang halal hingga yang haram, tumpah ruah di internet. Dari dakwah, berita, hingga judi dan prostitusi berseliweran di jagat maya ini. Konten-konten negatif itulah yang hendak dikurangi oleh pemerintah, lewat RPM tentang Konten Multimedia.

Padahal soal akses konten internet yang negatif itu berpulang pada pengguna masing- masing. Jadi kontrolnya ada pada self regulating, pengendalian diri pada pengguna. Selain itu juga bisa memakai filter untuk menutup akses ke konten-konten negatif tersebut. Hal itulah yang sudah dilakukan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia yang membangun Open DNS dengan nama DNS Nawala untuk menyaring konten internet yang diakses.

Herannya, ketika komunitas internet bereaksi keras, bahkan Presiden SBY menyentil soal RPM ini di rapat terbatas kabinet, kok Menteri Kominfo sendiri mengaku belum tahu isi dari RPM itu. Bagaimana bisa? Kalau menterinya saja belum tahu, lebih baik para bawahannya menjelaskan lebih dulu soal RPM ini.

Jangan hanya melempar wacana, bahkan uji publik, lalu kemudian dibatalkan. Banyak biaya yang keluar, dan jelas serasa ditampar muka karena disentil langsung oleh Presiden. Jadi pembatalan RPM ini tentu lebih baik, sambil kemudian mencari cara yang lain untuk menyaring konten-konten negatif di internet. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 20 Februari 2010.



No comments: