Monday, February 15, 2010

Aking dan Oyek

DUA nama ini bukanlah nama kakak dan adik. Aking dan oyek merupakan 'kreativitas' warga miskin untuk sekadar bertahan hidup. Aking terbuat dari nasi basi yang dikeringkan lalu ditanak lagi. Sementara oyek dari parutan singkong yang dikeringkan kemudian ditanak seperti nasi.

Setiap musim paceklik dan musim harga beras naik, keluarga Tardi di Desa Krangkeng, Indramayu, harus puas hanya makan nasi aking. Beras menjadi barang yang eksklusif, barang di awang-awang yang tak lagi terjangkau mereka.

Begitu pula di Kampung Situbatu, Desa Cipareuan, Cibiuk Garut. Lebih dari setengah jumlah warga di sana harus makan nasi oyek setelah harga beras melambung tinggi. Kebanyakan warga berprofesi sebagai buruh tani. Upah yang diperoleh tak cukup untuk membeli beras dengan harga selangit.

Beras untuk rakyat miskin (raskin) yang menjadi andalan penyambung hidup mereka
kadang tak cukup. Memang harga raskin sangat murah, antara Rp 1.800-Rp 2.000 per kg. Tapi satu keluarga hanya bisa mendapatkan jatah empat kg saja per bulan. Jatah yang hanya cukup paling lama satu minggu, bahkan kurang.

Cerita warga mengonsumsi nasi aking dan nasi oyek sebenarnya sudah sering mampir di telinga kita, bahkan sebagian mengisi gendang-gendang telinga para pemimpin kita. Tapi begitulah, tak pernah ada yang berubah dengan cerita itu, masih tetap dengan lakon yang sama, aking dan oyek. Masih untung para pemimpin ini sempat mendengar lagu sumbang soal aking dan oyek. Kebanyakan justru tidak tahu di daerah pimpinannya ada rakyat miskin yang hanya makan pengganti nasi.

Memang aneh, negeri yang kata lagu subur makmur ini tak mampu memberi beras murah dengan kualitas baik kepada penghuninya. Di daerah yang disebut sebagai lumbung padi, bahkan sampai swasembada beras, mampu menghasilkan beras organik, masih ada dan banyak, rakyatnya yang tak mampu membeli beras.

Ketika harga beras membubung tinggi, masyarakat menginginkan ada operasi pasar. Katanya operasi pasar itu bisa menstabilkan harga, bahkan menurunkan harga. Karena harga beras yang dijual juga terjangkau kocek.

Tapi ironi muncul di Kabupaten Tasikmalaya, ada tiga kecamatan yang justru menolak digelarnya operasi pasar. Pihak kecamatan beranggapan harga beras sudah mulai turun, sehingga bisa kembali terjangkau oleh masyarakat.

Patut menjadi pertanyaan, apakah benar penolakan itu keinginan masyarakat di sana? Ataukah hanya keinginan segelintir elite kecamatan saja? Motifnya harus ditelusuri. Jangan-jangan dengan adanya operasi pasar, mereka malu karena daerahnya disebut daerah rawan daya beli.

Sungguh zalim, pemimpin yang membiarkan rakyatnya sampai kelaparan. Mereka harus meneladani apa yang diucapkan Khalifah Umar bin Khattab,"Kalau rakyat mengalami kekenyangan, akulah yang terakhir menikmati. Dan jika rakyat mengalami kelaparan, akulah yang pertama merasakannya".

Mungkin para pemimpin kita lupa bahwa rakyat yang dipimpinnya itu banyak, bukan hanya rakyat di sekitar gedung pemerintahan, mal, pusat-pusat kota dan keramaian. Nun di pelosok sana, nasi aking dan oyek, masih menjadi tumpuan harapan untuk menyambung hidup. Sungguh, hanya sekadar menyambung hidup.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 13 Februari 2010.

No comments: