Sunday, February 07, 2010

Kesejahteraan Hanyalah Fantasi

APA yang ada di benak kita saat melihat tiga bocah, balita lebih tepatnya, menjerit-jerit kelaparan tanpa ada ibu bapaknya? Ibu yang membiarkan anak-anaknya kelaparan, setelah bertengkar dengan suaminya. Dan sang bapak, yang pergi begitu saja meninggalkan keluarga, karena sudah tak sanggup menghidupi anak istrinya.

Keterlaluan, begitu mungkin pikiran yang melintas menyaksikan fenomena sosial tersebut. Tapi itulah realita yang terjadi dan membumi di negeri ini. Anak-anak telantar, keluarga miskin yang tak harmonis, pengangguran, penyakit masyarakat yang merajalela, merupakan potret apa adanya masyarakat di bawah.

Sangat jauh jika dibandingkan dengan para elite di menara gading. Mereka sibuk menjadi artis baru pada tayangan "sinetron" Pansus Century, tak sempat lagi memikirkan rakyat kecil di bawah.

Mereka sibuk berkutat dengan isu-isu seputar pansus, pemakzulan, dan reshuffle kabinet. Mereka hanya berpikir tentang kursi kekuasaan dan bagaimana melanggengkan kekuasaan itu. Kapan mereka benar-benar berpikir dan berbuat untuk kemajuan bangsa ini, untuk seluas-luasnya kemakmuran bagi rakyat.

Elite lain pun lebih sibuk mematut-matut diri di cermin rombeng saat pemerintahan berjalan 100 hari. Penuh percaya diri, pemimpin negeri ini menyatakan 90 persen program 100 hari itu sudah tercapai.

Apa yang dirasakan rakyat dengan program 100 hari, bahkan program 5 tahun yang sudah dilalui? Tak ada. Rakyat yang miskin, tetap miskin, yang kaya semakin menjulang. Warga Cieunteung yang sejak tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya selalu kebanjiran luapan Sungai Citarum, tahun ini pun tetap saja begitu. Tidak ada yang berubah.

Welfare and Prosperity, kesejahteraan dan kemakmuran yang didengung-dengungkan sejak zaman baheula, tak kunjung menjadi kenyataan. Ketika rakyat hanya dicekoki jargon-jargon keberhasilan, sinetron-sinetron kemewahan, yang terjadi tidak ada pergerakan apapun untuk mengubah nasib. Tak pernah terdengar ungkapan-ungkapan yang menyemangati rakyat untuk berjuang memperbaiki hidup.

Tidak ada upaya dari para elite untuk menumbuhkan semangat melawan liberalisasi perdagangan. Yang ada hanya menerima takdir, bahwa dunia ini adalah pasar bebas, dan pasar itu akan melumpuhkan industri kecil dengan jutaan orang bergelayut untuk mempertahankan hidup.

Mungkin kita salah memilih mereka menjadi wakil kita, pemimpin kita. Kesejahteraan di negeri ini hanyalah fantasi dan jadi komoditas politik belaka. Mungkin di masa-masa mendatang, telinga kita akan semakin sering mendengar jerit tangis anak-anak yang kelaparan, seperti tangis Rafael, Farel, dan Putri. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 5 Februari 2010.

No comments: