Maaf. Baru hari ini saya mengisi blog lagi. Sibuk, katanya. he he.. Entah kenapa, saya lagi susah menuangkan apa yang saya dan keluarga jalani hari demi hari. Rabu (6/12) pekan kemarin, saya berangkat ke Depok dan Bekasi untuk ekspose hasil pemantauan Tim Adipura 2006. Seperti pernah dibilang, sudah dua tahun saya jadi tim pemantau Adipura sebagai wakil dari dari kalangan pers. Tahun lalu, saya memantau di lima kota/kabupaten di Pantura (Cirebon, Kab Cirebon, Kab Kuningan, Kab Majalengka, dan Kab Indramayu).
Dari Bandung, saya berangkat jam 06.00 bareng Pak Warman dan Pak Hendi dari BPLHD Jabar. Di jalan kami sempat terhadang rombongan jemaah calon haji, tepatnya di daerah Cibinong. Di Depok, kami bertemu dengan anggota tim dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Rachmat. Dia bareng dengan Pak Setyo, Kabid dari Pusreg LH Yogyakarta. Kami berhadapan langsung dengan Walikota Depok, Nurmahmudi Ismail dan seluruh kepala dinas. Alhamdulillah, pemaparan di Depok berjalan lancar. Memang lebih banyak Pak Setyo yang bicara. Maklum, di "jurignya" Adipura. Hapal seluk beluk, lika-liku Adipura.
Sorenya kami langsung ke Bekasi, menginap di Hotel Bunga Karang. Kali ini tanpa kehadiran anggota tim dari KLH dan Pusreg LH. Hanya kami bertiga. Padahal bahan ekspose untuk Kota Bekasi ini belum siap. Akhirnya hingga dini hari, kami mengerjakan bahan ekspose di Power Point.
Kali ini yang menghadapi kami bukan walikota, tapi Asisten Daerah II. Katanya Pak Walikota Bekasi, Ahmad Zurfaih, sedang sakit ginjal. Giliran saya dan Pak Warman yang harus memaparkan hasil evaluasi tim pemantau terhadap kebersihan Kota Bekasi. Alhamdullillah, pemaparan sangat lancar. Kamis sore kami sudah kembali ke Bandung.
Di sepanjang perjalanan Bekasi-Bandung via Cipularang, kami mengobrol ngalor ngidul. Dari obrolan itu, mencuat soal PNS, KKN, kebiasaan nyomot duit kas, dll. Dua rekan saya itu memang berpengalaman sebagai Bendahara. Pak Warman 10 tahun, dan Pak Hendi 2 tahun.
PNS memang bergaji, yah cukup gak cukup lah. Tapi dari biaya perjalanan semacam ke Depok Bekasi ini, mereka mendapat tambahan penghasilan. Dua hari itu saja, yang saya tahu, mereka mendapat 1,5 juta per orang. Belum ditambah dari honor ekspose, lumayan juga gede.
Lalu soal duit di kas, mereka juga cerita kalau kepala dinas itu punya kuasa untuk nyomot duit begitu saja. "Aya duit tiis teu, cing nginjeum heula" begitu ungkapan untuk ngambil uang dari bendahara. Kalau sudah begini, yang bingung adalah Bendahara. Dia harus merekayasa sejumlah kuitansi pengeluaran untuk duit yang diminta Kepala Dinas itu. Bilangnya memang pinjam, tapi tidak pernah mengembalikan.
Rata-rata setiap kepala dinas, khususnya di BPLHD Jabar, seperti itu. Ada sih yang baik, dalam artian tidak pernah meminta. Tapi saat Bendahara menawarkan uang sisa kas, jumlahnya jelas puluhan juta, ya diambil juga. Yang kelabakan, ya Bendahara. Pada saat ada pemeriksaan dari Irjen, atau Bawasda, baru pusing tujuh keliling. Pak Warman pernah dipanggil Kejaksaan gara-gara tender atau pengeluaraan yang katanya tidak sesuai. Saya bilang ke Pak Warman, di kantor saya, ada teman wartawan yang memark up uang dokter dan ketahuan, padahal besarnya cuma 40 ribu perak, langsung dipecat. Apalagi kalau jutaan kayak begitu, ditendang kali.
Nah, menurut pengakuan Pak Warman dan Pak Hendi, saat jadi Bendahara-lah mereka kenal dunia malam. Biasanya itu untuk menjamu tamu, dari Irjen atau BPK dsb. Tamu-tamu kayak gini biasanya minta dilayani. Minta ke diskotek lah, bahkan minta disediakan wanita. Sampe ada istilah "jatuhan" untuk menyebut cewek ABG. Awalnya mereka tidak mau masuk ke diskotek misalnya. Tapi si tamu Irjen dari jakarta ini gak mau kalau tidak ditemani. Akhirnya mau tidak mau, mereka pun harus masuk ke diskotek. Merasakan alkohol, dll. Makanya, mereka ini tidak mau menjadi bendahara lagi. Cukup sekali katanya. Pusing dan takut dosa.
No comments:
Post a Comment